Rabu, 11 Desember 2013

Ada yang Aneh dengan Jilbab Polwan

Salah satu berita hangat beberapa hari lalu adalah penundaan seragam jilbab untuk para polisi wanita. Penundaan itu langsung dari Kapolri sendiri, Jenderal Sutarman, dan ada alasan yang logis. Akan tetapi reaksi yang muncul adalah negatif. Banyak pihak seakan tidak mau mendengarkan alasan dari pihak Polri dan hanya memaksakan kehendaknya sendiri.

Dari sekian banyak reaksi itu, ada dua lembaga yang cukup menarik dicermati reaksinya. Kedua lembaga itu adalah Komnasham dan MUI. Kita tahu bahwa Komnasham adalah lembaga yang sibuk mengurusi hak-hak asasi manusia. Kebetulan soal jilbab polwan ini, sebagaimana yang dikatakan oleh Jenderal Sutarman, merupakan hak dan bukan kewajiban, maka tidak salah kalau Komnasham turut meramaikan dengan reaksi terhadap penundaan itu. Mereka mendesak Kapolri untuk tidak menunda lagi dan segera dilaksanakan.

Di satu sisi kita salut dengan Komnasham. Mereka sungguh memperhatikan hak-hak polwan. Namun, apakah jilbab itu masuk kategori asasi? Masih banyak masalah hak-hak manusia yang paling asasi, tapi seakan tidak kedengaran gaung reaksi Komnasham. Ada banyak saudara-saudara umat kristen yang terpasung haknya untuk mendirikan rumah ibadah. Tak terdengar gaung reaksi Komnasham akan nasib pengungsi Syiah, Ahmadiyah dan juga pengungsi eks Timor Timur. Artinya, masih ada persoalan hak manusia yang jauh lebih asasi ketimbang urusan “mode” jilbab.

Menarik juga kalau dicermati reaksi dari MUI. Salah satu pengurus MUI mengatakan bahwa jilbab merupakan kewajiban seorang muslimah. Mereka hanya memperhatikan kepentingan mereka saja, tanpa memperhatikan kepentingan Polri berkaitan dengan penundaan itu. MUI seakan tidak sadar kalau para polwan itu berada di institusi yang selalu menegakkan “seragam”. Dan pada titik inilah yang dijadikan alasan penundaan. Tapi MUI tidak memperhatikan hal itu dan terus mendesak Kapolri untuk segera menerapkan aturan itu. Di sini seakan muncul kesan, “karena kami mayoritas, kami dapat memaksakan kehendak kami.” Aneh!

Harus disadari bahwa Polri tidak melarang penggunaan jilbab bagi polwan yang beragama islam (seharusnya MUI bangga). Artinya, Polri sudah memperhatikan kepentingan umat islam. Polri sudah mengerti tuntutan agama islam. Akan tetapi, Polri juga sadar diri bahwa mereka selalu menekankan keseragaman. Dan kenapa MUI tidak bisa mengerti Polri? Kenapa MUI tidak mau memperhatikan kepentingan Polri? Bukankah kita hidup itu harus saling mengerti satu sama lain, saling menghargai dan saling lainnya?

Namun, satu keanehan lain dari jilbab ini adalah salah satu alasan penundaan itu, yaitu anggaran. Dikatakan bahwa jilbab polwan tidak bisa diterapkan tahun ini atau tahun 2014, karena belum dianggarkan. Diperkirakan, baru tahun 2015 para polisi muslimah ini dapat mewujudkan mimpinya mengenakan jilbab dalam menjalankan tugas. Ini berarti, pada tahun 2014 nanti akan dianggarkan. Dan anggaran ini pun tentulah harus menunggu persetujuan DPR. Kalau berbicara soal anggaran, maka itu berarti diambil dari uang negara; dan uang negara itu berarti juga uang rakyat.

Menjadi keanehan, kenapa untuk mewujudkan kewajiban individu polisi muslimah harus memakai anggaran negara, yang adalah uang rakyat? Kalau uang rakyat itu nantinya untuk jilbab polwan muslimah, bagaimana nanti dengan polwan yang beragama hindu, budha dan yang kristen? Dengan turunnya anggaran uang negara untuk pengadaan jilbab, berarti polwan muslimah akan makan uang rakyat, sementara yang lain hanya gigit jari. Ataukah polwan yang lain juga akan menuntut pengadaan sesuatu berkaitan dengan agamanya, sehingga semua polwan ini sama-sama makan uang rakyat? Mungkinkah Komnasham akan juga mau memperhatikan hak polwan yang non muslim ini?

MUI sudah mengatakan bahwa dalam agama islam jilbab itu merupakan kewajiban. Yang namanya kewajiban itu selalu terikat pada individu. Yang melaksanakan kewajiban itu adalah individu yang bersangkutan, bukan pihak luar. Jadi, jika jilbab itu merupakan kewajiban wanita muslim, maka wanita muslim itulah yang harus melaksanakannya. Polri hanya memberikan ketentuan demi seragamnya saja. Keseragaman itu bukan hanya soal warna saja, melainkan juga soal model dan biayanya. Kita dapat meniru dunia pendidikan. Para siswa diwajibkan memakai seragam. Yang perlu diperhatikan adalah agar baju seragam itu tidak terkesan mahal dan mencolok sehingga menimbulkan kecemburuan sosial.

Oleh karena itu, jilbab polwan tidak perlu dianggarkan. Tidak perlu memakai uang rakyat. Uang rakyat dapat dipakai untuk keperluan umum yang jauh lebih penting daripada urusan pribadi-pribadi tertentu. Karena merupakan kewajiban bagi polwan muslimah, maka yang bersangkutanlah yang membiayai jilbab itu.
Jakarta, 7 Des 2013
by: adrian

Ketrampilan Bayi

bEBERAPA KETRAMPILAN UMUM PADA MASA BAYI

Ketrampilan Tangan
Makan sendiri
Pada usia delapan bulan, kebanyakan bayi dapat memegang botol susunya sendiri setelah dot dimasukkan ke dalam mulut; pada sembilan bulan bayi dapat memasukkan dot ke dalam mulut dan mengeluarkannya tanpa dibantu. Pada umur dua belas bulan bayi dapat minum dari cangkir yang dipegang dengan kedua belah tangannya; dan beberapa bulan kemudian dapat minum dari cangkir dengan menggunakan satu tangan. Pada tiga belas bulan mulai makan sendiri dengan sendok dan sebulan atau dua bulan kemudian dapat menusuk makanan dengan garpu dan memasukkannya ke dalam mulut disertai tumpahan. Pada ulang tahun kedua kebanyakan bayi dapat menggunakan sendok dan garpu tanpa menumpahkan makanan.

Berpakaian sendiri
Pada akhir tahun pertama kebanyakan bayi dapat menarik kaos kaki, sepatu, topi dan sarung tangan. Pada pertengahan tahun kedua bayi berusaha memakai topi dan sarung tangan dan pada akhir masa bayi dapat mengenakan dan melepaskan pakaian.

Mengurus diri sendiri
Mandi sendiri terbatas pada menyeka muka dan badan. Sebelum dua tahun kebanykan bayi berusaha menyikat gigi dan menyisir rambut secara sendiri.

Ketrampilan bermain
Pada dua belas bulan kebanyakan bayi dapat mencoret-coret dengan pensil atau crayon; dan beberapa bulan kemudian dapat melempar atau menggelindingkan bola, membuka kotak, membuka tutup botol, membalik halaman-halaman buku, membentuk bangunan dengan beberapa balok, memasukkan pasak ke dalam tempatnya, menguntai manik-manik besar dan menggunting kertas.

Ketrampilan kaki
Bayi belajar melompat dari tempat tinggi biasanya dengan gerakan-gerakan menyerupai berjalan. Bayi memanjat tangga mula-mula dengan cara merangkak dan merambat setelah dapat berjalan sendiri, ia naik dan turun dalam posisi tegak, meletakkan satu kaki pada tangga dan menarik kaki yang satunya. Hanya sedikit bayi yang dapat naik sepeda roda tiga pada usia ini dan itu pun hanya kalau dibantu. Bayi dapat berenang dengan menceburkan tangan dan menendang-nendang

sumber: Elizabeth B. Hurlock, PSIKOLOGI PERKEMBANGAN: Suatu Pendekatan Sepanjang Rentang Kehidupan. (edisi 5). Jakarta: Erlangga, 1980, hlm. 84

Renungan Hari Rabu Adven II - A

Renungan Hari Rabu Adven II, Thn A/II
Bac I   : Yes 40: 25 – 31; Injil      : Mat 11: 28 – 30

Dalam bacaan pertama, Yesaya menyampaikan nubuat dari Allah. Dari nubuat Allah itu, terlihat jelas bahwa Allah itu bukan saja mahakuasa melainkan juga maha peduli. “Dia memberi kekuatan kepada yang lelah dan menambah semangat kepada yang tiada berdaya.” (ay. 29). Allah tidak mau membiarkan umat-Nya menderita seorang diri atau menelantarkan mereka begitu saja.

Hal yang sama terungkap juga dalam Injil. Dalam Injil Yesus menyampaikan nubuat-Nya sendiri, yang tidak jauh berbeda dengan nubuat Yahwe yang disuarakan oleh Yesaya. Dia memberikan perhatian kepada “yang letih lesu dan berbeban berat.” (ay. 28). Mereka-mereka ini akan mendapatkan kelegaan. Yesus tidak ingin mereka itu hidup terlantar dalam penderitaan. Karena itulah Dia datang untuk menyelamatkan mereka.

Lewat sabda-Nya hari ini, Tuhan mau mengingatkan kita bahwa Dia tidak menghendaki kita binasa, melainkan selamat. Tuhan tidak mau kita sendirian terlantar dalam sengsara. Namun agar keselamatan itu dapat kita rasakan, dibutuhkan beberapa syarat. Kita harus mau menerima “kuk” yang dipasang Tuhan, meski kuk itu enak dan ringan (ay. 30), dan belajar dari Dia.

by: adrian