Natal, bagi umat Kristiani, merupakan peristiwa
iman. Dengan natal umat merayakan syukur atas Allah yang mau peduli pada nasib
manusia. Kepedulian Allah itu terlihat dalam penjelmaan-Nya menjadi manusia (inkarnasi).
Allah mau mengangkat (baca: menyelamatkan) manusia dari lumpur kedosaanya.
Untuk itulah Allah “turun” ke dunia “dan mengambil rupa seorang hamba, dan
menjadi sama dengan manusia” (Flp 2: 7). Bagaimana hal ini bisa dipahami,
tentulah sulit untuk dicerna akal manusiawi. Namun tidak secara imani. Karena
itulah natal dikenal sebagai peristiwa iman.
Kapan persisnya Allah menjelma menjadi manusia
(baca: kelahiran Yesus), tak ada satu orangpun yang tahu. Orang Kristen sepakat
bahwa natal itu jatuh pada 25 Desember, mengambil tradisi kafir akan
penghormatan dewa Matahari. Maka dari itu, setiap kali memasuki bulan Desember,
selalu suasana natal langsung terasa. Hal itu terlihat dari ikon-ikon natal
yang ada di mana-mana, khususnya di pusat-pusat perbelanjaan.
Natal kini sudah menjadi ajang konsumtivisme
dunia. Dengan adanya ikon-ikon natal di setiap pusat-pusat perbelanjaan,
seakan-akan ada seruan, “Mari, belanjalah!” Jelas, bahwa seruan ini telah
menggantikan seruan Yohanes Pembabtis, yang selalu didengungkan pada adven
pertama, “Persiapkanlah jalan bagi Tuhan, luruskanlah jalan bagi-Nya.” (Mat 3: 3).
Yesus Lahir dalam
Kesederhanaan
“Ketika mereka di situ tibalah waktunya bagi Maria
untuk bersalin, dan ia melahirkan seorang anak laki-laki, anaknya yang sulung,
lalu dibungkusnya dengan lampin dan dibaringkannya di dalam palungan, karena
tidak ada tempat bagi mereka di rumah penginapan.” (Luk 2: 6 – 7).
Inilah sepenggal catatan sejarah kelahiran Yesus, yang
hanya ada dalam Injil Lukas. Memang tidak ada keterangan rinci mengenai tempat
kelahiran Yesus, namun Gereja mengakui kalau Maria melahirkan bayinya di dalam
kandang hewan. Tak jelas juga apakah kandang itu bekas atau masih digunakan.
Apa yang mau dikatakan dari peristiwa ini? Yesus
lahir dalam kesederhanaan. Tidak ada pesta, hingar bingar musik (kecuali kidung
surgawi para malaikat) atau kelap-kelip kemilau lampu hias dan kembang api.
Bayi Yesus lahir hanya dibungkus dengan kain lampin, bertemankan lenguhan sapi
dan dengungan nyamuk malam; hanya cahaya pelita kecil dan jutaan cahaya bintang
di angkasa. Sangat sederhana.
Itulah natal perdana. Kiranya pesan yang mau
disampaikan adalah jelas, yaitu ajakan untuk hidup sederhana. Bukankah perayaan
natal mengajak umat manusia untuk bersyukur
atas Allah yang peduli terhadap manusia? Bersyukur merupakan salah satu wujud atau ciri khas
orang sederhana. Orang yang sederhana adalah orang yang selalu bersyukur atas
apa yang terjadi dalam hidupnya.
Dan kini orang Kristen mau mengenangkan natal awal itu
dengan sebuah perayaan; dengan sebuah pesta. Sayangnya natal sekarang sungguh bertolak
belakang dengan natal perdana. Manusia jaman sekarang lebih menitikberatkan
pada aspek pestanya dari pada inti natal itu sendiri. Ditambah lagi dengan
budaya hedonis dan semangat konsumtif, membuat makna natal itu menjadi kabur.
Natal dan Global Warming
Dewasa ini isu dunia yang hangat dibicarakan adalah
masalah pemanasan global (global warming).
Berbagai pertemuan diselenggarakan untuk membahas rencana pengurangan gas emisi
yang menyebabkan efek rumah kaca. Dampak dari efek rumah kaca ini adalah
pemanasan global dan perubahan iklim.
Kita sudah
mengetahui kalau pemanasan global dan perubahan iklim ini dapat membawa akibat
buruk bagi kehidupan di muka bumi ini. Mark Lynas, jurnalis dan penyiar acara
lingkungan hidup asal Inggris, dalam bukunya Six Degrees: Our Future on a
Hotter Planet, memberi gambaran
rinci tentang dampak itu. Baginya, dampak terburuk yang bakal terjadi adalah
kepunahan massal sekitar 95%. Inilah skenario “kiamat”, yang ironisnya karena
ulah manusia sendiri.
Oleh karena itu, sejak munculnya isu pemanasan global ini, ada banyak
seruan dan ajakan untuk mengurangi emisi gas rumah kaca, baik dengan penanaman
atau penghijauan maupun dengan pembatasan penggunaan bahan bakar fosil. Pembatasan
penggunaan bahan bakar fosil misalnya dapat dilakukan dengan memilih berjalan
kaki dari pada berkendaraan ke tempat yang dekat atau nebeng/menggunakan
transportasi umum, penghematan pemakaian listrik, dll. Pemakaian
ulang bahan-bahan tertentu juga diyakini bisa membantu mengurangi emisi gas
rumah kaca.
Dengan kata lain, dapat dikatakan bahwa seruan
pengurangan emisi gas rumah kaca merupakan ajakan untuk kembali kepada pola
hidup sederhana dan hemat. Pada bagian inilah pesan natal mengena. Seperti
dahulu Yesus datang (baca: natal) untuk menyelamatkan manusia, natal kini
mengajak kita untuk hidup sederhana dan berhemat demi penyelamatan bumi yang
kita diami.
Selamat merayakan natal!!!
by: adrian