Rabu, 20 Februari 2013

Tantangan Pernikahan

TANTANGAN PERKAWINAN
Psikolog dari Universitas Indonesia, Dr Dewi Matindas, dalam sebuah seminar bertajuk “Gonjang-Ganjing Perkawinan” yang berlangsung di Hotel Sahid, menandaskan bahwa memutuskan menikah berarti mau menerima tantangan. “Tantangan itu tidak habis-habis,” katanya mengingatkan.

Dengan terus terang ia mengingatkan bahkan menyodorkan sejumlah kenyataan dan masalah yang tidak pernah kita bayangkan sama sekali sebelumnya. Dewi mengemukakan, sejak awal setiap pasangan suami-istri perlu menyadari beberapa kenyataan utama dalam hidup perkawinan.

Kenyataan pertama, manusia berubah dari waktu ke waktu. Bisa jadi, hal-hal yang semula terasa begitu berharga, seiring waktu kehilangan maknanya. Menurut Dewi, hanya dengan menyadari bahwa setiap suami-istri dapat (akan) berubah, kita dapat bersikap lebih realistis dalam menghadapi berbagai kekecewaan dalam perkawinan.

Kenyataan kedua, dalam perkawinan pasti ada konflik. Konflik bisa merupakan perbedaan pendapat, perbendaan nilai maupun kepentingan. ”Tetapi, tak perlu cemas, banyak sekali konflik yang dapat dipecahkan dengan baik,” tandas Dewi. Kenyataan ketiga, tidak seorangpun bisa memuaskan semua kebutuhan pasangannya.

Kenyataan keempat, perkawinan memerlukan sejumlah persyaratan. Tetapi, suami-istri sering kurang memperhatikan persyaratan yang paling penting, yaitu kematangan psikologis. Kenyataan kelima, banyak hambatan yang harus diatasi untuk meraih kebahagiaan perkawinan. Cinta saja tidak cukup. ”Setiap orang yang hendak menikah perlu membekali diri dengan sejumlah ketrampilan psikologis untuk mengatasi masalah-masalah yang muncul dalam perkawinan,” ungkap Dewi.

Kenyataan keenam, menikah bukan suatu keharusan. Jangan memaksa menikah hanya karena ’sudah cukup umur’ atau demi status semata-mata. Jika memang tidak siap, lebih bijaksana untuk tetap melajang. ”Tidak menikah bukanlah aib!” tegas Dewi

HIDUP, 13 Juli 2008, hlm 24

Pernikahan Dini Picu KDRT

PERNIKAHAN DINI BERPOTENSI PICU KDRT
Sekalipun wacana persamaan hak dan emansipasi perempuan sudah dicanangkan beberapa tahun lalu, namun sampai saat ini praktik diskriminasi seperti pelecehan seksual di tempat umum atau rendahnya peluang perempuan untuk melanjutkan pendidikan, masih banyak terjadi di Indonesia.

Menurut data Plan Indonesia, sekitar 150 juta anak perempuan di bawah usia 18 tahun di berbagai belahan dunia pernah mengalami kekerasan termasuk pemerkosaan atau kejahatan seksual lainnya. Fakta yang lebih menyedihkan, sekitar 44 persen pelaku pernikahan dini mengalami kasus kekerasan dalam rumah tangga (KDRT).

Desti Murdiana, Wakil Ketua Komnas Perempuan mengungkapkan bahwa perempuan sudah rentan mengalami tindak diskriminasi sejak dilahirkan. Ironisnya, hal ini kerap dilakukan oleh orang tua si anak itu sendiri. "Misalnya saja, tindakan sunat bayi perempuan yang masih ditemukan di beberapa desa terpencil, dan eksploitasi anak perempuan dalam bidang pendidikan, pekerjaan, dan juga pernikahan," tukas Desti dalam kampanye "Because I Am A Girl" di Jakarta beberapa waktu lalu.

Namun, tak banyak yang menyadari bahwa pernikahan dini yang dialami anak-anak perempuan juga termasuk dalam bentuk diskriminasi. Data Plan mengungkapkan bahwa 10 juta anak perempuan terpaksa atau dipaksa menikah dini setiap tahunnya. "Di Indonesia, 33,5 persen anak usia 13-18 tahun pernah menikah. Rata-rata anak perempuan ini sudah menikah di usia 15-16 tahun," ungkap Nono Sumarsono, Kepala program Plan Indonesia.

Masalah pernikahan dini ini kerap dialami oleh perempuan karena berbagai hal, antara lain kurangnya informasi tentang perkembangan dunia sekitar, tidak adanya kesempatan kerja, rendahnya pendidikan, dan masalah kemiskinan. Banyak orang tua yang beranggapan bahwa menikahkan anak perempuan secepatnya bisa membantu meringankan beban hidup mereka.

Padahal pernikahan dini ini bisa menyebabkan masalah semakin banyak, dan justru memperburuk masa depan perempuan. Karena pernikahan dini ini membatasi gerak si anak, dan hal lain yang seharusnya mereka lakukan. Dari 33,5 persen perempuan yang menikah dini, hanya 5,6 persen yang masih melanjutkan pendidikannya. Namun, saat memasuki dunia kerja mereka juga tidak siap karena sangat minim pengetahuan dan pengalaman.

Desti mengungkapkan bahwa berbagai akibat buruk yang kerap dialami perempuan akibat pernikahan dini  menjadi masalah yang harus secepatnya diatasi pemerintah Indonesia. "Bahkan dunia sudah menyoroti masalah pernikahan dini yang terjadi di Indonesia, dan mendesak pemerintah untuk menuntaskannya. Sayangnya sampai saat ini belum ada penyelesaian," sesal Desti.

editor : Dini, http://regional.kompas.com/read/2012/10/17/11230692/Pernikahan.Dini.Berpotensi.Memicu.KDRT.
Baca juga:

Orang Kudus 20 Februari: St. Nemesius

Santo nemesius, martir
Nemesius berasal dari Mesir. Ketika Kaisar Desius melancarkan aksi pengejaran terhadap orang-orang kristen, Nemesius berada di Aleksandria. Ia bukan saja seorang beriman yang saleh, tetapi juga rasul yang aktif menyebarkan iman kristen di antara kaum kafir. Keaktifannya ini menyebabkan dia dibenci banyak orang kafir.

Oleh orang-orang kafir yang membencinya, ia diadukan kepada pemerintah karena terbukti tidak bersalah. Setelah beberapa lama, Nemesius ditangkap lagi karena imannya akan Kristus. Ia dihadapkan ke muka Prefek Romawi di Aleksandria untuk diadili. Di depan hakim, Nemesius dengan berani menyebut dirinya orang kristen dan seorang rasul Kristus. Ia disesah dan disiksa dengan kejam, namun semuanya itu ditanggungnya demi cintanya kepada Kristus Penebus.

Ia memahami benar-benar bahwa seperti para rasul di hadapan Dewan Sanhendrin, ia telah dipandang layak untuk menderita penganiayaan dan penghinaan karena Yesus. Akhirnya ia dibakar hidup-hidup bersama beberapa orang penjahat. Peristiwa naas ini disaksikan oleh beberapa orang serani dan prajurit-prajurit Romawi. Para prajurit itu menghiburnya dan menyediakan makanan baginya sebelum menghadapi saat hukuman mati itu. Para prajurit itu pun kemudian dihukum mati karena ketahuan mendampingi Nemesius dengan memberi hiburan dan makanan. Nemesius dibakar pada tahun 247.

Sumber: Orang Kudus Sepanjang Tahun

Renungan Hari Rabu Prapaskah I-C

Renungan Hari Rabu Prapaskah I, Thn C/I
Bac I : Yun 3: 1 – 10; Injil       : Luk 11: 29 – 32

Yesus diminta untuk memberikan tanda dari diri-Nya. Entah tanda apa yang dimaksud. Namun Yesus hanya memberikan tanda Nabi Yunus (ay. 29). Tentulah orang akan bertanya tanda apa itu? Yesus mengaitkan Nabi Yunus sebagai tanda dengan orang-orang Niniwe (ay. 30).

Tentang Nabi Yunus dan orang Niniwe diungkapkan jelas dalam bacaan pertama. Di sana tampak bahwa orang-orang Niniwe adalah orang-orang yang berdosa. Kehadiran Nabi Yunus di tengah mereka membawa perubahan. Mereka bertobat dan kembali kepada Allah sehingga Allah tidak jadi melaksanakan hukuman-Nya bagi orang Niniwe (ay. 10).

Setelah memahami kisah Nabi Yunus dan orang Niniwe ini, umat akhirnya disadarkan bahwa sebagaimana kehadiran Yunus membawa perubahan (pertobatan), demikian pula halnya dengan kehadiran Yesus. Karena itulah Yesus dengan tegas mengatakan, "sesungguhnya yang ada di sini lebih dari pada Yunus!" (ay. 32).

Sabda Tuhan hari ini mengajak kita untuk bertobat. Kita sudah menerima Kristus dalam hidup kita. Hendaknya penerimaan itu membawa konsekuensi perubahan atau pertobatan dalam diri kita.

by: adrian