Rabu, 03 September 2014

Sekilas Sejarah Bulan Kitab Suci Nasional

SEJARAH BULAN KITAB SUCI NASIONAL
Bulan September biasanya, Gereja Katolik Indonesia memasuki Bulan Kitab Suci Nasional. Pimpinan Gereja menganjurkan umat Katolik menjadi lebih akrab dengan Kitab Suci dengan berbagai cara, sehingga dengan demikian umat semakin tangguh dan mendalam imannya dalam menghadapi kerumitan dan kesulitan hidup dewasa ini.

Selintas Sejarah
Pada bulan September telah dikhususkan oleh Gereja Katolik Indonesa sebagai Bulan Kitab Suci Nasional. Di setiap keuskupan dilakukan berbagai kegiatan untuk mengisi bulan ini, mulai di lingkungan, wilayah, paroki, biara, maupun di kelompok-kelompok kategorial. Misalnya, lomba baca KS, pendalaman KS di lingkungan, pameran buku, dan sebagainya. Terutama pada hari Minggu pertama bulan itu, kita merayakan hari Minggu Kitab Suci Nasional. Perayaan Ekaristi berlangsung secara meriah, diadakan perarakan khusus untuk KS, dan KS ditempatkan di tempat yang istimewa. Sejak kapan tradisi Bulan Kitab Suci Nasional ini berawal? Untuk apa?

Untuk mengetahui latar belakang diadakannya BKSN ini kita perlu menengok kembali Konsili Vatikan II. Salah satu dokumen yang dihasilkan oleh KV II yang berbicara mengenai KS adalah Dei Verbum. Dalam Dei Verbum para bapa Konsili menganjurkan agar jalan masuk menuju Kitab Suci dibuka lebar-lebar bagi kaum beriman (DV 22). Konsili juga mengajak seluruh umat beriman untuk tekun membaca KS. Bagaimana jalan masuk itu dibuka? Pertama-tama, dengan menerjemahkan KS ke dalam bahasa setempat, dalam hal ini Bahasa Indonesia. Usaha ini sebenarnya telah dimulai sebelum KV II dan Gereja Katolik telah selesai menerjemahkan seluruh KS, baik PL maupun PB. Namun, KV II menganjurkan agar diusahakan terjemahan KS ekumenis, yakni terjemahan bersama oleh Gereja Katolik dan Gereja Protestan. Mengikuti anjuran KV II ini, Gereja Katolik Indonesia mulai “meninggalkan” terjemahan PL dan PB yang merupakan hasil kerja keras para ahli Katolik, dan memulai kerja sama dengan Lembaga Alkitab Indonesia. Dengan demikian, mulailah pemakaian KS terjemahan bersama, yang merupakan terjemahan resmi yang diakui baik oleh Gereja Katolik maupun Gereja-gereja Protestan di Indonesia. Yang membedakan hanyalah Kitab-Kitab Deuterokanonika yang diakui termasuk dalam KS oleh Gereja Katolik namun tidak diakui oleh Gereja-gereja Protestan.

Kitab Suci telah diterjemahkan ke dalam Bahasa Indonesia, namun umat Katolik Indonesia belum mengenalnya, dan belum mulai membacanya. Mengingat hal itu, Lembaga Biblika Indonesia, yang merupakan Lembaga dari KWI untuk kerasulan Kitab Suci, mengadakan sejumlah usaha untuk memperkenalkan KS kepada umat dan sekaligus mengajak umat untuk mulai membaca KS. Hal ini dilakukan antara lain dengan mengemukakan gagasan sekaligus mengambil prakarsa untuk mengadakan Hari Minggu Kitab Suci secara nasional. LBI mengusulkan dan mendorong agar keuskupan-keuskupan dan paroki-paroki seluruh Indonesia mengadakan ibadat khusus dan kegiatan-kegiatan sekitar KS pada Hari Minggu tertentu.

LBI telah dua kali mencobanya. Pada tahun 1975 dalam rangka menyambut terbitnya Alkitab lengkap ekumenis, LBI menyarankan agar setiap paroki mengadakan Misa Syukur pada bulan Agustus. Bahan-bahan liturgi dan saran-saran kegiatan yang dapat dilakukan beberapa bulan sebelumnya dikirimkan ke keuskupan-keuskupan. Percobaan kedua dilakukan pada tahun 1976. Akhir Mei 1976 dikirimkan bahan-bahan langsung kepada pastor-pastor paroki untuk Hari Minggu Kitab Suci tanggal 24/25 Juli 1976, ditambah lampiran contoh pendalaman, leaflet, tawaran bahan diskusi, dan lain-lain.

Walaupun dua kali percobaan itu tidak menghasilkan buah melimpah seperti yang diharapkan, LBI toh meyakini bahwa HMKS harus diteruskan dan diusahakan, dengan tujuan sebagai berikut:
1.      Untuk mendekatkan dan memperkenalkan umat dengan sabda Allah. KS juga diperuntukkan bagi umat biasa, tidak hanya untuk kelompok tertentu dalam Gereja. Mereka dipersilahkan melihatnya dari dekat, mengenalnya lebih akrab sebagai sumber dari kehidupan iman mereka.
2.      Untuk mendorong agar umat memiliki dan menggunakannya. Melihat dan mengagumi saja belum cukup. Umat perlu didorong untuk memilikinya paling sedikit setiap keluarga mempunyai satu kitab suci di rumahnya. Dengan demikian, umat dapat membacanya sendiri untuk memperdalam iman kepercayaannya sendiri.

Dalam sidang MAWI 1977 para uskup menetapkan agar satu Hari Minggu tertentu dalam tahun gerejani ditetapkan sebagai Hari Minggu Kitab Suci Nasional. Hari Minggu yang dimaksudkan adalah Hari Minggu Pertama September. Dalam perkembangan selanjutnya keinginan umat untuk membaca dan mendalami KS semakin berkembang. Satu Minggu dirasa tidak cukup lagi untuk mengadakan kegiatan-kegiatan seputar Kitab Suci. Maka, kegiatan-kegiatan ini berlangsung sepanjang Bulan September dan bulan ke-9 ini sampai sekarang menjadi Bulan Kitab Suci Nasional

By: YM Seto Marsunu
Sekretaris Lembaga Biblika Indonesia (LBI)
Diambil dari: UCANEWS Indonesia
Baca juga:

Kondisi Penyebab Merosotnya Hubungan Keluarga

KONDISI-KONDISI YANG MENYEBABKAN MEROSOTNYA HUBUNGAN KELUARGA
Sikap terhadap Peran Orang Tua
Orang tua yang kurang menyukai peran orang tua merasa bahwa waktu, usaha dan uang dihabiskan oleh anak, cenderung mempunyai hubungan yang buruk dengan anak-anaknya.

Harapan Orang Tua
Pada saat anak masuk sekolah, banyak orang tua yang berpengharapan tinggi mengenai mutu tugas-tugas sekolah dan besarnya tanggung jawab anak di rumah. Kalau anak gagal memenuhi harapan ini, orang tua sering menghina, memarahi dan menghukum.

Metoda Pelatihan Anak
Pelatihan anak otoriter, yang sering digunakan dalam keluarga besar, dan disiplin lunak yang terutama digunakan dalam keluarga-keluarga kecil, keduanya menimbulkan pertentangan di rumah dan menyebabkan kebencian pada anak. Disiplin yang demokratis biasanya menghasilkan hubungan keluarga yang baik.

Status Sosial Ekonomi
Kalau anak merasa bahwa rumah dan miliknya lebih buruk daripada rumah dan benada-benda milik teman-temannya, anak sering menyalahkan orang tua dan orang tua cenderung membenci hal itu.

Pekerjaan Orang Tua
Pandangan mengenai pekerjaan ayah mempengaruhi perasaan anak. Kalau ibu bekerja di luar rumah, sikap anak terhadap ibu diwarnai oleh pandangan teman-teman mengenai wanita yang bekerja di luar rumah dan oleh banyaknya beban tanggung jawab yang harus dilakukan di rumah.

Perubahan Sikap kepada Orang Tua
Dalam hubungan dengan orang tua, teman-teman dan dari apa yang dibaca atau dilihat anak di televise atau film-film, anak membentuk konsep tentang ibu dan ayah yang ideal. Kalau orang tuanya tidak sesuai dengan idealnya, anak cenderung bersikap kristis dan membandingkan orang tuanya dengan orang tua teman-temannya.

Pertentangan Antarsaudara
Anak yang lebih besar sering mengkritik penampilan dan perilaku adiknya, yang sebaliknya senang menggoda dan memerintah adik yang lebih mudah lagi. Bila orang tua berusaha menghentikan hal itu, mereka dianggap pilih kasih. Anak-anak kemudian bersatu menghadapi orang tua dan saudara-saudara yang dianggap merupakan kesayangan orang tua.

Perubahan SIkap kepada Sanak Keluarga
Anak yang lebih besar tidak senang lagi dengan sanak keluarganya seperti ketika ia masih kecil, dan cenderung menganggap mereka “terlalu tua” atau “terlalu memerintah”. Kalau anak diharapkan hadir dalam pertemuan keluarga, ia sering menentang dan mengatakan bahwa pertemuan itu “membosankan”. Sanak keluarga membenci sikap ini dan memarahi si anak.

Orang Tua Tiri
Anak yang masih ingat orang tua kandung yang tidak ada lagi bersamanya di rumah, biasanya membenci orang tua tiri dan memperlihatkannya dengan bersikap kritis, negativistis dan perilaku yang sulit. Hal ini menimbulkan pertentangan di rumah.

sumber: Elizabeth B. Hurlock, PSIKOLOGI PERKEMBANGAN: Suatu Pendekatan Sepanjang Rentang Kehidupan. (edisi 5). Jakarta: Erlangga, 1980, hlm. 171.
Baca juga:

Renungan Hari Rabu Biasa XXII - Thn II

Renungan Hari Rabu Biasa XXII, Thn A/II
Bac I    1Kor 3: 1 – 9; Injil                 Luk 4: 38 – 44;

Injil hari ini menampilkan kisah Tuhan Yesus di kampung mertua Petrus. Di sini Tuhan Yesus banyak melakukan mujizat, termasuk menyembuhkan mertua Petrus yang sedang sakit demam. Melihat aneka mujizat yang dilakukan Yesus itu, warga sekampung menginginkan agar Yesus tidak meninggalkan mereka. Terbersit rasa egois dalam diri warga sekampung Petrus. Orang-orang ini mau terus memiliki Yesus dengan segala mujizat-Nya. Mereka tidak ingin kebaikan Yesus dinikmati orang lain. Karena itu Yesus menyatakan bahwa perutusan-Nya tidak hanya sebatas satu kelompok saja, melainkan terbuka bagi orang lain.

Apa yang diinginkan warga kampung mertua Petrus menunjukkan bahwa mereka masih bersifat duniawi. Inilah yang dikatakan Paulus dalam suratnya yang pertama kepada jemaat di Korintus. Bagi Paulus, mereka adalah manusia duniawi, karena mereka hanya memikirkan kepentingan pribadinya. Manusia duniawi ini juga terdapat dalam jemaat Korintus. Semangat manusia duniawi ini akan merusak kesatuan jemaat. Karena itu, Paulus mengajak umat untuk menanggalkan keduniawian manusianya dan mengenakan manusia rohani. Manusia rohani tidak akan hidup dalam semangat ego atau kelompok, melainkan dalam kebersamaan sebagai satu kawanan Allah.

Dalam kehidupan, kita sering menunjukkan aspek keduniawian kita. Kita cenderung mementingkan ego sendiri atau kelompok kita ketimbang kepentingan dan kebaikan umum. Kita selalu ingin menguasai apa yang kita suka dan cenderung kita nikmati sendiri tanpa mau berbagi kepada sesama. Sabda Tuhan hari ini hendak mengubah kebiasaan ini. Tuhan menghendaki agar kita mau dan berani menanggalkan semangat egoisme dan kelompokisme serta mengutamakan kepentingan dan kebaikan bersama. Kita diajak untuk mau berbagi rahmat dan berkat dari Tuhan kepada sesama.

by: adrian