Rabu, 16 Januari 2019

PENGAKUAN SEORANG IMAM SOAL SAKRAMEN TOBAT

Saya pernah bertugas di sebuah paroki di salah satu keuskupan di Indonesia. Saat itu saya sebagai pastor pembantu.
Sudah menjadi kebiasaan di paroki ini, atau mungkin di keuskupan, bahwa menjelang perayaan Natal atau Pekan Suci, ada upacara penerimaan sakramen tobat. Sakramen tobat dilihat sebagai salah satu persiapan umat untuk menyambut Natal dan/atau Paskah. Pada saat ini, penerimaan sakramen tobat biasanya dilangsungkan di komunitas-komunitas.
Selama melayani pengakuan dosa, saya melihat bahwa animo umat terhadap sakramen tobat amat sangat rendah. Dibandingkan sakramen lainnya, kiranya sakramen tobat menduduki urutan pertama sakramen yang tidak laris (urutan kedua adalah sakramen pengurapan orang sakit). Ternyata hal ini dirasakan juga oleh rekan iman lainnya.
Karena itu, pernah kami membuat program katekese tentang sakramen tobat. Dalam katekese ini, kami tidak hanya menyampaikan ajaran Gereja tentang sakramen tobat atau teologi sakramen ini, melainkan juga manfaat sakramen ini baik bagi kesehatan jiwa maupun raga, rohani dan jasmani. Kami jelaskan juga soal ketakutan dan rasa malu umat terkait sakramen ini, serta tata cara pengakuan dosa. Akan tetapi, tetap saja tidak ada perubahan. Ruang pengakuan tetap dingin.