Senin, 29 Juli 2013

(Pencerahan) Bongkar Kebiasaan Lama

BONGKAR  KEBIASAAN  LAMA!!
Minggu siang (28 Juli) saya nonton film The Amazing Spider-man di televisi stasiun FOX Movie. Dalam adegan puncak diperlihatkan perjuangan spiderman untuk menggagalkan niat jahat The Lizard (manusia kadal). Namun Spiderman mendapat hambatan dari polisi. Kepala Kepolisian, yang adalah ayah Gwen (pacar si Spiderman), memerintahkan anak buahnya untuk menangkap Spiderman.

Tentu kita akan bertanya, kenapa harus Spiderman dan bukannya the lizard? Bukankah the lizard itu jahat? Bukankah polisi bertugas membasmi yang jahat? Kenapa Spiderman yang diurusi? Padahal Spiderman tak pernah melakukan kejahatan dan tak punya niat jahat kepada warga kota. Malahan Spiderman membantu polisi dalam memberantas kejahatan.

Nah, inilah letak masalahnya. Memang Spiderman mirip seperti polisi dalam memberantas kejahatan. Namun cara Spierman dalam menangani penjahat di luar batas kebiasaan; tidak seperti polisi. Jadi, di sini ada pertentangan antara kebiasaan dan keluarbiasaan. Polisi ingin agar penanganan kejahatan harus seperti biasanya. Mereka tidak mau menerima cara di luar kebiasaan, sekalipun cara tersebut memiliki tujuan yang sama dengan mereka dan lebih efektif.

Maka the lizard dengan bebas melaksanakan niat jahatnya. Sementara Spiderman, sambill terus memburu the lizard, ia harus bergulat membebaskan diri dari kejaran polisi. Para polisi hanya disibukkan dengan Spiderman.

Gambaran film Spiderman tadi secara tidak langsung mau menampilkan realita kehidupan manusia. Tak jarang kita terlalu kaku dengan kebiasaan yang sudah ada sehingga ketika ada sesuatu yang baik dan benar tapi di luar kebiasaan, kita menjadi gelisah dan risih. Terkadang kita tampil seperti polisi tadi yang lebih sibuk merepoti diri dengan urusan orang yang di luar kebiasaan tanpa pernah mau berusaha untuk memahami dan menerimanya.

Ketika saya merenungkan peristiwa ini, saya jadi teringat akan Yesus Kristus. Tuhan Yesus hadir di dunia ini dengan membawa sesuatu yang benar-benar di luar kebiasaan bagi hidup orang Yahudi. Para pemimpin agama tidak bisa menerimanya karena mereka sudah biasa dengan kebiasaannya. Akhirnya, para pemuka agama ini lebih sibuk mengurusi Yesus daripada yang lainnya. Puncak pertentangan mereka adalah kematian Yesus di Kalvari.

Akankah kita mengulangi kesalahan polisi dalam film Spiderman? Apakah kita mau mengulangi tragedi salib di Kalvari? Tak selamanya kebiasaan itu baik selamanya. Ada saatnya kebiasaan lama itu tak baik dan tak relevan lagi. Kita harus berani membongkar kebiasaan lama itu. Kita harus berani mencoba sesuatu yang baru yang baik dan relevan, sekalipun ia bertentangan dengan kebiasaan lama. Hendaklah kita jangan menghakimi “yang baru” hanya demi kebiasaan.
Tiban, 28 Juli 2013
Adrian, Pr
Baca juga refleksi lainnya:

(Inspirasi Hidup) Pikiran & Afirmasi

PIKIRAN MENENTUKAN MASA DEPAN
"Sukses adalah sebuah proses, kualitas dari pikiran dan cara sikap, affirmasi kehidupan yang keluar." Demikian kata Alex Noble. Penelitian-penelitian muktahir menunjukan betapa hebatnya kekuatan pikiran bawah sadar yang dibangun melalui affirmasi kalimat positif dalam pencapaian mimpi seseorang. Salah satu orang besar yang menerapkannya adalah Muhammad Ali.

Sebelum naik ring dan bertarung dengan lawannya, dalam sebuah wawancara televisi, Ali mengaku ia selalu melakukan affirmasi. "Aku petinju hebat. Apa pun yang terjadi, aku tetap petinju yang hebat. Akulah petinju terbaik di dunia ini," begitu katanya dalam hati.

Ketika wartawan menanyakan alasannya, Ali menjawab, "Kalimat itu memberiku rasa percaya diri, menguatkan keinginanku dan membulatkan konsentrasiku pada target yang ingin aku capai. Jika akhirnya aku gagal, aku akan belajar dari kegagalan dan berlatih lebih giat lagi hingga berhasil."

Ali juga menambahkan, "Pikiran sangat berpengaruh, pikiran bisa menjadi penyebab kegagalan dan bisa pula menjadi pendukung keberhasilan. Pikiran adalah sumber percaya diri." Ali pun menjadi juara tinju dunia legendaris sepanjang masa.   

Kepercayaan diri besar pengaruhnya terhadap kesuksesan karir dan kehidupan. Maka dari itu, tanamkan percaya diri yang besar dalam diri jika ingin berhasil dan sukses dalam hal apapun.

by: adrian, diolah dari email Anne Ahira
Baca juga refleksi lainnya:

Minggu, 28 Juli 2013

Membentuk Manusia

Dalam penilaian kinerja, mulai dari tingkat supervisor sampai manajer senior, aspek “developing others” bisa dipastikan selalu ada di antara penilaian kompetensi. Hal ini jelas menunjukkan bahwa kita meyakini kegiatan pengembangan anak buah ini sangat penting. Kita sadar bahwa apapun bisnis dan organisasinya, manusia adalah aset “intangible” terpenting, bahkan juga aset terbesar. Pertanyaannya, dalam organisasi kita, berapa banyak dari jajaran pimpinan yang sudah mendapat nilai “baik” atau “memuaskan” pada aspek developing others ini? Sebuah hasil penelitian menunjukkan bahwa di banyak perusahaan, bahkan perusahaan yang dinilai memiliki sistem talent management yang sudah mumpuni, skor developing others ini mayoritas rendah dibandingkan dengan skor-skor lainnya. Apakah ini disebabkan masing-masing individu cenderung semata memikirkan karier pribadinya daripada masa depan anak buah atau masa depan perusahaan?

Kita bisa merasa sedikit lega karena penelitian menunjukkan bahwa kesadaran bahwa manusia itu penting tetap ada. Tantangannya adalah karena pengembangan manusia ini memakan waktu yang panjang dan membutuhkan keseriusan serta pendalaman mengenai sifat manusia. Kesulitan menguasai aset bisnis paling berharga ini kadang menyebabkan aktivitas pengembangan manusia menjadi seperti lingkaran setan. Semakin tidak bisa mendalaminya, semakin kita merasakan kesenjangannya. Semakin merasakan kesenjangan, semakin kita merasa kesal terhadap kondisi sumber daya manusia yang tidak akomodatif. Pada akhirnya, kita lebih sering mengeluh dan memiliki anggapan  bahwa memang manusianya yang payah dan tidak mau dikembangkan.

Mentalitas Perajin
Kita pasti setuju bahwa bila akan “membuat” sesuatu dengan kualitas baik, kita perlu menanganinya secara telaten, mendetail, mengikuti SOP dalam setiap langkahnya. Kita tahu, pengembangan manusia tidak sepenuhnya bisa dibandingkan dengan proses produksi massal, misalnya produksi mobil. Dalam memproduksi mobil, kita bisa mengotomatisasi banyak hal tanpa perlu banyak human touch. Memproduksi orang mungkin lebih bisa kita analogikan dengan seniman perajin produk yang harus menggunakan hati dalam menghasilkan sebuah karya, memperhatikan detail serta menunjukkan kesabaran dan ketelatenan dalam setiap karyanya.

Para perajin produk sadar bahwa setiap material mempunyai karakter yang berbeda. Serat kayu dari satu batang pohon saja bisa berbeda karakter, warna dan ukuran. Saat kekurangan bahan dengan ukuran tertentu, akankah mereka berhenti berproduksi? Tentu tidak. Karya akan dibentuk menyesuaikan dari bahan yang ada. Karya itu tidak jadi kehilangan nilai tambah, malahan bisa menjadi barang yang unik dan artistik. Para perajin juga tidak bisa “semau gue”, tetapi tetap harus punya standar “compliance”. Selain harus memperhatikan cara menjemur dan kemiringan material saat dijemur, mereka perlu memastikan tingkat kekeringan bahan dan berapa lama harus menunggu sebelum bahan diproses lebih lanjut. Ini jelas membutuhkan kesabaran dan persistensi. Satu hal lagi, ketrampilan tangan pun harus terlatih. Tidak ada artis perajin yang tiba-tiba piawai membuat karya yang halus dan bermutu. Dia harus belajar dari yang mudah-mudah, kasar-kasar, sampai yang canggih dan halus.

Kita bisa mengadaptasi mentalitas perajin karya dalam mengelola dan memproduksi manusia. Kita tahu setiap individu unik., “bahan”nya tidak sama sehingga kitalah yang harus mengerti dan mendalaminya. Bila di sini saja sudah mentok karena merasa bahwa bawahan adalah makhluk yang sulit dimengerti, kita tidak punya jalan untuk maju. Kita akan terjebak pada realitas seperti kekurangan orang, tidak ada ahli, dan yang paling parah tidak adanya suksesi. Seperti halnya para perajin, sebagai atasan, kita pun perlu telaten, jeli, dan terus mengasah minat bahkan “passion” kita untuk menelaah dan mencetak bawahan yang hebat dan berkualitas dengan seksama.

Seni “Mencetak” Manusia
Gejala “Turnover” karyawan yang dulu dipandang sebagai hilangnya loyalitas sekarang dianggap sebagai fakta yang tidak mengejutkan, tetapi harus diperhitungkan. Maraknya orang keluar masuk tentu menjadikan arus perekrutan “special hires” semakin marak. Kondisi ini bagi “orang dalam” kerap dilihat sebagai ancaman dan menimbulkan perasaan dinomorduakan. Kita perlu juga mewaspadai bahwa bila karyawan mulai merasa meaningless, tetapi tetap bercokol di perusahaan. Dalam mengelola manusia pun kita perlu memastikan bahwa mobilitas manusia senantiasa dijaga dan digalakkan. Hal ini karena mobilitas ibarat denyut jantung perusahaan, bila melemah, badan tidak sehat. Begitu juga kalau jantung berdegup terlalu kencang.

Kita memang perlu selalu mengevaluasi berbagai aspek people management. Pertama, kompensasi atau imbalan hasil kerja haruslah menarik, semenarik tantangan kerjanya. Seorang ahli mengatakan, “Your top talent wants to work with other talented people, and their networks may be better than yours.” Artinya kita harus mempertimbangkan kenyataan bahwa “pasaran gaji” perlu kompetitif. Karyawan akan membandingkan dan akan berkata “baik” bila paket remunerasi kita baik atau juga sebaliknya. Pada saat kita mengincar orang bagus dari luar perusahaan, orang luar pun di saat yang sama mengincar orang potensial yang ada di tempat kita. Sekali kita teledor mengembangkan kompetensi individu dan menjaga orang dalam tim, akan “kecolongan”lah kita. Mengingat generasi sekarang adalah generasi yang gemar hal instan, kita tidak lagi bisa menyuguhkan jenjang karier yang bersusun dari tahun ke tahun. Individu semakin tidak sabar menunggu untuk “dinaikkan pangkatnya”. Untuk itu, perusahaan perlu menciptakan chemistry yang tepat untuk tim kerja, sambil menyakinkan “right mix of people”, menyesuaikan kompetensi dan ekspertisnya agar kinerja optimal, mencocokkan aspirasi individu dengan kebutuhan pasar, sehingga kita bisa menghasilkan kemesraan dalam tim dan sekaligus karyawan yang betah bertahan bekerja di perusahaan dengan tantangan yang tak kunjung habis.

by: Eileen Rachman & Sylvina Savitri, KOMPAS, 28 Juli 2012, hlm 49

Sekilas tentang Selibat

SELIBAT DALAM GEREJA KATOLIK

Selibat Rohaniwan Katolik adalah aturan di beberapa gereja partikular yang membentuk Gereja Katolik yang hanya memperbolehkan pria yang tidak menikah saja yang dapat ditahbiskan menjadi imam. Aturan yang sama juga dijunjung oleh beberapa gereja lainnya dalam hal pentahbisan menjadi gembala (uskup, pendeta, rasul) gereja tersebut.

Pemimpin gereja-gereja partikular Katolik yang mentaati aturan ini adalah Ritus Latin, namun, di antara Gereja-gereja Katolik Timur, setidaknya Gereja Katolik Ethiopia menerapkannya juga.

Dalam konteks ini, "selibat" mempertahankan arti sesungguhnya dari "tidak menikah", dan tidak merujuk pada penahanan nafsu atau puasa dari hubungan seksual yang bisa juga dilakukan oleh pihak-pihak yang telah menikah.

Di seluruh Gereja Katolik, baik di Timur maupun di Barat, sebagaimana juga di Gereja Ortodoks Timur dan di Gereja Ortodoks Oriental, seorang imam tidak boleh menikah. Untuk bisa menjadi seorang imam yang menikah, dalam beberapa gereja dan kasus, maka seseorang harus menikah dahulu sebelum ditahbiskan. Gereja Katolik, Gereja Ortodoks Timur dan Gereja Ortodoks Oriental, tanpa pengecualilan, menutup kemungkinan pentahbisan bagi pria yang telah menikah untuk menjadi imam.


Hukum selibat klerik dianggap bukan sebuah doktrin, namun sebuah aturan. Beberapa pengecualian kadang-kadang dibuat, terutama dalam kasus rohaniwan Protestan yang pindah ke dalam Gereja Katolik, dan aturan ini, secara teori, bisa diubah bagi semua macam pentahbisan imam. Namun, selibat klerik ini dinilai sebagai sebuah kesaksian yang berharga bagi iman Kristiani dan sebagai sebuah jalan untuk mengikuti teladan Kristus dan kehidupan selibat-Nya.

Sejarah

Penelitian oleh para cendekiawan Katolik, salah satunya tersedia di situs Vatikan,[1] berargumen bahwa, dalam praktik-praktik umat Kristiani awal, pria yang telah menikah yang menjadi imam - seringkali mereka adalah orang-orang berusia baya, "orang tua" - dianggap akan hidup dengan menahan nafsu sepenuhnya, menahan diri seterusnya dari hubungan seksual dengan istri mereka.[2] Ketika nantinya jelas terungkap bahwa tidak semuanya bisa menahan nafsu, Gereja Barat membatasi pentahbisan imam hanya untuk pria yang tidak menikah dan mewajibkan adanya komitmen menjadi selibat seumur hidup, sementara di Gereja-gereja Timur aturan ini lebih lunak, yakni Gereja Ortodoks Timur dan Gereja Katolik Timur sekarang mewajibkan rohaniwan mereka yang telah menikah untuk tidak melakukan hubungan seksual selama masa tertentu sebelum merayakan Ekaristi.

Gereja di Persia, yang di abad ke-5 memisahkan diri dari gereja yang bernama Ortodoks maupun Katolik, memutuskan pada akhir abad itu untuk menghapuskan aturan penahanan nafsu dan memperbolehkan para imam mereka untuk menikah, namun tetap mengakui bahwa hal tersebut menghilangkan sebuah tradisi lama. Gereja Ortodoks Tewahedo Ethiopia, yang pemisahan dirinya, bersama dengan Gereja Ortodoks Koptik Aleksandria, terjadi belakangan, memperbolehkan para diakon (yang ditahbiskan ketika mereka masih anak-anak) untuk menikah, namun bukan imam: setiap orang yang akan menjadi imam dan ingin menikah harus melaksanakan pernikahannya sebelum menjadi imam. Gereja Apostolik Armenia, yang termasuk di dalam kelompok Gereja Ortodoks Oriental, walau secara teknis melarang pernikahan setelah ditahbiskan menjadi sub-diakon, seperti juga Gereja Ortodoks Timur, secara umum membiarkan aturan ini tidak digunakan dan memperbolehkan para diakon untuk menikah hingga pada saat pentahbisan mereka menjadi imam, sehingga tetap meneruskan tradisi tidak boleh menikah bagi para imam.[3] Teori ini menjelaskan mengapa semua gereja-gereja tua baik di Timur maupun di Barat, dengan satu pengecualian di atas, melarang pernikahan setelah pentahbisan imam, dan mengapa semuanya mengharuskan pejabat kerasulan (yang dilihat sebagai sebuah bentuk imam yang lebih sempurna daripada presbyterate atau ketua agama) untuk selibat.

Bukti tertulis paling awal mengenai pelarangan untuk menikah bagi para klerik dan kewajiban mereka yang telah menikah untuk tidak melakukan hubungan seksual dengan istri-istri mereka adalah dekrit Konsili Elvira pada abad ke-4 dan kemudian Konsili Kartago. Menurut beberapa penulis, dekrit ini mengambil dari norma yang ada sebelumnya yang sedang dipandang rendah saat itu.[4]
(Kanon 33): Diputuskan bahwa semua pernikahan dilarang bagi para uskup, imam dan diakon, atau bagi semua rohaniwan yang memegang jabatan gerejawi, dan bahwa mereka tidak berhubungan badan dengan istri-istri mereka dan tidak menghasilkan anak; siapa saja yang melanggar hal ini akan dicabut jabatan kehormatan kleriknya.
(Kanon 3): Adalah pantas bahwa para uskup dan imam Tuhan yang suci termasuk juga kaum Levi, yakni mereka yang memberikan pelayanan pada sakramen ilahi, mentaati penahanan nafsu yang sempurna, supaya mereka bisa meraih semua kesederhanaan yang mereka minta dari Tuhan; apa yang diajarkan oleh Para Rasul dan apa yang telah lama ditaati, biarlah kita juga berusaha keras untuk menjaganya. Sungguh menggembirakan kita semua bahwa uskup, imam dan diakon - para penjaga kesucian - menahan diri dari hubungan badan dengan istri-istri mereka, supaya mereka yang melayani di Altar bisa menjada sebuah kesucian yang sempurna.

Di antara pernyataan-pernyataan Gereja pertama mengenai topik penahanan nafsu seksual dan selibat adalah Directa Decretal dan Cum in unum yang merupakan dekrit dari Paus Sirisius (sekitar tahun 385), yang menegaskan bahwa penahanan nafsu seksual kaum klerik adalah sebuah praktik apostolik yang harus diikuti oleh para pelayan gereja.

Tulisan-tulisan Santo Ambrosius (wafat tahun 397) juga menunjukkan bahwa persyaratan mengenai para imam, baik yang telah menikah maupun yang selibat, untuk selalu menahan hawa nafsu adalah sebuah aturan yang tidak dapat dipungkiri. Bagi rohaniwan yang telah menikah yang, "di beberapa tempat yang diluar jalur", merujuk, dengan mengambil contoh imam dari Perjanjian lama, pada hak untuk memiliki keturunan, Ambrosius mengingatkan bahwa di masa Perjanjian Lama kaum awam pun berkewajiban untuk mentaati aturan penahanan nafsu di hari-hari menjelang perayaan kurban, dan berkomentar: "Apabila memang benar perhatian akan penahanan nafsu ini diberikan kepada apa yang diminta, betapa banyaknya sikap penahanan nafsu ini yang harus ditunjukkan di dalam realitas!"[5] Lebih kerasnya lagi ia menulis: "Santo Paulus berkata mengenai seseorang yang punya anak, dan bukan mengenai seseorang yang menghasilkan anak."[6]

Dasar-dasar Teologi

Secara teologis, Gereja mengajarkan bahwa imamat adalah sebuah perangkat gereja yang mengikuti hidup dan karya Yesus Kristus. Para imam sebagai pelayan sakramen bekerja in persona Christi, yaitu dalam diri manusia Kristus. Oleh sebab itu kehidupan para imam mengikuti kesucian Kristus sendiri. Pengorbanan untuk tidak menikah demi Kerajaan Allah (Lukas 18: 28-30, Matius 19: 27-30, Markus 10: 20-21), dan untuk mengikuti teladan Yesus Kristus yang "menikah" dengan Gereja - yang dipandang oleh paham Katolik dan banyak tradisi Kristiani lainnya sebagai "Mempelai Kristus".

Dasar-dasar Kitab Suci

Kardinal Joseph Ratzinger (sekarang Paus Benediktus XVI) dalam Garam Dunia juga menjelaskan bahwa praktik selibat ini adalah berdasarkan pada khotbah Yesus kepada para kasim atau kaum selibat "demi Kerajaan Surga" yang menghubungkan keputusan Tuhan dalam Perjanjian Lama untuk menganugerahkan imamat kepada satu suku saja, yaitu suku Levi, dan yang tidak seperti suku-suku lain tidak menerima tanah sejengkal pun dari Tuhan - sebuah kebutuhan mendasar bagi penerusan keturunan seseorang senilai dengan seorang istri dan anak-anak zaman sekarang - namun mendapatkan "Tuhan sendiri sebagai harta warisannya" (Bilangan1: 48-53).

Juga dasar lain yang diambil adalah ajaran-ajaran Santo Paulus dari Tarsus yang menyatakan bahwa selibat merupakan tahapan kehidupan yang tinggi, dan keinginannya ini dinyatakan dalam 1 Korintus 7: 7-8, 32-35:

Aku ingin, supaya kamu hidup tanpa kekuatiran. Orang yang tidak beristeri memusatkan perhatiannya pada perkara Tuhan, bagaimana Tuhan berkenan kepadanya. Orang yang beristeri memusatkan perhatiannya pada perkara duniawi, bagaimana ia dapat menyenangkan isterinya, dan dengan demikian perhatiannya terbagi-bagi. Perempuan yang tidak bersuami dan anak-anak gadis memusatkan perhatian mereka pada perkara Tuhan, supaya tubuh dan jiwa mereka kudus. Tetapi perempuan yang bersuami memusatkan perhatiannya pada perkara duniawi, bagaimana ia dapat menyenangkan suaminya. Semuanya ini kukatakan untuk kepentingan kamu sendiri, bukan untuk menghalang-halangi kamu dalam kebebasan kamu, tetapi sebaliknya supaya kamu melakukan apa yang benar dan baik, dan melayani Tuhan tanpa gangguan.

Perkembangan di Abad ke-11

Terkadang dikatakan bahwa selibat menjadi keharusan bagi para imam Ritus Latin baru mulai pada abad ke-11; sementara beberapa pihak lain mengatakan, misalnya: "Adalah adil bila dikatakan bahwa pada era Paus Leo I (440-461) hukum selibat dikenal secara umum di dunia Barat,"[7] dan bahwa aturan-aturan pada abad ke-11 mengenai hal ini, seperti juga pada kasus simoni atau kegiatan ilegal jual-beli posisi gerejawi, harus secara jelas tidak diartikan sebagai suatu makna bahwa baik non-selibat maupun simoni sebelumnya diperbolehkan.[8]

Gereja-gereja Katolik Timur

Secara umum, Gereja Katolik Timur memperbolehkan pentahbisan pria yang telah menikah sebagai imam. Di Amerika Utara, atas dasar ketakutan bahwa para imam yang menikah akan membuat skandal di tengah-tengah umat Katolik Ritus Latin, para uskup Katolik Timur biasanya hanya mentahbiskan pria-pria yang lajang; namun semenjak Konsili Vatikan II mengajak restorasi akan tradisi-tradisi Katolik Timur, beberapa gereja kembali ke praktik tradisional Timur yang lama dengan mentahbiskan pria yang telah menikah ke dalam jajaran perangkat gerejawi.


Sebuah syarat untuk menjadi seorang uskup Katolik Timur adalah harus lajang atau sudah menjadi duda.[9]

Kontroversi

Aturan Ritus Latin terus diperdebatkan atas dasar berbagai alasan. Pertama, banyak orang percaya bahwa selibat bukanlah keharusan bagi para rasul. Santo Petrus sendiri memiliki seorang istri semasa kerasulan Yesus, yang ibunya Yesus sembuhkan dari sakit demam tinggi.[10] Namun beberapa pihak lainnya berargumen bahwa para rasul benar-benar meninggalkan istri-istri mereka.[11] Kedua, persyaratan ini menyisihkan banyak pria yang seharusnya memenuhi syarat untuk menjadi imam, persyaratn yang menurut pembela aturan selibat seharusnya ditentukan bukan hanya pada kemampuan pengertian manusia akan naskah kitab suci tapi juga pada kemampuan pengertian hal-hal ilahi.


Ketiga, beberpa pihak mengatakan bahwa menolak dorongan seksual alami dengan cara ini adalah tidak masuk akal dan berbahaya bagi hidup yang sehat. Skandal seksual di antara para imam, para pembela aturan selibat berargumen, adalah sebuah pelanggaran terhadap aturan Gereja, bukan hasil dari pelanggaran tersebut, terutama semenjak hanya sebagian kecil dari para imam yang terlibat. Keempat, dikatakan bahwa keharusan untuk selibat menjauhkan para imam dari pengalaman hidup, menghilangkan kekuasaan moral diri mereka sendiri di dalam lingkungan pastoral, walaupun para pembelanya berargumen bahwa kekuasaan moral Gereja justru dikembangkan oleh sebuah kehidupan yang sepenuhnya menyerahkan diri ke dalam imitasi Kristus - sebuah pelaksanaan praktis ajaran Konsili Vatikan II yang menyebutkan bahwa "manusia tidak bisa secara penuh menemukan dirinya sendiri kecuali melalui persembahan dirinya sendiri yang tulus".[12]

Penentangan thdp Selibat Klerik selama masa Reformasi

Selibat sebagai sebuah persyaratan bagi pentahbisan menjadi imam (dalam Gereja Barat) dan menjadi rasul (baik di Gereja Timur maupun di Barat) serta menyatakan bahwa pernikahan bagi para imam adalah tidak sah[13] (baik di Timur maupun di Barat) adalah hal-hal penting dari perselisihan selama masa Reformasi Protestan, dengan para kaum Reformer berargumen bahwa persyaratan-persyaratan ini bertentangan dengan ajaran Kitab Suci di dalam 1 Timotius 4: 1-5, Ibrani 13: 4, dan 1 Korintus 9: 5, yang secara tidak langsung merupakan sebuah degradasi terhadap pernikahan, dan merupakan satu alasan bagi "banyaknya rasa kebencian"[14] dan bagi semaraknya perilaku seksual yang buruk di dalam lingkungan klergi di masa Reformasi.[15] Pandangan doktrin para kaum Reformer mengenai hal ini tercermin di dalam pernikahan Huldrych Zwingli pada tahun 1522, Martin Luther di tahun 1525, dan John Calvin di tahun 1539; Di Inggris, Thomas Cranmer yang telah menikah ditahbiskan menjadi Uskup Agung Canterbury pada tahun 1533. Tindakan-tindakan ini, pernikahan setelah pentahbisan menjadi imam dan mentahbiskan pria yang telah menikah menjadi seorang uskup, melawan tradisi lama Gereja baik di Timur maupun di Barat.

Semenjak Konsili Vatikan II

Tahta Suci secara resmi menegaskan kembali aturan mengenai selibat klerik di dalam Gereja Katolik Ritus Latin. Paus Yohanes Paulus II dalam Pastores Dabo Vobis menyatakan bahwa "tidak berubahnya' intisari dari pentahbisan "membentuk imam menjadi seperti Yesus Kristus Sang Kepala dan Mempelai Gereja." Oleh sebab itu, ia mengatakan, "Gereja, sebagai Mempelai Yesus Kristus, berharap untuk dicintai oleh para imam sepenuhnya dan secara khusus seperti Yesus Kristus Sang Kepala dan Mempelai Gereja mencintainya."


Gereka Latin sekarang memperbolehkan para pria yang telah menikah dan telah berusia baya untuk ditahbiskan menjadi diakon, dengan syarat bahwa mereka berkehendak untuk tetap menjadi diakon dan tidak berkehendak untuk melangkah maju mendapatkan pentahbisan imamat[16] (pentahbisan ke dalam tahapan diakon merupajkan bagian dari proses perjalanan calon imam menuju pentahbisan imam)[17]. Pentahbisan, bahkan yang bagi diakon, adalah sebuah hal yang tidak mengijinkan pernikahan nantinya, walaupun dispensasi khusus bisa diterima untuk pernikahan kembali di dalam situasi yang sangat luar biasa.[18]

Pengecualian

Pengecualian kadang-kadang dibuat (termasuk di dalam aliran Katolik Ritus Latin), dianugerahkan berdasarakn kekuasaan Sri Paus, ketika rohaniwan Protestan yang telah menikah menjadi Katolik. Karena aturan selibat adalah sebuah hukum gerejawi dan bukanlah sebuah doktrin, aturan ini bisa, secara prinsip, diubah setiap saat oleh Sri Paus. Doktrin-doktrin, di sisi lain, tidak bisa diubah. Walaupun demikian, baik Sri Paus saat ini, Paus Benediktus XVI dan para pendahulunya, telah membahas dengan jelas mengenai pengertian mereka bahwa praktik tradisional ini tidak mungkin akan berubah.[19]



[2] ^ Roman Cholij, Priestly celibacy in patristics and in the history of the Church., lihat juga,  ^ BONIVENTO, Cesare. Priestly Celibacy. Ecclesiastical Institution or Apostolic Tradition?; Thomas McGovern,Priestly Celibacy Today; Cochini, Christian, The Apostolic Origins of Priestly Celibacy, Ignatius Press (October 1990). ISBN 0-89870-951-2 ISBN 0-89870-280-1., dan ^ Celibacy in the Early Church: The Beginnings of Obligatory Continence for Clerics in East and West, Stefan Heid, p. 15.
[3] ^ On Oriental Orthodoxy's exclusion of marriage after ordination to priesthood, see Deacons Focus of Oriental Orthodox-Roman Catholic Consultation
[4] ^ McGovern, chapter 1; [Alfons Stickler: The Case for Clerical Celibacy (Ignatius Press) ISBN 0-89870-533-9]
[6] ^ "habentem filios dixit, non facientem" (Ep. extra coll. [Maur.63] 14,62, quoted in Giovanni Coppa, Il sacerdote "vero levita" secondo S. Ambrogio, L'Osservatore Romano 13 January 2007).
[7] ^ "Celibacy of the Clergy". Catholic Encyclopedia. Diakses pada 16 September 2006.
[12] ^ Pope Paul VI (December 1965). "Gaudium et Spes". Vatican. Diakses pada 16 September 2006.
[13] ^ Tidak ada "sumpah selibat", yang ada hanya sebuah deklarasi bahwa pernikahan oleh para imam adalah tidak sah.
[14] ^ Letter of Pope Adrian VI to Francesco Chieregati 25 November 1522, where the Pope says that even "in this Holy See there have been many abominations these many years — abuses in spiritual things, excessive decrees, and everything perverted" but did not attribute these abominations to clerical celibacy (Luther's Correspondence and Other Contemporary Letters, vol. 2 p. 146 by Preserved Smith). Lihat juga, ^ Catholic historian Ludwig von Pastor's The history of the popes, from the close of the Middle Ages (1891) (vol. V): Corruption of the Italian Clergy of all Ranks,169ff.; Fra Girolama Savonarola 181ff. likewise did not attribute to clerical celibacy the need for reform that was one of the reasons for holding the Council of Trent.
[16] ^ can. 1042.1 CIC 1983
[17]^ can. 1032, CIC 1983
[18] ^ Cong. for Divine Worship and Displine of the Sacraments, Circular Letter to Diocesan Ordinaries..., 6 June 1997, Prot. N. 263/97, 8; in Origins 27 (28 August 1997) p 171
[19] ^ Catholic Encyclopedia, "Celibacy of the Clergy

Minggu, 21 Juli 2013

Visi Keuskupan: Menjadi Gereja Partisipatif

Setiap kali masuk ke dalam gereja St. Yosep, kita langsung dihadapkan pada tulisan spanduk di atas altar “Visi Keuskupan Pangkalpinang: UMAT ALLAH KEUSKUPAN PANGKALPINANG, DIJIWAI OLEH ALLAH TRITUNGGAL MAHAKUDUS, BERTEKAD MENJADI GEREJA PARTISIPATIF”.

Pemampangan tulisan di atas altar bukanlah tanpa maksud atau bertujuan gaya saja, melainkan agar setiap kali datang ke gereja, umat membacanya, meresapinya dan menghayatinya, sehingga terwujud visi tersebut. Kalimat panjang visi itu sebenarnya bisa disederhanakan menjadi “Menjadi GEREJA PARTISIPATIF.”

Bagaimana kita dapat mewujudkan Gereja Partisipatif? Pertama-tama kita harus paham dulu dua kata tersebut.

Gereja Partisipatif
Gereja adalah umat Allah. Gereja adalah anggota Tubuh Mistik Kristus. Anggota itu disatukan melalui sakramen-sakramen (LG No 7). Sebagaimana tubuh memiliki banyak anggota, namun tetap satu tubuh, demikian juga dengan Gereja (bdk. 1Kor 12: 1 – 12). Secara sederhana dapat dikatakan bahwa Gereja itu adalah saya, Anda dan sekaligus juga kita. Jadi, Gereja memiliki dimensi personal (saya, Anda) dan sekaligus juga kolektif (kita).

Kata “partisipatif” mengacu pada makna berperan serta dalam suatu kegiatan. Kata ini dapat disamakan dengan kata “aktif”. Karena ini, pada kata “partisipatif” tidak ada istilah diam atau pasif. Apapun yang dilekatkan dengan kata “partisipatif” berarti harus bergerak aktif dalam aksi.

Karena itu, Gereja Partisipatif bisa dipahami, secara personal, saya dan/atau Anda berperan serta dan aktif, bukan diam menunggu apalagi pasif. Gereja Partisipatif bisa dipahami, secara kolektif, kita berperan serta dan aktif, bukan diam menunggu apalagi pasif. Berperan serta dalam hal apa? Kita dapat berperan serta atau ambil bagian dalam duka dan kecemasan, derita dan kegembiraan anggota Gereja serta membangun suatu dunia yang dilandasi cinta, damai dan keadilan. (bdk. MGP, no. 159).  Dengan kata lain, kita diminta untuk mau tertawa dengan sesama yang bergembira, dan menangis dengan sesama yang berduka.

Tiga Bintang
Apa kriteria Gereja Partisipatif? Saya bisa dikatakan Gereja Partisipatif atau Anda bisa dikatakan Gereja Partisipatif atau kita bisa dikatakan Gereja Partisipatif jika terdapat tiga bintang sebagai satu kesatuan. Tiga bintang itu adalah:
1.      Berpusat pada Kristus
2.      Berkomunio
3.      Bermisi

Jadi, jika dalam hidup saya sudah berpusat pada Kristus, saya terlibat dalam komunitas dan saya juga terlibat dalam misi, maka saya adalah Gereja Partisipatif. Jika dalam hidup Anda sudah berpusat pada Kristus, Anda terlibat dalam komunitas dan Anda juga terlibat dalam misi, maka Anda adalah Gereja Partisipatif. Dan jika dalam hidup kita sudah berpusat pada Kristus, kita terlibat dalam komunitas dan kita juga terlibat dalam misi, maka kita adalah Gereja Partisipatif.

Bintang 1: Berpusat pada Kristus
Berpusat pada Kristus berarti menjadikan Kristus sebagai sumber kehidupan Gereja (saya, Anda, dan sekaligus juga kita), pusat pelayanan dan tujuan hidup Gereja. (lih. MGP, no. 161).

Menjadikan Kristus sebagai sumber berarti saya, Anda, dan sekaligus juga kita selalu mengawali setiap aktivitas kehidupan dalam Kristus. Saya, Anda dan sekaligus juga kita, selalu menimba kekuatan dari Kristus dalam setiap awal kegiatan. Kristus itu bisa dijumpai dalam Kitab Suci, Ekaristi dan doa devosi. Jadi, jika sebelum beraktivitas saya, Anda dan sekaligus juga kita, membaca Kitab Suci (karena Kitab Suci paling mudah dan dekat) untuk mencari tahu apa kata Yesus hari ini untuk saya, Anda dan sekaligus juga kita, maka kita sudah menjadikan Kristus sebagai sumber. Bisa juga dengan berdoa kepada Kristus, mohon berkat dan perlindungan.

Menjadikan Kristus sebagai pusat pelayanan atau kegiatan artinya ajaran, semangat dan hidup Kristus mewarnai setiap karya saya, Anda dan sekaligus juga kita. Jadi, jika misalnya hari ini kita membaca Kitab Suci dan menemukan apa kata Tuhan, maka perkataan Tuhan itu hendaknya mewarnai kehidupan kita hari ini.

Menjadikan Kristus sebagai tujuan berarti apapun yang saya, Anda dan sekaligus juga kita kerjakan demi kemuliaan Tuhan. Atau juga seperti yang dikatakan Yesus, “segala sesuatu yang kamu lakukan untuk salah seorang dari saudara-Ku yang paling hina ini, kamu telah melakukannya untuk Aku.” (Mat 25: 40).

Bintang 2: Berkomunio
Berkomunio berarti berkomunitas. Keuskupan kita sedang menggalakkan Komunitas Basis Gerejawi (KBG) sebagai bentuk cara menggereja yang baru. Jadi berkomunio berarti terlibat dalam kegiatan KBG.

Karena itu, saya baru dapat dikatakan Gereja Partisipatif jika saya terlibat aktif dalam kegiatan KBG. Anda baru dapat dikatakan Gereja Partisipatif jika Anda terlibat aktif dalam kegiatan KBG.

Dalam berkomunio pertama-tama ada saling kenal, bukan sekedar identitas saja melainkan juga kehidupan dan kebutuhan. Dalam berkomunio itu ada juga komunikasi yang dialogal, bukan monologal. Komunikasi dialogal berarti komunikasi dua arah: saling berbicara dan saling mendengarkan.

Harus disadari bahwa satu komunitas itu beragam, baik suku, status sosial, pekerjaan, umur, dll. Keragaman ini harus menjadi kekayaan, bukan bahan perpecahan. Agar dalam keragaman ini, komunio bisa berjalan, maka dibutuhkan sikap rendah hati, lemah lembut, sabar, saling mengasihi, saling membantu, saling menghormati, tidak membalas dendam, solider, dan sikap kemuridan. (lih. MGP, no. 173).

Bila dalam KBG saya, Anda dan sekaligus juga kita dapat mewujudkan komunio, maka KBG kita menjadi “Gereja Domestik” yang adalah sakramen keselamatan. (bdk. MGP, no. 179).

Bintang 3: Bermisi
Gereja adalah Tubuh Mistik Kristus, dan kita adalah anggotanya. Saya dan Anda sudah disatukan dengan Kristus melalui sakramen. Penyatuan itu membuat saya dan Anda ambil bagian dalam tugas perutusan Kristus.

Karena itu, saya dapat dikatakan Gereja Partisipatif jika saya bergiat dalam karya pastoral, baik di lingkungan Gereja maupun di luar. Anda dapat dikatakan Gereja Partisipatif jika Anda bergiat dalam karya pastoral, baik di lingkungan Gereja maupun di luar. Dan kita, sebagai anggota KBG, dapat dikatakan Gereja Partisipatif jika kita bergiat dalam karya pastoral, baik di lingkungan Gereja maupun di luar. Karya pastoral ini misalnya seperti bakti sosial, kunjungan orang sakit, membantu sesama, dll.

Saya dan juga Anda dapat bermisi secara personal dan juga secara kolektif dalam KBG. Sekalipun personal, kita tak bisa dipisahkan dari Kristus. Karya misi yang dilakukan harus bersumber, berpusat dan bertujuan demi kemuliaan Kristus.

Bermisi ini bisa saja lewat kata-kata, misalnya menasehati rekan yang malas, menegur teman yang menyontek, menghibur orang sakit, dll. Bermisi juga bisa lewat perbuatan, misalnya membantu dengan dana orang yang berkekurangan, bakti sosial, donor darah, dll. Bermisi bisa pula lewat sikap hidup, misalnya sikap rendah hati, pemaaf, lemah lembut, tidak egois, sikap mau berbagi, dll.

Gereja Partisipatif Dinamis
Gereja Partisipatif yang mau diwujudkan bukanlah bersifat statis, dalam arti sekali aksi selesai. Bukan berarti bahwa dengan menampilkan 3 bintang dalam satu kegiatan sehingga kita menjadi Gereja Partisipatif maka selesai. Gereja Partisipatif itu haruslah dinamis, tidak hanya sekali aksi saja, melainkan berlangsung seterusnya.

Tiga bintang sebagai kriteria Gereja Partisipatif haruslah merupakan kesatuan yang tak terpisahkan. Ketiga bintang itu harus dijalankan, baik bersama-sama maupun sendiri-sendiri. Dan ketiga bintang itu harus tetap menjadi pedoman setiap langkah hidup kita.


by: adrian

(C E R P E N) Tono & Tini

TINI DAN TONO


            Hujan terus mengguyur kota Jakarta. Sudah tiga hari ini hujan tidak bosan-bosannya turun dari langit, padahal masyarakatnya sudah bosan. Siapa sih, yang nggak bosan mendekam terus di rumah. Apalagi Tono dan adiknya, Tini, dua bocah ingusan usia 8 dan 5 tahun. Sudah dua hari mereka tidak ngamen di bisbis kota jurusan UKI – Priok atau Rawamangun. Rumah mereka di perkampungan kumuh Prumpung, sudah tergenang air. Biasa, sudah tradisi.
            Tono duduk sambil memeluk kakinya. Sementara adiknya sibuk mengitari ruang segi empat puncak monas. Ketika air mulai membanjiri kawasan rumah mereka, Tono cepat-cepat mengajak adiknya ke Monas. Ia ingat pesan almarhum si Mbah, orang yang telah merawat mereka sejak kecil.
            “Tahun ini, alam akan murka pada Jakarta. Kalo banjir datang, pergilah kamu ke monas. Di sana aman.”
            Semalam, ia berhasil main kucing-kucingan dengan petugas pintu monas. Ia berhasil masuk membawa adiknya dan naik ke atas. Sudah dua hari mereka di sana. Sementara banjir terus menyapu rata permukaan kota Jakarta. Dari atas monas, mereka tidak bisa lagi melihat kampung Prumpung. Semua sudah lenyap ditelan banjir.
            “Bang. Bang liat, air sudah memasuki rumah-rumah orang kaya itu.”
            “Biarin! Agar mereka tau rasa juga.”
            Sepertinya murka alam kali ini cukup adil, pikir Tono. Banjir tidak saja melanda kaum miskin kota, melainkan juga kena pada orang-orang kaya. Dengan serius ia memparhatikan keluarga kaya keluar dari rumah dengan naik gerobak. Ada juga yang pakai truk. Tono tersenyum. Ada kesan lucu dari pemandangan itu. Biasanya mereka merasa nyaman dengan sedan mewahnya. Kini, banjir mendidik mereka untuk merasakan juga nikmatnya naik gerobak atau truk.
            “Bang, ada tawuran!”
            Edan, pikir Tono. Masa’ dalam suasana susah begini, orang masih sibuk tawuran. Tono berdiri mendekati adiknya. Dilayangkannya pandangannya ke arah telunjuk adiknya.
            “O, itukan pintu air Manggarai. Pasti warga mau supaya pintu air itu dibuka. Liatlah, rumah warga sudah pada terendam semuanya.”
            “Tapi di sana kok nggak banjir.” Tini menunjuk ke sebuah perumahan elit Kapuk, di wilayah Utara Jakarta “Tu, malah ada yang asyik main golf.
            “Liat, warga dan tentara lagi rebutan perahu karet.”
            “Liat, ada bendera partai di sana. Ngapain ya mereka? Bagi-bagi bantuan atau kampaye?”
            “Bang, kita turun cari makan dulu, yuk! “
            “Buat apa? Kita di sini saja supaya selamat. Menurut ramalan, banjir kali ini sangat dahsyat. Pasti akan banyak yang mati. Nanti kalo airnya sudah surut, baru kita turun. Kita langsung ke mal untuk ambil barang-barang yang selama ini hanya bisa kita liat. Kan, orang-orang sudah pada mati. Kita tinggal milih, mana yang suka”
            “Aku nanti ambil play station, boneka-bonekaan, ...”
            “Tu liat, air sudah masuk istana negara.”
            Banjir terus merengsek naik. Air tidak mau pandang bulu. Sejak istana negara dilanda air setinggi lutut, tidak ada lagi kawasan Jakarta yang bebas banjir. Sungguh dahsyat banjir kali ini.
            Para gelandangan yang biasanya membuat rumah di kolong jembatan atau di bantaran kali, terlihat sibuk membangun rumah di atas pohon-pohon di pinggir jalan kota Jakarta. Dalam waktu singkat, pohon-pohon mahoni yang ada di sepanjang jalan Hayam Wuruk, Diponegoro, Imam Bonjol serta kawasan monas, sudah dipenuhi dengan rumah gubuk yang terbuat dari kardus.  Sementara orang-orang kaya terpaksa nginap di hotel-hotel atau di gedung-gedung bertingkat. Dengan sekejap, hotel sudah dipenuhi dengan warga kelas elit, bahkan mereka sampai ke atap gedung bertingkat itu.
            “Bang, itu kan Bang Sonny, yang biasa bawa acara Famili cepek. Mau ke mana dia, banjir-banjir begini. Tu, lagi abang pembawa acara kuis . Ada lagi di sana Bang Tantowi, pembawa acara milioner. Mau kemana mereka, ya?”
            “Biasa. Mau mengajak orang Jakarta bermimpi.”
            Air hujan tetap terus turun dari langit. Sementara langit belum juga menunjukkan tanda-tanda kecerahan. Banjir terus naik. Sekarang, orang-orang yang berada di lantai dua gedung bertingkat berajak naik ke tingkat atas. Mereka naik ke atap gedung tersebut. Patung sang tokoh proklamator sudah lenyap ditelan banjir.
            “Bang, sebenarnya apa yang menyebabkan banjir ini?”
            “Suara ahli saja nggak mau didengar, apalagi kita!”

Tanjung Pinang, 7 Februari 2002

by: adrian
Baca juga:
1.      Leo dan Lia
2.      Maafkan Aku, Lala
4.      Kicau Burung Hilang

5.      Kuda Lumping