Kamis, 28 Oktober 2021

MEMAHAMI DAN MENGHAYATI KEMISKINAN KRISTIANI

 

Sabda Bahagia Yesus di bukit pertama-tama ditujukan kepada orang miskin. “Berbahagialah orang yang miskin di hadapan Allah, karena merekalah yang empunya Kerajaan Sorga.” (Mat 5: 3). Pada masa Yesus dan sebelumnya, orang miskin masuk ke dalam kelompok orang yang terpinggirkan, baik secara sosial maupun secara religius. Secara keagamaan, orang miskin dilihat sebagai orang yang tidak mendapatkan berkat dari Allah, yang biasanya disebabkan karena dosa. Jadi, ada kaitan antara dosa dan kemiskinan. Dan dosa selalu dikaitkan dengan neraka (syeol).

Akan tetapi, dalam ucapan bahagia-Nya, Yesus justru mengatakan bahwa mereka yang miskin itu bahagia sebab memiliki Kerajaan Sorga. Suatu pernyataan yang kontradiktif. Lewat pernyataan-Nya itu, Yesus mau mematahkan pendapat lama sekaligus menanamkan hal baru bahwa orang miskin juga berhak atas Kerajaan Sorga.

Untuk membuktikan hal ini, selama hidup-Nya, Yesus hidup miskin dan hidup bersama orang miskin. Yesus menerapkan hidup miskin kepada para rasul-Nya ketika Ia mengutus mereka (Mat 10: 5 – 15). “Kamu telah memperolehnya dengan cuma-cuma, karena itu berikanlah pula dengan cuma-cuma.” (Mat 10: 8). Di sini Yesus menghendaki agar para rasul melaksanakan tugas perutusan tersebut dengan tanpa pamrih, bukan mencari uang atau imbalan. Lebih lanjut Yesus mengajak mereka untuk “menyingkirkan” harta benda (ay. 9 – 10).

Sekalipun beberapa kali Yesus bergaul dengan orang kaya, misalnya seperti Matius pemungut cukai (Mat 9: 9 – 13), pemuda yang kaya (Mat 19: 16 – 26), Zakheus (Luk 19: 1 – 10) dan Nikodemus (Yoh 3: 1 – 21), Yesus tidak serta merta menjadi kaya dan melupakan orang miskin. Malahan dalam perjumpaan-Nya dengan orang-orang kaya itu Yesus mengajak mereka untuk “melepaskan” kelebihan harta kekayaan mereka dan tidak menganggap sesuatu sebagai milik mereka sendiri. “Juallah segala milikmu dan berikanlah itu kepada orang-orang miskin, maka engkau akan beroleh harta di sorga…” (Mat 19: 21). Yesus tidak memanfaatkan orang kaya itu untuk kepentingan Diri-Nya sendiri, tetapi tetap pada jalan hidup-Nya, yaitu miskin.