Selasa, 25 Februari 2014

Foto-foto Medan Pastoral Tg Balai: Umat MGI






Dari Simpang Naga (P-21), naik poce menuju MGI. Kalau lancar, bisa 30 menit, tapi jika banyak sampah di kanal, bisa makan waktu 1 jam.



Bersiap untuk mengunjungi saudara lain di kelurahan lain.


(Pencerahan) Jangan Takut Dikritik

JANGAN TAKUT DIKRITIK
Tentulah setiap kita pernah menerima kritikan dari orang lain, entah itu sahabat ataupun lawan kita, entah itu dari atasan, rekan sekerja atau juga bawahan kita. Biasanya kecenderungan kita atas kritikan adalah melawan, menolak atau cuek. Semua ini termasuk dalam sistem pertahanan diri (Self defence). Banyak dari kita takut dengan kritik.

Kecenderungan untuk mempertahankan diri merupakan ciri orang yang tidak dapat menerima diri. Orang seperti ini selalu merasa dirinya yang benar dan hebat. Dia tidak bisa melihat kebenaran dan kebaikan yang dilontarkan orang lain terhadap dirinya dalam bentuk kritikan. Menerima kebenaran dari orang lain akan dapat merendahkan martabat dan harga dirinya.

Kebenaran yang disampaikan, baik oleh teman maupun musuh kita, baik atasan, rekan ataupun bawahan kita, bisa menjadi pelengkap atas kekurangan kita. Namun, karena kita merasa kebenaran kita sudah penuh, kita lantas menolaknya. Dan tak jarang ketika orang melontarkan kritikan terhadap kita, kita tidak lagi memperhatikan kebenaran dalam kritikan tersebut. Yang seringkali kita lakukan adalah membuat “kebenaran” baru yang hanya untuk menutupi kesalahan dan kekurangan kita.

Orang yang tak bisa menerima diri selalu lebih senang menerima pujian daripada kritikan. Tanpa disadari, sikap tidak mau menerima diri dapat menjadi awal kehancuran diri kita. St. Ignatius dari Antiokhia pernah menulis, “Mereka yang memuji saya mendera saya.”  Hal ini senada dengan apa yang dikatakan Putra Sirakh dalam kitabnya, “Seorang musuh manis dengan bibirnya, tetapi dalam hati merencanakan bagaimana ia dapat menjatuhkan dirimu ke dalam lobang.” (Sir 11: 16).

Oleh karena itu, janganlah hendaknya kita takut terhadap kritikan. Kita mesti terbuka dan menerima diri. Harus disadari tak ada manusia yang sempurna. Diri kita pun tak luput dari kekurangan. Menerima kritikan berarti kita berusaha melengkapi kekurangan kita.

Kita seharusnya bersyukur kepada mereka yang membantu kita dengan cara kritik. Sesungguhnya mereka jauh lebih berguna bagi kita daripada yang mendukung dan menyanjung kita. Menghadapi kritikan tidak perlu dengan sikap emosional. Dengan tenang kita telaah kritikan tersebut: adakah kebenaran dan kebaikannya di dalamnya? Jika ada maka terimalah sebagai kelengkapan diri kita. Tapi jika tidak, ya biarkan saja.

Menerima diri adalah modal awal untuk berkembang.

by: adrian

Renungan Hari Selasa Biasa VII - Thn II

Renungan Hari Selasa Biasa VII, Thn A/II
Bac I   : Yak 4: 1 – 10; Injil           : Mrk 9: 30 – 37

Dalam Injil hari ini, Markus mengisahkan pertentangan yang terjadi di antara para rasul. Mereka mempersoalkan siapa yang terbesar di antara mereka. Tampak jelas kalau masing-masing mereka ingin menjadi yang paling hebat, paling berpengaruh, paling dikasihi Sang Guru, paling berkuasa dan lain sebagainya. Tujuannya jelas, agar ia dapat menikmati pelayanan, dihormati dan berkuasa atas orang lain. Yesus membongkar cara pandang ini dan membalikkannya. “Jika seseorang ingin menjadi yang terdahulu, hendaklah ia menjadi yang terakhir dari semuanya dan pelayan dari semuanya.” (ay. 35). Bagi Yesus, orang yang hebat adalah orang yang rendah hati, yang mau mendahulukan orang lain.

Ajaran Yesus ini diteruskan oleh Yakobus. Dalam suratnya, Yakobus seakan kembali merefleksikan peristiwa pertengkaran itu. Bagi Yakobus, hal itu terjadi karena adanya hawa nafsu. Hawa nafsu merupakan wujud lain dari keangkuhan yang bertentangan dengan sikap rendah hati. Karena itu, Rasul Yakobus mengajak kita untuk bersikap rendah hati.

Refleksi Rasul Yakobus masih relevan buat kehidupan manusia jaman sekarang. Pertikaian, perpecahan dan penderitaan muncul dari hawa nafsu. Kita ingin memenuhi hidup dengan segala-galanya sesuai keinginan. Hal ini muncul karena kita tidak memiliki sikap rendah hati. Adanya sikap rendah hati membuat kita bisa mensyukuri apa yang ada. Melalui sabda-Nya, Tuhan menghendaki kita untuk selalu bersikap rendah hati. Terlebih di saat kita menjadi pemimpin. Dengan sikap ini, maka seorang pemimpin akan selalu tampil melayani.

by: adrian