Jumat, 05 April 2013

Belajar Dari Jepang

kenapa Bangsa Jepang maju ??


Siapa yang tak kenal dengan negara Jepang, yang dikenal dengan istilah Negeri Matahari Terbit ini? Bagi orang Indonesia tentulah takkan bisa melupakan bangsa ini, karena bangsa ini pernah menjajah Indonesia. Begitu banyak kenangan pahit yang ditinggalkan bangsa, yang waktu itu disebut sebagai orang kate, karena orang-orang Jepang waktu itu berpostur tubuh pendek. Salah satunya adalah romusha.

Bila melihat peta dunia, kita dapat mengetahui betap kecilnya negara ini. Luas daratan seluruhnya tak jauh berbeda dengan daratan Pulau Sumatera. Namun, sekalipun kecil, negara Jepang mampu menjajah negara Indonesia yang sangat jauh lebih besar wilayahnya. Malah bersama Jerman dan Italia, mereka ingin menguasai dunia dalam Perang Dunia II.

Lebih hebat lagi adalah kebangkitan Jepang setelah kehancuran Perang Dunia II. Jatuhnya bom atom di dua tempat, yaitu Hirosima dan Nagasaki, benar-benar membuat Jepang hancur total. Ini membuktikan betapa kecilnya negara tersebut. Akan tetapi, tidak lama kemudian Jepang bangkit menjadi bangsa yang maju dan besar, bukan saja di tingkat Asia melainkan juga dunia. Jepang bangkit dan kembali “menjajah” dunia. Dalam hal teknologi, siapa yang tidak kenal produk-produk Negeri Sakura ini? Dalam dunia olahraga pun Jepang memiliki segudang prestasi. Sekarang sulit menemukan orang Jepang yang bertubuh pendek.

Kehancuran sering melanda Jepang. Yang terakhir adalah gempa dan tsunami yang mengakibatkan bocornya reaktor nuklir Fukushima Daiichi. Namun dalam waktu singkat bangsa ini sudah bangkit dari kehancurannya itu. Tentulah kita bertanya apa yang membuat bangsa, yang dikenal sebagai negeri para samurai, ini begitu maju dan menjadi negara yang besar?

Bila ditelusuri baik-baik, bangsa Jepang memiliki beberapa nilai yang merasuki jiwa rakyat Jepang untuk maju. Nilai-nilai ini sudah menjadi bagian hidup mereka. Oleh karena itu, setiap orang Jepang tentulah mempunyai nilai-nilai luhur ini, yang membuat negaranya maju dan berkembang. Nilai-nilai itu adalah bushido. Kata “bushido” ini dimengerti sebagai semangat kerja keras. Dalam nilai bushido ini tidak ada istilah cepat putus asa dan berpuas diri. Dengan ini bangsa Jepang dikenal sebagai bangsa yang terus menerus mau belajar dan mengembangkan diri. Semangat bushido membuat orang Jepang terus berinovasi.

Nilai kedua adalah Kai Zen. Kata Kai Zen ini dapat dimengerti sebagai komitmen. Pada nilai ini terkandung efektifitas dan efisiensi. Pada prinsipnya, semua pekerjaan dilakukan dan diselesaikan sesuai dengan waktu yang telah ditentukan. Karena itu, warga Jepang sudah terbiasa dengan pola hidup tertib dan disiplin.

Nilai Keisan adalah nilai ketiga yang mempengaruhi kemajuan bangsa Jepang. Keisan dimengerti sebagai kesinambungan dan kesungguhan dengan minat yang tinggi. Karena prinsip ini negara Jepang terkesan sebagai bangsa yang ambisius. Dengan nilai keisan ini bangsa Jepang akan terus menerus melakukan perubahan untuk menjadi lebih baik lagi.

Negeri Jepang terkenal juga dengan samurainya. Dalam dunia samurai ada budaya harakiri, yang dimengerti sebagai tindakan bunuh diri karena gagal menjalankan tugas. Mungkin kedengarannya budaya ini menyeramkan, namun budaya inilah yang menjadi nilai keempat yang menjadi faktor kemajuan bangsa Jepang. Di balik aksi bunuh diri itu tersimpan nilai luhur, yaitu berani bertanggung jawab atas kesalahan dan kegagalan. Nilai ini membuat bangsa Jepang memiliki dan menjaga harga diri. Di zaman modern ini, aksi bunuh diri sebagai bagian dari budaya harakiri diwujudkan dengan mundur dari jabatan sebagai bentuk pertanggungjawaban atas kesalahan dan kegagalan.

Kelebihan bangsa Jepang lainnya adalah mandiri. Sejak kecil orang Jepang dilatih untuk hidup mandiri. Ada begitu banyak mahasiswa Jepang yang membiayai kuliahnya sendiri dari hasil pekerjaannya. Dalam nilai mandiri ini terkandung prinsip apa yang bisa dilakukan sendiri akan dilakukan, tanpa merepotkan orang lain. Prinsip ini membentuk bangsa Jepang sebagai bangsa berkembang secara mandiri tanpa mengandalkan bantuan dari bangsa lain.

Nilai terakhir dari bangsa Jepang yang membuatnya menjadi negara maju dan layak ditiru adalah budaya membaca. Sejak kecil warga dibiasakan untuk membaca. Tidak ada waktu luang terbuang percuma. Oleh karena itu, adalah pemandangan bisa bila berada di Jepang kita menyaksikan orang sedang membaca. Mungkin kita bertanya apa kaitan antara membaca (buku) dengan kemajuan? Tentulah kita tahu bahwa buku merupakan jendela ilmu. Dengan membaca berarti kita membuka jendela itu sehingga kita dapat melihat dan mengetahui apa yang ada di luar jendela.

Demikianlah beberapa nilai-nilai positif bangsa Jepang yang membuatnya menjadi bangsa yang maju dan besar. Untuk menjadi maju dan besar sebenarnya tidaklah sulit. Tinggal adanya kemauan dan tekad. Bangsa Jepang adalah bukti nyatanya. Oleh karena itu, jangan menunggu besok! Mulailah dari sekarang, maka kelak Anda akan menjadi orang yang sukses dan maju.

by: adrian

Budaya Baca Sejak Dini

SHARING PENGALAMAN MENANAMKAN BUDAYA BACA PADA ANAK

Pada kesempatan kali ini saya hanya ingin sharing sesuatu yang sebenarnya bukan inovasi. Tapi, harus atau memang sudah seharusnya dilakukan oleh kita sebagai orang tua. Kita sadar, pendidikan yang diterima di sekolah sejatinya kurang memadai. Di antara kita, mungkin ada yang mencoba  untuk membantu anak untuk mengoptimalkan kemampuan dalam meningkatkan prestasi belajar.

Salah satunya adalah menanamkan budaya membaca anak sejak dini. Sebab dengan rajin membaca, minat dan kemampuan menyerap ilmu pengetahuan secara umum akan meningkat. Itulah yang kita kawal jika memang kita concern dan peduli akan masa depan pendidikan anak.

Inilah langkah-langkah awal yang dianjurkan :
1.      Bawalah anak untuk mengunjungi Perpustakaan terdekat. Dengan demikian akan tertanam dalam benaknya bahwa Perpustakaan baginya adalah tempat terbaik di dunia ini untuk dikunjungi. Perpustakaan merupakan gudang ilmu pengetahuan.
2.      Pilihkan untuknya buku-buku yang sesuai dengan usia dan kemampuannya dalam menyerap ilmu pengetahuan. Untuk model yang kita pilih ini, buku yang cocok tentu saja untuk anak TK di mana bukunya tidak begitu padat dengan tulisan ( banyak gambar )
3.      Jika selama ini Anda jadi panutan baginya, perkenalkan juga  tokoh di luar rumah yang juga memiliki kegemaran yang sama dengan orang tuanya. Misalnya tokoh dalam foto di bawah ini. Dalam pikirannya akan tertanam bahwa ternyata hobi membaca itu adalah hobi yang positif. Dan universal.
4.      Menanamkan disiplin, di sini diberi contoh bahwa peminjaman buku pustaka dibatasi dalam waktu tertentu.Dengan demikian, anak menyadari dari awal tentang kedisiplinan, otomatis dia akan berusaha menamatkan isi buku sebelum waktu peminjaman habis.
5.      Mintalah anak untuk belajar menceritakan isi buku yang telah dibaca, untuk melatih dirinya dalam mendapatkan pesan yang terkandung dalam sebuah buku. Tak usah panjang-panjang, cukup apa yang diserapnya saja, meski satu kalimat. Ini untuk melatih daya ingat dan membentuk kebiasaan mengambil intisari dalam sebuah buku.
6.      Jika sudah mahir membaca, latihlah dia untuk menuliskan apa yang sudah dibaca. Minimal,buatlah pertanyaan sederhana dan anak akan menjawab dalam kalimat singkat, minimal satu kata.

Mungkin tidak semua uraian di atas dapat dilakukan  mengingat situasi dan kondisi yang berbeda, tapi paling tidak langkah-langkah itu sudah lazim. Upayakan juga agar anak tidak cepat jenuh, dengan mengajaknya bermain dan bercerita.

Mudah-mudahan bermanfaat.

by: Efri Yaldi, kompasiana.com

Menanamkan Budaya Membaca

MENANAMKAN BUDAYA MEMBACA
Membaca memang sangat menyenangkan, hanya saja kita selalu malas untuk membuka-buka buku. Padahal jika kita tahu sebenarnya jawaban dari semua pertanyaan yang membelit kita ada pada sebuah buku, tetapi kita tidak tahu karena kita malas membacanya.

Mengapa membaca? Dengan membaca manusia dapat menyerap sedemikian rupa ilmu yang dapat mencerahkan dirinya. Sedangkan ilmu itu sendiri merupakan kunci meraih kebahagiaan dunia dan akhirat. Membaca merupakan kebutuhan rohani, seperti halnya mendengarkan ceramah-ceramah keagamaan. Namun kadang membaca memberikan gizi yang lebih untuk rohani kita.

Untuk menjadi seorang penulis yang dibutuhkan bukanlah terus menerus menulis, tapi yang perlu dilakukan adalah membaca. Untuk menemukan gaya membaca. Seperti teori kendi, jika kendi yang kosong diisi secara terus menerus dengan air, maka kendi itu akan penuh dan air yang lebihnya itu akan meluber, dan luberan itulah yang kelak akan menjadi tulisan.

Sebuah survei membuktikan bahwa masyarakat di Jepang mempunyai minat baca yang jauh lebih tinggi dibandingkan dengan masyarakat di Indonesia. Hal ini dibuktikan dengan jumlah buku yang terbit di Jepang lebih dari 40.000 judul buku pertahun. Sedangkan yang terbit di Indonesia sekitar 3000 judul buku pertahun. Perbandingan yang sangat jauh. Apalagi jika dibandingkan dengan negara Super Power, Amerika Serikat. Di negara ini sekitar 100.000 judul buku diterbitkan pertahunnya. Sedikitnya jumlah buku yang terbit di Indonesia mengisyaratkan betapa rendahnya minat baca masyarakat kita. Tidak heran jika kedua negara di atas cepat berkembang bahkan sampai berhasil menguasai dunia.

Sudah jelas, kunci membangun peradaban sebuah bangsa adalah dengan membaca, begitupun seseorang yang ingin terus mengembangkan dirinya ke tingkat optimalisasi, kuncinya adalah membiasakan membaca. Sebab unggul tidaknya sebuah negara tergantung dari unggul tidaknya masyarakat yang ada di dalamnya.

Kita lebih senang menonton film apalagi untuk seputar dunia wanita yang giat nonton sinetron, atau mendengarkan musik dari pada membaca buku, sebab ketika kita menonton atau mendengarkan musik, otak kita tidak dituntut untuk bekerja keras. Saat itu otak kita hanya mengikuti alur cerita atau alunan nada itu bergerak. Sedangkan apabila kita membaca, kita harus menggerakkan otak dan bola mata kita. Sebab jika kedua hal ini tidak dilakukan, kita akan kesulitan untuk menyerap apa yang sedang kita baca. Paradigma yang seperti inilah yang akan menyulitkan kita untuk menghafalkan puluhan halaman buku ketika kita akan dihadapkan dengan ujian. Mata akan cepat lelah, sebab kita tidak terbiasa membaca.

Membangun tradisi membaca memang tidak mudah begitu saja. Membaca penting sekali dalam seputar dunia wanita, bukan hanya cantik dari luar saja tapi menjadi wanita juga harus cerdas apalagi dihadapkan pada fenomena kehidupan saat ini. Kita harus membiasakan membaca buku. Di bawah ini beberapa cara membiasakan membaca buku :
  1. Membawa buku yang kecil terlebih dahulu, usahakanlah buku itu kita pegang jangan dimasukkan ke dalam tas. Karena jika kita terus memegangnya setidaknya kita akan membaca judul dan sampul belakangnya. Bawa terus sempai pada akhirnya secara tidak langsung kita akan tertarik untuk membukanya. Hal ini dapat bermanfaat misalnya saat kita sedang terjebak macet, atau menunggu antrian panjang, kita tidak perlu menggerutu sebab ada yang dapat kita lakukan, yaitu membaca buku. Membiasakan membawa buku kemana saja juga dapat menambah wibawa kita, setidaknya orang akan menganggap kita adalah orang yang serius, orang akan segan terhadap kita apalagi kalau judul bukunya menarik.
  2. Sesekali berkunjung ke toko buku, dengan berkunjung ke toko buku orang yang asalnya tidak suka membaca buku menjadi tertarik ketika membaca judul-judul yang menarik, yang mungkin sesuai dengan kebutuhannya saat ini.
  3. Menganggap buku ibarat makanan, dengan menganggap buku seperti makanan kita dapat melakukan hal-hal seperti: Memilih buku yang memang kita sukai, sebagaimana kita memilih makanan yang kita sukai. Mencicipi kelezatan sebuah buku, sebelum membaca sebuah halaman. Kita dapat mengenali dulu siapa pengarang buku tersebut, atau membaca dahulu sinopsisnya agar kita tertarik dan penasaran untuk membaca buku tersebut. Dengan ini kita akan merasa sedang bercakap-cakap dengan penulis buku tersebut, meskipun ternyata sedang sendirian. Bacalah buku seperti ngemil, jangan pernah takut untuk melihat tebalnya sebuah buku. Sedikit demi sedikit dibaca akan menjadi lebih menarik dan bermanfaat.
  4. Ciptakan suasana yang mendukung. Di antaranya sediakan penerangan yang cukup, cari posisi duduk yang nyaman, bila perlu ruangan diberi aroma wewangian sambil menyetel lagu klasik. Hal ini dapat menciptakan suasana yang santai dan mempermudah untuk menyerap informasi dari buku yang sedang kita baca.
  5. Membuat perpustakaan pribadi, apabila kita membeli buku, jangan beranggapan kita harus membacanya saat itu juga, kita bisa menyimpannya terlebih dahulu menjadi perpustakaan pribadi. Siapa tahu suatu saat kita akan membutuhkannya. Atau jika kita tidak sempat untuk membacanya, setidaknya buku-buku itu akan bermanfaat untuk anak cucu kita.

Membaca memang menyenangkan dan untuk membangun tradisi membaca tidaklah mudah serta gampang-gampang susah, tapi apabila kita mengetahui manfaat dari membaca itu sendiri maka membaca akan jadi lebih menyenangkan lagi. Di antaranya manfaat membaca sebagai berikut :
  1. Pintar. Banyak orang pintar tetapi tidak sekolah. Hamka atau Adam Malik, misalnya. Mereka pintar dengan belajar otodidak, yaitu membaca buku. Dengan membaca kita akan menyerap informasi dan pengetahuan yang semakin banyak.
  2. Produktif dalam menulis dan mempunyai banyak ide. Seorang pembaca yang baik akan mampu menjadi penulis yang baik. Ia akan selalu melahirkan karya-karya yang bermutu.
  3. Membangun peradaban bangsa. Dengan membaca kita akan menjelajahi dunia. Untuk mengetahui kutub Utara atau kutub Selatan kita tidak perlu pergi ke sana, kita tinggal membuka dan membaca buku. Dengan peradaban yang tinggi, kita akan dapat bersaing dengan negara-negara lain yang telah unggul lebih dulu.
  4. Mengurangi kemungkinan terserang penyakit demensia atau pikun. Dengan membaca buku kita akan terus berfikir. Apabila seseorang terus berfikir maka kemungkinan untuk terserang pikun  pun berkurang.
  5. Memanfaatkan waktu. Terjebak macet atau dalam antrian yang panjang adalah suatu hal yang membosankan. Agar kita tidak merasa jenuh kita dapat memanfaatkannya untuk membaca buku. Selain menghilangkan rasa kesal kita juga dapat menambah ilmu.

Membaca juga bermanfaat dalam seputar dunia wanita, untuk menambah wawasan dan juga kita dapat mengetahui rahasia kecantikan wanita dan bagaimana merawat tubuh agar tetap terlihat cantik, itu semua dapat kita peroleh dari membaca.

sumber: seputarduniawanita.com

Membangun Sikap Belajar

Salah satu indikator organisasi “sehat” adalah semangat belajar yang ada di dalam tim dan individu. Kita semua sadar bahwa bukan cuma individu yang fresh yang perlu dibekali berbagai pengetahuan untuk bisa menjalankan perannya di organisasi. Karyawan yang sudah banyak makan asam juga butuh “diisi” dengan berbagai ilmu yang aplikatif – mengingat mereka yang senior ini memberi banyak pengaruh dalam tim dan perusahaan. Meski sadar pentingnya belajar, tetap saja tidak sedikit kita temui orang yang skeptis dan mengatakan bahwa program belajar semata pemborosan dan buang-buang uang saja.

Komentar ini memang tidak boleh kita anggap angin lalu. Betapa sering kita mendengar keluhan mengenai dana pelatihan yang tidak berbanding lurus dengan peningkatan ketrampilan para karyawan. Betapa sering kita mendiskusikan mutu para eksekutif tidak berubah dan kematangan pribadi tidak bertambah, meskipun masa kerjanya sudah panjang dalam organisasi. Apanya yang salah? Materinya yang tidak sesuai dengan kebutuhan? Belajarnya tidak pakai “hati”? Cara belajar yang keliru? Ataukah kita sering tidak menyadari bahwa ada berbagai pilihan metode belajar untuk mengasah ketrampilan tertentu?

Belajar memang bukan proses yang mudah. Teman saya tidak bisa mencopot earphone bila sedang belajar dan menghafal. Ibunya sering kesal melihatnya dan mempersalahkannya mendapat angka jelek karena tidak “konsen”. “Mana mungkin pelajaran masuk...,” demikian ibunya. Padahal, menurutnya, itulah cara paling efektif baginya untuk belajar. Ada orang yang dipaksa duduk membaca dan membaca, tetapi tidak ada satu pun materi bacaan yang menempel di benaknya. Lain lagi cerita generasi M atau Z yang mendapatkan pengetahuan secepat kilat hanya dengan menggeser-geser jarinya di layar iPad, tanpa merasa perlu mendalami suatu subyek dan memastikan pemahaman yang benar. Kita pun sering tidak mengerti dari mana seseorang mempelajari hal, istilah atau pengetahuan baru dengan lancar tanpa kita menyadari kapan dan bagaimana ia belajar.

Apa pun bentuknya, program pelatihan atau pengajaran bertujuan agar proses belajar individu terjadi. Terkadang memang yang disasar adalah pengetahuannya saja. Namun, tentu yang lebih kita harapkan adalah karyawan bisa trampil dan bisa mempraktikkannya dalam kondisi sehari-hari. Kita baru bisa mengatakan proses belajar berhasil bila individu kemudian bisa mengembangkan sendiri pertanyaan-pertanyaan dan ‘teori’ sebagai hasil pengalamannya. Belajar baru bisa dibilang sukses bila cara pikir dan cara bertindak individu bisa berubah dan ilmu barunya diaplikasikan secara nyata. Ini jelas tidak mudah, apalagi mengingat individu sudah mempunyai pengetahuan dan ketrampilan yang melekat dalam dirinya dan belum tentu berminat mendapatkan ketrampilan baru. Namun kita tidak mungkin mundur ke belakang, bukan? Belajar adalah tanggung jawab kita semua.

Proses Belajar
Guru Sejarah SD saya selalu membawa alat peraga pada saat mengajar. Sekarang kita baru mengerti mengapa alat peraganya demikian manjur. Anak murid langsung mengerubungi meja dan tertarik pada benda-benda atau gambar-gambar tersebut. Ketertarikan adalah syarat utama dalam proses belajar karena ketertarikanlah yang membuka pikiran seseorang untuk menerima informasi baru. Kita jelas akan mendapat manfaat yang jauh lebih besar apabila pengetahuan baru dibarengi dengan imajinasi, emosi, motivasi dan insight yang mendalam tentang subyeknya. Repotnya, informasi baru ini kemudian akan berhadapan dengan informasi lama yang sudah bercokol di benak individu dewasa. Ada kemudian yang berkomentar, “Biasanya tidak begini...” atau “Saya dari lahir sudah begini...” Inilah tantangan proses pengajaran, di mana informasi baru tersebut bukan sekedar ‘masuk’ tetapi diolah, bahkan perlu menjadi ‘pengetahuan’ dan ‘pemahaman’ baru bagi si individu.

Klas Mellander dalam bukunya Power of Learning mengatakan, “If people are given the oppurtunity to discover things for themselves and to draw their own conclusions, then there is a great likelihood that they will embrace the oppurtunity to make change happen.” Pemahaman bisnis, kemampuan menangani manusia, apalagi krisis dan pengambilan resiko hanya bisa didapat melalui pengalaman. Pelatihan hanya mempan bila kita memberi individu pengalaman “how it feels” dan “how it works”. Pengalaman inilah yang kemudian tumbuh menjadi knowledge base-nya. Individu perlu merasakan hal-hal yang kritis bukan sekedar di otaknya, tetapi juga di hati dan ‘nerves”nya.

Babak Selanjutnya: Penerapan
Bukan sekali dua kali kita mendengar komentar, “Training bagus, komitmen sudah dikumandangkan, tetapi ketrampilan baru ternyata tidak mudah diterapkan di tempat kerja.” Di sini, satanya bermanfaat untuk menelaah ungkapan Einstein, “The only source of knowledge is experience.” Saat kita belajar bersepeda saat kanak-kanak dulu, kita tentu ingat benar bahwa kita perlu mengendarainya untuk tahu cara bersepeda. Seperti simulasi menerbangkan pesawat, situasi tidak merupakan fenomena tunggal, tetapi stimulus dengan bertubi-tubi.

Dalam kehidupan sehari-hari, kita juga mengalami hal yang sama. Krisis dalam perusahaan, penumpukan stok, tercekiknya cashflow, tuntutan growth penjualan dan laba datang sekaligus, tidak bisa dipecahkan dalam sistem ‘urat kacang’. Individu yang sedang belajar perlu menata semua ini sebagai mental projections dan insights  yang sistematis. Bila hal ini sempat terjadi dalam proses simulai, proses belajar akan berdampak pada reaksi-reaksi individu di kemudian hari. Ia sudah tahu cara mengelak. Ia punya pengalaman mengenai bagaimana, mengapa dan kapan harus ‘tanjap gas’ – bahkan sudah merasakan konsekuensinya, bila ternyata ia salah bereaksi. Hal yang kritikal untuk kesuksesan belajar tentunya juga merupakan dukungan dalam bentuk proses coaching oleh atasan, serta kesempatan untuk mempraktikkannya dalam situasi nyata. Hanya dengan proses yang utuh seperti ini, kita bisa yakin terjadinya proses belajar dalam diri individu.

by: Eileen Rachman & Sylvina Savitri, KOMPAS, 21 Juli 2012, hlm 33