Rabu, 13 Maret 2013

Berempati Sejak Dini

MARI BELAJAR BEREMPATI
Melihat si kecil gemar bereksplorasi mengenal dan beradaptasi dengan lingkungan sekitarnya, Anda sebagai orang tua tentu ikut bangga. Namun, jangan cepat puas. Pasalnya, masih ada sejumlah nilai-nilai sosial yang perlu terus menerus diajarkan sejak dini untuk membentuk karakter dan kepribadian positif buah hati di masa depan.

Dari sekian banyak nilai sosial yang ada, salah satu fondasi utama untuk pembentukan karakter adalah mengasah nilai empati. Nilai inilah yang merupakan kualitas yang mendasari rasa cinta, peduli dan belas kasih kepada orang lain.

Peran Orang Tua
Para pakar psikologi berpendapat, tanda awal nilai empati sebenarnya sudah tampak jelas saat si kecil baru lahir. Tengok saja, bayi yang baru lahir akan menangis ketika mendengar tangisan bayi lain. Contoh lainnya, bayi dengan cepat meniru dan bereaksi terhadap ekspresi wajah orang lain yang mengajaknya bermain. Di sinilah peran orang tua sangat penting untuk mengambil proses lebih lanjut. Anda bisa menjadi role model mereka.

Saat buah hati masih bayi, Anda dan pasangan dapat merespons dengan penuh kasih terhadap kebutuhan bayi, misalnya membelai dan memeluknya ketika mereka menangis. Setiap kali proses tersebut dilakukan, terjadi pembentukan saraf baru pada bayi yang mampu mengasosiasikan perawatan orang tua yang tulus sama dengan membentuk kemampuan dasar untuk mencintai dan berempati.

Memiliki empati akan amat berguna untuk membentuk karakter manusia. bila nilai tersebut sudah tertanam, seseorang akan lebih peduli, tidak mudah menyakiti dan berusaha tidak berbuat buruk kepada orang lain. Hal positif ini pun sudah dapat dipraktikkan dalam lingkup keluarga dan pertemanan ketika anak terus bertambah usianya, terutama pada rentang usia sekolah dasar.

Etika Pertemanan
Maklum, pertemanan merupakan bentuk pertama pengenalan kehidupan sosial bagi anak. Dengan berteman, anak pun akan belajar mengenal beragam situasi yang memerlukan kerja sama dan interaksi.

Setiap orang tua pasti menaruh harapan bahwa anaknya dapat berempati dengan teman-teman, dapat menempatkan diri di tempat mereka dan mengenali mereka sebagai manusia dengan perasaan seperti yang dirasakan si kecil.

Dalam TALKinc Points for Parents, Alexander Sriewijono, dkk (2010) menyebutkan, secara psikologis, anak-anak usia 6 – 12 tahun biasanya belum begitu memahami etika. Mereka sering kali mengungkapkan apa yang ada di pikirannya dengan begitu saja.

Misalnya ketika dia melihat anak berbadan gemuk, dia langsung berkata, “Lihat, dia gemuk sekali. Ih, perutnya gendut banget!” atau ketika dia diberi hadiah oleh temannya, dia langsung mengatakan, “Aku tidak suka hadiah darimu, jelek sekali!”

Oleh sebab itu, orang tua harus mengajari anak agar memahami apa yang disebut etika dan sopan santun, terutama yang terkait dengan dunia pertemanan. Anak harus diberi tahu apa yang semestinya dia ucapkan ketika menemui situasi tertentu agar tidak menyinggung perasaan temannya. Dengan begitu anak tahu apa yang harus dilakukan saat dia bermain bersama teman-temannya.

Berikan juga pengertian pada anak bahwa setiap teman mempunyai kelebihan dan kekurangan masing-masing. Ajaklah anak untuk dapat menjadi pendengar yang baik, tulus membantu dan mencoba mengambil sudut pandang dari si teman yang berbeda dengannya.

Jangan lupa setelah si kecil berhasil menunjukkan kepedulian terhadap perasaan anak lain, berikanlah pujian. Ketika suatu saat putra atau putri Anda melakukan sesuatu yang salah atau menyakiti temannya tanpa sengaja, sebaiknya Anda jangan terlalu bereaksi keras dengan langsung menghukum atau menghardiknya di depan umum.

Anda dapat menasehati si kecil dengan baik dan menunjukkan cara bagaimana untuk menebus kesalahan. Memperlakukan anak tanpa ucapan kasar dan amarah memberikan tanda bahwa buah hati dicintai dan dihargai orang tuanya. (AJG)

sumber: KOMPAS, 17 Februari 2013, hlm. 33.

Orang Kudus 13 Maret: St. Eufrasia

Santa eufrasia/eupraxia, pengaku iman
Eufrasia hidup antara tahun 382 – 412. Di lingkungan masyarakat Konstantinopel, keluarganya tergolong kaya raya. Ia dikenal sebagai puteri bangsawan yang murah hati kepada kaum fakir miskin dengan harta bendanya. Karena cita-citanya menjadi seorang petapa, ia memutuskan hubungan pertunangannya dengan anak seorang senator, lalu menjalani pertapaan di padang gurun Mesir. Ia mengalami banyak godaan di biara itu untuk kembali ke dunia ramai. Namun berkat ketekunannya dalam doa dan matiraga dengan melaksanakan pekerjaan-pekerjaan kasar dan hina dalam biara, ia berhasil mengatasi godaan-godaan itu. Eufrasia kadangkala berpuasa seminggu lamanya sehingga menimbulkan irihati di kalangan rekan-rekannya. Namun ia bisa menenangkan rekan-rekannya itu dengan sikapnya dan budi bahasanya yang halus dan sopan.

Sumber: Orang Kudus Sepanjang Tahun

Renungan Hari Rabu Prapaskah IV-C

Renungan Hari Rabu Prapaskah IV, Thn C/I
Bac I : Yes 49: 8 – 15Injil       : Yoh 5: 17 – 30

Sabda Tuhan hari ini mau berbicara kepada kita bahwa Allah tidak diam, melainkan tetap terus berkarya. Karya Allah itu demi umat-Nya. Nabi Yesaya, dalam bacaan pertama, menegaskan pesan Allah itu kepada umat Israel. Yesaya memberi perbandingan relasi Allah dengan umat-Nya itu dengan relasi antara seorang ibu dengan anaknya yang tak akan mungkin melupakan apalagi meninggalkan anaknya (ay. 15).

Allah yang tetap berkarya demi manusia itu kembali ditegaskan Yesus dalam Injil hari ini. "Bapa-Ku bekerja sampai sekarang." (ay. 17). Namun Yesus menambahkan bahwa saat ini Allah bekerja melalui diri-Nya. Pernyataan Yesus ini sekaligus mau menegaskan akan keallahan diri-Nya. Memang banyak orang Yahudi, dalam hal ini para imam, ahli taurat dan kaum Farisi menolak pernyataan Yesus ini.

Sabda Tuhan hari ini selain mau menegaskan akan keallahan Yesus, juga mau meyakinkan kita bahwa Allah tidak tinggal diam. Dulu ada filsuf yang mengatakan bahwa Allah sudah mati. Dengan sabda Tuhan ini, kita diyakinkan bahwa Tuhan tidak mati; Dia masih berkerja. Tinggal saja bagaimana kita mau menanggapi hasil karya-Nya.

by: adrian