Selasa, 18 Desember 2012

(Sharing Iman) Menjadi Katolik



DARI ATEIS MENJADI BAPTIS, AKHIRNYA JADI KATOLIK


Ketika saya masih kecil, ayah saya mengajarkan saya hal-hal yang mendasar tentang Allah dan dia membacakan saya dan saudara saya Alkitab versi anak-anak. Saya sangat suka mendengarnya dan melihat gambar-gambarnya yang indah, tetapi entah mengapa, saya tidak pernah sungguh-sungguh membangun iman kepada Allah. Mungkin karena waktu itu saya pikir pergi ke gereja itu sangat membosankan atau mungkin karena pengaruh ibu saya yang agnostik (tidak peduli akan Allah). Meskipun dia tidak pernah secara terbuka menghalangi saya untuk beriman pada Allah akan tetapi dari dialah sejak kecil saya tahu bahwa ada orang-orang yang tidak percaya eksistensi Allah. Dan tampaknya bagi saya sewaktu umur saya makin bertambah bahwa biasanya orang-orang yang pintar itu tidak percaya akan Allah.

Saya tidak ingat pada umur berapa akhirnya saya kehilangan sedikit iman yang saya miliki tetapi sewaktu saya menginjak sekolah menengah umum, saya telah mengaku sebagai seorang ateis. Mungkin lebih tepat kalau saya dianggap agnostik karena kalau anda mendesak saya mungkin saya harus mengakui bahwa saya tidak dapat yakin 100% bahwa Allah itu tidak ada walau saya sungguh percaya memang tidak ada Allah. Saya merasa agama cuma buat orang-orang yang lemah yang tidak dapat menghadapi kenyataan. Sejauh pemikiran saya, manusia telah menciptakan Allah seperti gambaran dirinya berabad-abad lalu demi untuk menjelaskan alam semesta. Tetapi ilmu pengetahuan berkembang dan kita mulai mengerti proses alam yang mengatur alam semesta. Seiring perjalanan waktu, kita mendapat kemajuan-kemajuan di bidang astronomi, fisika dan biologi dan tampak bagi saya bahwa makin berkurang keperluan menggunakan Allah untuk menjelaskan berbagai hal-hal. Saya dapat melihat saat di mana kita akhirnya mengerti sepenuhnya mekanika dunia materi ini sehingga Allah sama sekali tidak diperlukan lagi. Saya merindukan saat itu karena saya percaya dunia akan menjadi jauh lebih baik tanpa adanya agama. Lebih enak buat saya karena saya dapat melakukan apa saja yang saya sukai tanpa perlu diingatkan bahwa saya adalah seorang berdosa dan bahwa tindakan-tindakan tertentu adalah salah. Apa hak orang-orang ini untuk menghakimi saya?

Tetapi sikap saya mulai berubah sewaktu musim dingin tahun 1985. Pada waktu itu saya adalah seorang mahasiswa di Virginia Tech, di Blacksburg, Virginia. Untuk pertama kalinya, saya mulai menyadari sisi gelap dari falsafah ateisme. Saya tadinya berpikir ateisme telah melepaskan dari belenggu agama supaya saya dapat hidup semau saya tetapi saya mulai merasakan bahwa hidup sekehendak hati sebetulnya tidak sungguh-sungguh menyenangkan. Bahkan tampak hampa yang tidak memiliki arah. Meskipun saya tidak tahu apa alasannya, saya mulai merasa tidak tenang dan tidak puas. Saya menginginkan sesuatu yang lebih, tetapi saya tidak tahu apakah itu. Saya rasa saya menginginkan supaya hidup ini bermakna. Toh saya percaya bahwa semua manusia adalah sekedar kejadian biologis, hasil dari berjuta-juta proses acak yang secara spontan dan faktor kebetulan, menciptakan kehidupan. Kita hidup, kita tumbuh dan kita mati, dan setelah itu kita menghilang dari keberadaan. Pada akhirnya, apa poinnya? Di masa lalu saya tidak memperhatikan hal ini karena saya sibuk mencari kesenangan-kesenangan pribadi. Tetapi tampak ada semacam hukum alam yang tidak dapat dipungkiri. Saya menemukan bahwa semakin saya memiliki semakin saya mengingini dan semakin saya mendapatkan semakin kurang kepuasan yang didapat. Seolah seperti sebuah lelucon yang kejam dan saya mendapatkan diri saya semakin tenggelam ke dalam keputus-asaan. Secara eksternal, saya memiliki segala hal, secara internal saya tidak memiliki apa-apa. Saya mulai ragu apakah saya akan pernah merasa bahagia lagi.

Lalu pada suatu hari saya sedang duduk di restoran fast-food dan makan semangkuk makanan. Tiba-tiba sekilas muncul dalam pikiran saya: "Bagaimana dengan Allah?" Saya tidak tahu darimana munculnya pikiran itu, tetapi untuk pertama kali dalam hidup saya merenungkannya dengan serius. Ada secercah harapan dalam pikiran itu, pengharapan pertama yang saya lihat dalam kurun waktu lama dan memancar sekilas seperti sebuah mercu suar. Saya menyadari bahwa banyak orang merasa hidup mereka bermakna lewat hubungan mereka dengan Allah dan saya cukup nekat untuk mempertimbangkan kemungkinan tersebut. Tentunya, saya tidak ingin mengakui ide keberadaan Allah sekedar untuk menyemangati diri sendiri, tetapi saya merenungkan apakah ada sesuatu yang berharga dibaliknya? Bagaimana jika Allah itu sungguh-sungguh nyata? Maka saya lantas memutuskan untuk mencari tahu. Teman sekamar saya adalah seorang Kristen yang menghadiri sebuah gereja Baptis yang kecil di luar kota dan saya memutuskan untuk pergi bersamanya pada hari minggu berikutnya. Saya membayangkan bahwa keinginan yang timbul mendadak untuk pergi ke gereja pasti cukup mengejutkannya, tetapi dia berusaha menutup-nutupi keheranannya. Mungkin dia tidak ingin membuat saya mengurungkan niat.

Ketika hari yang dijanjikan tiba, saya berada di Gateway Baptist Church, mendengarkan seorang bernama Dewey Weaver, yang merupakan bentuk nyata stereotip seorang pengkotbah Baptis. Aksennya, gaya rambutnya dan cara dia melambaikan Alkitabnya adalah hal-hal yang dulunya saya jadikan bahan olok-olok. Saya merasa seperti seorang idiot karena berada di sana. Apa yang saya pikirkan? Saya berharap teman saya tidak tahu. Tetapi pasti ada hal yang menarik dari kata-kata pastor Weaver, karena minggu berikutnya saya pergi lagi ke sana. Bahkan saya terus kembali minggu demi minggu. Setelah beberapa lama saya tidak lagi memperhatikan gaya pastor Weaver dan saya menyukai rasa humornya dan terlebih penting, pesan yang dikotbahkan menunjukkan mengapa saya berada dalam keputus-asaan: Yaitu karena saya adalah seorang berdosa yang sangat membutuhkan seorang juru selamat. Saya telah pernah mendengarnya sebelumnya, tentunya, dan meremehkannya sebagai omongan yang bodoh, tetapi kali ini omongan tersebut mulai terekam dalam benak saya. Yesus bukan seorang pengkotbah dari Galilea yang mengumandangkan sejumlah ajaran tentang menjadi baik dan Dia juga bukan seorang nasionalis Yahudi yang terlibat kesulitan dengan penguasa Romawi. Menurut pastor Weaver, Dia adalah Allah dalam rupa manusia, yang mengasihi kita sedemikian besar sehingga Dia menyerahkan nyawa-Nya sendiri untuk menebus dosa-dosa saya supaya saya dapat dimaafkan.

Saya sedang memikirkan pesan injil pada suatu malam waktu saya berangkat tidur dan untuk pertama kalinya buat saya semua menjadi masuk akal. Saya terheran-heran oleh logika dibaliknya dan betapa itu dapat menjelaskan dengan tepat kondisi manusia, terutama saya sendiri. Saya sungguh mempercayai pesan yang aneh dan bodoh, yang dulu pernah saya heran kenapa ada orang-orang yang mempercayainya. Dan sekarang, semua tampak begitu jelas dan saya merenungkan mengapa selama ini saya begitu buta.

Malam itu saya meminta Yesus untuk mengampuni semua dosa-dosa saya dan saya meminta-Nya untuk datang ke dalam hati saya seperti dijelaskan oleh pastor Weaver. Saya berjanji untuk mengikuti Tuhan sejak hari itu, sebaik mungkin.

Beberapa hari sesudahnya saya mendatangi sebuah toko buku Kristen untuk mendapatkan bahan bacaan untuk menolong saya memahami iman yang baru ini. Saya menyukai ide tentang Yesus, tetapi saya masih tidak peduli tentang konsep agama yang terorganisir. Maka secara alami buku-buku seperti "How to Be a Christian without being Religius", oleh Fritz Ridenour, menarik hati saya dan saya membelinya. Saya juga membeli buku karangan D. James Kennedy, "Why I Believe, and Truths that Transform." Buku-buku seperti ini membentuk fondasi teologi Kristen saya, yang secara alami menyerupai teologi Calvinis dan Injili para pengarangnya. Saya juga membaca sejumlah buku membela iman, buku-buku yang menjelaskan dasar rasional dari kebenaran Kristiani. Penting buat saya untuk mengetahui kenapa saya percaya apa yang saya percaya, baik untuk saya sendiri dan juga karena saya ingin dapat membela diri terhadap orang-orang yang berasumsi seperti saya dulu bahwa orang Kristen pasti orang yang bodoh.

Saya berhasil lulus dari universitas dan setahun sesudahnya Tuhan memberkati saya dengan seorang istri yang terbaik. Beberapa tahun kemudian Dia memberkati saya kembali dengan seorang anak laki-laki. Saya membaca Alkitab dan bahkan belajar sedikit bahasa Yunani supaya dapat membaca Perjanjian Baru dalam bahasa aslinya. Tetapi satu hal yang tidak pernah dapat saya lakukan adalah mencari sebuah gereja di mana saya merasa nyaman sepenuhnya. Menurut hitungan saya, saya dan istri telah mengunjungi dua belas gereja yang berbeda di wilayah Virginia Utara. Ada gereja Baptis, Assemblies of God, Presbiterian, satu di antaranya bahkan Messianic Jewish, tetapi umumnya adalah "gereja non-denominasi" yang biasanya umumnya berarti semi-Baptis. Saya menemukan hal-hal yang baik di setiap gereja-gereja ini dan orang-orang yang baik, tetapi saya perhatikan bahwa setiap kali saya pergi ke sebuah gereja baru, saya mendengar teologi yang baru pula. Dan cepat atau lambat saya menemukan sesuatu dalam teologi itu yang bertentangan dengan keyakinan saya. Mungkin mereka punya pandangan tentang akhir jaman yang saya anggap aneh atau mereka menolak kemungkinan tentang karunia-karunia karismatis (saya sendiri bukan karismatis, tetapi saya pikir salah kalau orang menolak ide ini, apalagi begitu jelas diajarkan dalam Alkitab). Kita menghadiri sebuah gereja Episcopal yang semi-karismatik yang sangat kami sukai, sampai saya mendapatkan bahwa mereka membaptis bayi-bayi. Akhirnya kami pindah ke sebuah gereja "berdasarkan Alkitab". Kami tidak puas sepenuhnya, tetapi kami sudah capek pindah-pindah gereja.

Sepanjang tahun-tahun tersebut, satu gereja yang sama sekali tidak pernah masuk hitungan saya adalah Gereja Katolik. Saya tidak percaya bahwa Sri Paus adalah sang anti-Kristus, ataupun hal-hal seperti demikian, tetapi saya tidak percaya bahwa iman Katolik penuh dengan ajaran-ajaran yang tidak terdapat di Alkitab. Baiklah mungkin saya mau mengakui bahwa Katolik adalah sebuah Gereja Kristen, tetapi nyaris tidak memenuhi syarat (dan hanya karena saya ketemu seorang Katolik yang menunjukkan rasa tertarik akan Allah). Secara umum, saya merasa siapapun yang membaca dan percaya pada Alkitab akan menjauh dari iman Katolik. Saya berasumsi berjuta-juta orang Katolik karena terlahir sebagai Katolik dan nyata bahwa mereka tidak tahu sama sekali tentang Alkitab. Saya kasihan kepada mereka dan saya berharap mereka suatu hari membaca Alkitab sendiri tanpa bantuan Sri Paus. Kalau itu terjadi, pasti status mereka akan segera berubah menjadi mantan-Katolik.

Sayangnya, umumnya orang Katolik yang saya kenal sama-sama tidak tertarik pada Alkitab, Yesus, atau Allah. Mereka sepenuhnya sekuler, sama sekali tidak berbeda dengan orang bukan Kristen, kecuali bahwa mereka pergi ke gereja sekali-sekali, yang agaknya seperti sebuah beban bagi mereka. (Seorang teman saya mengatakan tujuannya setiap hari minggu adalah masuk gereja, "memberikan satu jamnya", dan keluar). Saya sungguh tidak ingin menjadi bagian dari sebuah gereja yang menghasilkan kualitas rohani yang sekarat seperti itu.

Tetapi suatu hari seorang teman Kristen di tempat kerja muncul di ruang kantor saya dengan sebuah buku di tangannya. Dia mengatakan seorang Katolik sahabatnya telah memberikan buku itu. Judulnya "Catholicism and Fundamentalism" oleh Karl Keating. Katanya isinya membela iman Katolik terhadap serangan-serangan kaum Fundamentalis anti-Katolik dan sekaligus menunjukkan bahwa iman Katolik menawarkan penjelasan Alkitab yang lebih baik dan lebih koheren ketimbang Fundamentalisme Protestan. Jujurnya, saya merasa geli bahwa seseorang punya keberanian untuk mencoba membela iman Katolik dengan berdasarkan Alkitab. Saya yakin pasti mudah untuk membantah argumen-argumen Karl Keating karena saya tahu bahwa teologi Katolik sangat tidak sesuai dengan Alkitab.

Maka saya membaca buku itu dan saya gembira bahwa Mr. Keating adalah seorang penulis yang punya rasa humor yang besar. Pertama, saya membacanya seolah sebagai seorang jaksa penuntut, mencari kelemahannya. Tetapi saya terheran bahwa orang ini ternyata rasional dan pintar bicara dan apa yang dikatakannya sungguh masuk akal. Saya mulai membacanya dengan lebih simpatik dan saya sungguh mencoba untuk mengerti apa yang dikatakan Mr. Keating. Setelah mendengar sendiri teologi Katolik dari sumber Katolik, menjadi jelas apa yang tidak saya pahami sebelumnya. Saya heran menemukan bahwa Gereja Katolik tidak mengajarkan hal-hal yang tidak sesuai dengan Alkitab seperti yang pernah saya percayai dan apa yang sesungguhnya diajarkan sesungguhnya punya dasar Alkitab yang kuat. Saya menyadari bahwa selama ini saya telah menyerap banyak kesalah-pahaman tentang iman Katolik. Masalahnya, karena selama ini yang saya dengar semua berasal dari sumber Protestan. Dengan heran saya juga menemukan bahwa sekali saya mengerti dasar-dasar iman Katolik, saya tidak dapat membantahnya. Boleh jadi saya tidak yakin hal itu benar, tetapi saya juga tidak dapat membuktikan bahwa itu salah dan ini membuat saya jengkel. Kalau ada suatu hal yang saya ingin merasa yakin, maka itulah iman saya. Saya ingin tahu apa yang saya yakini dan mengapa saya meyakininya. Tetapi sekarang setelah membaca buku ini, saya merasa tidak nyaman di lubuk hati bahwa ternyata interpretasi Katolik atas Kitab Suci sesungguhnya lebih masuk akal ketimbang interpretasi saya sendiri.

Seperti saya katakan, saya tidak begitu saya diyakinkan bahwa Katolik benar, tetapi saya tahu saya tidak akan dapat beristirahat sampai saya mendapatkan jawabannya. Maka saya mulai membaca segala yang bisa saya dapatkan. Saya mencari buku-buku apologetika Katolik maupun Protestan. Saya membaca buku karangan James Akin, Dave Armstrong, Scott Hahn, Mark Shea, di antara banyak lainnya di sisi Katolik dan Geisler, Kennery, Ridenour dan Scott, di sisi Protestan. Secara umum, kesan saya adalah bahwa para pengarang Protestan tidak mengerti teologi Katolik dengan baik, karena mereka terus mengkritik hal-hal yang tidak diajarkan oleh Gereja Katolik. Argumen-argumen Katolik tampak bagus dan saya berharap salah satu pengarang Protestan dapat menandinginya, tetapi mereka tidak pernah bisa. Setelah saya semakin memahami argumen teologi Katolik, saya menemukan bahwa saya dengan mudah melawan argumen Protestan terhadapnya, di lain pihak saya tidak dapat melawan argumen Katolik terhadap teologi Protestan.

Saya mulai mempertanyakan secara serius fondasi doktrin-doktrin Protestanisme: sola fide dan sola scriptura. Gereja Katolik memberikan argumen kuat bahwa doktrin ini tidak diajarkan dalam Alkitab dan bahkan keduanya ditolak oleh Alkitab. Tidak hanya itu, kedua doktrin tersebut tidak diajarkan oleh siapapun sebelum gerakan Reformasi Protestan. Saya merasa argumen Protestan dalam hal ini tidak meyakinkan. Mereka tampak mengambil Alkitab di luar konteks dan mengenyampingkan ayat-ayat yang bertentangan dengan interpretasi mereka. Kadang mereka mengutip dari sumber Kristen perdana yang tampak mendukung posisi mereka, tetapi mereka mengabaikan hal-hal lain oleh penulis yang sama yang menjadikan jelas bahwa mereka tidak mendukung argumen Protestanisme. Karena Protestan adalah pihak yang memisahkan diri dari Gereja dan menuduh Gereja telah terkorupsi, saya tahu bahwa beban untuk membuktikan hal ini ada pada pundak mereka, dan sejujurnya, saya merasa mereka tidak berhasil membuat argumen yang kuat.

Makin saya mengerti teologi Katolik, semakin saya merasa bahwa Katolik lebih sesuai dengan Alkitab ketimbang teologi saya. Kenyataan ini sangat mengganggu saya karena saya sangat menjunjung tinggi Alkitab. Saya bangga sebagai Protestan Injili karena kita punya reputasi sebagai kaum yang menginterpretasi ayat Kitab Suci secara literal, dan kita sering dijuluki "Bible Christian". Tetapi setelah saya mempelajari interpretasi Katolik, saya merasa bahwa interpretasi Katolik lebih benar dan sesuai dengan arti teks Kitab Suci dan memang benar adanya apa yang dituliskan oleh Mr. Keating dalam bukunya.

Kaum Fundamentalis menggunakan Alkitab untuk melindungi ajaran-ajaran yang tidak sesuai dengan Kitab Suci, yang diinterpretasikan sedemikian supaya membenarkan apa yang mereka pegang, meskipun umumnya kaum Fundamentalis percaya bahwa apa yang mereka percaya datang langsung dari teks Kitab Suci. Mereka tidak ragu-ragu untuk membaca secara di luar konteks kalau perlu demi untuk memelihara posisi mereka - posisi yang mendahului interpretasi atas Kitab Suci (pre-konsepsi).

Saya menemukan bahwa pada kasus-kasus di mana Katolik dan Protestan tidak setuju menyangkut interpretasi Kitab Suci, ironisnya, justru adalah Katolik yang menginterpretasikan Kitab Suci secara literal sedangkan Protestan memberikan interpretasi yang figuratif dan alegori. Beberapa contoh untuk menggambarkan ini:

Ketika Yesus berkata, "Kamu harus dilahirkan lewat air dan Roh," Katolik menginterpretasikan secara literal: "air" ya maksudnya "air", yakni pembaptisan. Tetapi sebagian Protestan mengatakan bahwa air menunjuk pada sesuatu hal yang lain, mungkin kotbah Injil ataupun cairan ketuban dari kelahiran seorang bayi.

Ketika Paulus berkata Yesus membersihkan gereja-Nya dengan "pembasuhan air," Katolik menginterpretasikan ini secara literal. "Pembasuhan dengan air" sama dengan "pembasuhan dengan air", satu lagi referensi terhadap pembaptisan. Tetapi sebagian Protestan mengatakan hal ini menunjuk pada sesuatu yang lain, mungkin maksudnya Kitab Suci.

Ketika Yesus berkata, "Jika kamu mengampuni dosanya, maka mereka diampuni; jika kamu tidak mengampuni, maka mereka tidak diampuni," Katolik lagi-lagi memahaminya secara literal dan percaya bahwa Yesus memberikan otoritas kepada para rasul-Nya untuk mengampuni dosa dalam nama-Nya. Tetapi sebagian Protestan mengatakan bahwa ini cuma sebuah referensi atas otoritas para rasul untuk mengabarkan Injil.

Lagi, ketika Yesus berkata, "Inilah tubuh-Ku," dan "barangsaiapa makan daging-Ku dan minum darah-Ku mendapat hidup yang kekal," Katolik memahaminya secara literal. Ekaristi adalah tubuh-Nya dan sungguh-sungguh daging dan darah-Nya, meskipun tidak tampak demikian. Tetapi umumnya Protestan mengatakan roti dan anggur tetap sebagai roti dan anggur dan bahwa sekali lagi kita tidak boleh mengambil kata-kata Yesus secara literal.

Ketika Yakobus berkata, "Kamu lihat bahwa manusia dibenarkan karena perbuatan-perbuatannya dan bukan hanya karena iman," Katolik memahaminya secara literal. "Bukan hanya karena iman" sama dengan "bukan hanya karena iman." Tetapi Protestan bersikeras bahwa "bukan hanya karena iman" sesungguhnya artinya kita dibenarkan oleh iman saja. Ini sebenarnya adalah salah satu doktrin inti Protestanisme, yakni Sola Fide.

Sungguh ironis! Tampak bagi saya bahwa teologi Katolik biasanya membiarkan ayat Kitab Suci memiliki arti sebagaimana tertulis, tanpa tafsiran dan pelintiran bahasa yang ruwet yang kadang diperlukan untuk mendukung teologi Protestan. Saya merasa tidak nyaman bahwa banyak ayat-ayat yang problematis dalam Kitab Suci muncul karena saya memaksakan pengertian Protestan terhadap Kitab Suci. Pemahaman Katolik tampak lebih cocok dengan mudahnya.

Dalam riset saya, saya juga membaca sejumlah tulisan-tulisan perdana orang-orang Kristen, yakni orang-orang yang belajar Injil langsung dari para rasul atau dari penerus sesudahnya. Sebagai seorang Protestan saya tidak pernah mendengar hal ini. Saya tidak pernah mendengar tentang murid rasul Yohanes: Ignatius dari Antiokia dan Polycarpus dari Smyrna. Saya juga tidak pernah mendengar tentang Irenaus ataupun Yustinus Martir. Saya tidak tahu bahwa orang-orang ini dan sejumlah orang lainnya meninggalkan tulisan-tulisan yang dapat memberi pencerahan menyangkut iman Gereja perdana. Dalam masa 12 tahun saya sebagai Protestan tidak seorangpun pernah memberitahukan saya bahwa murid-murid para rasul meninggalkan kita tulisan-tulisan yang menjadi saksi atas iman apostolik yang sejati. Tidakkah ini hal yang aneh? Kita sesungguhnya memiliki komentar Kitab Suci dari abad ke-2, yang sebagian ditulis oleh orang-orang yang mengenal para penulis Kitab Suci secara pribadi. Mengapa kita mengabaikan sumber yang luar biasa ini? Protestan percaya bahwa Roh Kudus berbicara pada kita, maka bukankah sudah sepantasnya melihat apa yang Dia katakan kepada murid-murid dari para rasul-Nya, yang banyak di antaranya menyerahkan nyawanya ketimbang menyangkal iman mereka?

Saya pribadi jelas ingin mengetahui apa yang mereka katakan. Orang-orang ini mengenal para rasul, hidup dalam kultur yang sama, berbicara dalam bahasa yang sama, dan sangat mungkin membaca salinan-salinan asli dari kitab-kitab Perjanjian Baru dalam bahasa asli mereka. Kalau ada seseorang yang tahu interpretasi Kitab Suci yang benar, maka mereka pastilah orangnya. Maka saya membaca semua surat-surat Ignatius dari Antiokia, dan Polycarpus dari Smyrna, keduanya adalah murid-murid rasul Yohanes. Saya membaca tulisan Irenaeus dari Lyons, yang adalah murid Polycarpus. Saya membaca surat kepada jemaat di Korintus yang ditulis oleh Clement. Saya juga membaca bagian dari surat Yustinus Martir kepada kaisar Romawi, Antonius Pius, yang ditulis dalam memori para rasul, dan yang mencoba menjelaskan iman Kristen kepada seorang bukan Kristen.

Tampak sangat jelas bagi saya bahwa Gereja abad ke-2 sangat menyerupai Gereja Katolik dalam hal kepercayaannya ketimbang gereja saya yang mengaku berdasarkan Alkitab. Ignatius, murid rasul Yohanes, bahkan mengidentifikasi Gereja sebagai "Gereja Katolik". Mereka memiliki uskup-uskup, imam-imam dan deakon-deakon; mereka percaya mereka bisa kehilangan keselamatannya; mereka percaya regenerasi pembaptisan (membawa kelahiran baru); mereka menganggap Ekaristi sebagai suatu kurban dan bahwa Ekaristi sungguh-sungguh adalah Tubuh dan Darah Kristus dan mereka percaya suksesi para uskup di Gereja adalah standar keortodoksan iman Kristen. Mereka memporak-porandakan asumsi saya mengenai Gereja perdana. Saya selama ini selalu berasumsi bahwa Gereja perdana intinya adalah Protestan dalam doktrin-doktrinnya dan doktrin-doktrin Katolik adalah hasil korupsi iman yang muncul sekitar abad ke-5. Ternyata tidak demikian halnya. Bahkan saya tidak dapat menemukan bukti-bukti bahwa doktrin-doktrin Protestan seperti Sola Scriptura dan Sola Fide sudah ada sejak jaman Gereja perdana. Ini sungguh membuat saya tercengang-cengang dan mengingatkan saya pada kata-kata terkenal dari mendiang mantan Anglikan terkenal, John Henry Newman, "Untuk mendalami sejarah adalah untuk berhenti menjadi seorang Protestan."

Semua ini mengguncangkan saya tetapi saat ini saya berusaha melihat secara obyektif. Saya merasa beruntung karena saya datang pada iman Kristen sebagai orang dewasa. Karena saya tidak dibesarkan dalam iman Kristen Baptis, tidak tertutup kemungkinan buat saya bahwa ada kesalahan. Oleh karena itu saya keluar dari lingkaran dan mencoba melihat denominasi saya dan teologi saya secara seobyektif mungkin. Saya heran menyadari bahwa teologi injili yang saya pegang ada fenomena di Amerika yang umurnya tidak lebih dari seratus lima puluh tahun, jauh lebih muda dari jaman para rasul. Setelah membaca tulisan umat Kristen perdana, saya tahu bahwa mereka pasti menolak teologi yang saya anut sebagai "injil yang lain" (Gal 1:6-8).

Setelah semua yang saya pelajari, saya harus mengakui bahwa penjelasan Katolik menyangkut Kitab Suci dan sejarah jauh lebih benar ketimbang penjelasan denominasi saya dan saya menyadari bahwa jika saya ingin terus menjadi "umat Kristen yang percaya Alkitab", saya harus menjadi Katolik. Sejauh yang dapat saya katakan, penjelasan Katolik tentang iman Kristen adalah konsisten dengan makna sederhana dari Alkitab dan konsisten dengan apa yang dipercaya oleh umat Kristen perdana dari jaman apostolik hingga ke jaman Reformasi.

Protestantisme, di lain pihak, berlandaskan pada dua doktrin yang tidak didukung oleh Kitab Suci dan yang sepenuhnya absen dari sejarah Kristen sebelum Reformasi. Saya tidak melihat bahwa Protestanisme adalah kembali ke kemurnian Kristen perdana, seperti telah diajarkan kepada saya sebelumnya, karena Gereja perdana adalah Gereja Katolik. Oleh karena itu saya menyimpulkan, dengan perasaan sedih, bahwa Protestanisme bukanlah "reformasi" iman sama sekali, tetapi korupsi iman. Meskipun begitu, meskipun pemecah-belahan Gereja adalah suatu hal yang tragis, Allah telah membawa hal yang baik daripadanya. Sekarang ini, Protestan Injili adalah termasuk umat Kristen yang terbaik dan paling berdedikasi di dunia. Sulit untuk menyalahkan dalam hal ini. Oleh karena itu saya membuat suatu website untuk membantu orang-orang baik ini, para saudara-saudari saya dalam Kristus untuk mengerti sebenarnya tentang Gereja Katolik.

oleh : Gary Hoge
Baca juga sharing lainnya:

(Inspirasi Hidup) Kebaikan Orangtua & Balasan Kita


KEBAIKAN ORANGTUA & BALASAN KITA

Saat kita berusia 1 tahun, 
orang tua memandikan dan merawat kita.
Sebagai balasannya, 
kita malah menangis di tengah malam.

Saat kita berusia 2 tahun, 
orang tua mengajari kita berjalan.
Sebagai balasan, 
kita malah kabur ketika orang tua memanggil kita.

Saat kita berusia 3 tahun, 
orang tua memasakkan makanan kesukaan kita. 
Sebagai balasan, kita malah menumpahkannya.

Saat kita berusia 4 tahun, 
orang tua memberi kita pensil berwarna.
Sebagai balasan, 
kita malah mencoret-coret dinding dengan pensil tersebut.

Saat kita berusia 5 tahun, 
orang tua membelikan kita baju yang bagus-bagus. 
Sebagai balasan, 
kita malah mengotorinya dengan bermain-main di lumpur.

Saat kita berusia 10 tahun, 
orang tua membayar mahal-mahal uang sekolah dan uang les kita.
Sebagai balasan, kita malah malas-malasan bahkan bolos.

Saat kita berusia 11 tahun, 
orang tua mengantarkan kita ke mana-mana.
Sebagai balasan, 
kita malah tidak mengucapkan salam ketika keluar rumah.

Saat kita berusia 12 tahun, 
orang tua mengizinkan kita menonton di bioskop 
dan acara lain di luar rumah bersama teman-teman kita.
Sebagai balasan, 
kita malah meminta orang tua duduk di barisan lain, 
terpisah dari kita dan teman-teman kita.

Saat kita berusia 13 tahun, 
orang tua membayar biaya kemah, biaya pramuka, 
dan biaya liburan kita.
Sebagai balasan, 
kita malah tidak memberinya kabar ketika kita berada di luar rumah.

Saat kita berusia 14 tahun, 
orang tua pulang kerja dan ingin memeluk kita. 
Sebagai balasan, 
kita malah menolak dan mengeluh, “Papa, Mama, aku sudah besar!”

Saat kita berusia 17 tahun, 
orang tua sedang menunggu telepon yang penting dari kita, 
sementara kita malah asyik menelepon teman-teman kita yang sama sekali tidak penting.

Saat kita berusia 18 tahun, 
orang tua menangis terharu ketika kita lulus SMA. 
Sebagai balasan, 
kita malah berpesta semalaman dan baru pulang keesokan harinya.

Saat kita berusia 19 tahun, 
orang tua membayar biaya kuliah kita 
dan mengantar kita ke kampus pada hari pertama.
Sebagai balasan, 
kita malah meminta mereka berhenti jauh-jauh dari gerbang kampus 
dan menghardik, “Papa, Mama, aku malu! Aku kan sudah gede!”

Saat kita berusia 22 tahun, 
orang tua memeluk kita dengan haru ketika kita diwisuda.
Sebagai balasan, 
kita malah bertanya kepadanya, “Papa, Mama, mana hadiahnya? 
Katanya mau membelikan aku ini dan itu?”

Saat kita berusia 23 tahun, 
orang tua membelikan kita sebuah barang yang kita idam-idamkan.
Sebagai balasan, 
kita malah mencela, “Duh! Kalau mau beli apa-apa untuk aku, 
bilang-bilang dong! Aku kan nggak suka model seperti ini!”

Saat kita berusia 29 tahun, 
orang tua membantu membiayai pernikahan kita. 
Sebagai balasan, 
kita malah pindah ke luar kota, meninggalkan mereka, 
dan menghubungi mereka hanya dua kali setahun.

Saat kita berusia 30 tahun, 
orang tua memberi tahu kita bagaimana cara merawat bayi.
Sebagai balasan, 
kita malah berkata, “Papa, Mama, zaman sekarang sudah beda. 
Nggak perlu lagi cara-cara seperti dulu. Kan ada babysitter!”

Saat kita berusia 40 tahun, 
orang tua sakit-sakitan dan membutuhkan perawatan. 
Sebagai balasan, 
kita malah beralasan, “Papa, Mama, aku sudah berkeluarga. 
Aku punya tanggung jawab terhadap keluargaku.”

Dan entah kata-kata apalagi yang pernah kita ucapkan kepada orang tua. Bukan mustahil, itu yang menyumbat rezeki dan kebahagiaan kita selama ini.

sumber:  http://cermot.com/kebaikan-orang-tua-vs-balasan-kita.html  (22 Juni 2012, jam 10: 05)
Baca juga refleksi lainnya:

Orang Kudus 18 Desember: St. Makrina Muda

SANTA MAKRINA MUDA, PERAWAN
Kaum kerabat Santa Makrina Muda yang hidup di Asia Kecil sangat masyhur, baik dipandang dari pihak ayahnya maupun dari pihak ibunya. Hal ini bukanlah disebabkan oleh kekayaan mereka atau keunggulan duniawi lainnya, melainkan oleh keutamaan hidupnya yang saleh.

Orang tua ayahnya kehilangan segala-galanya sewaktu terjadi penganiayaan terhadap umat kristen dan penghambatan agama, lalu terpaksa melarikan diri ke hutan dan tinggal di persembunyian itu selama tujuh tahun. Nenek dan ayah ibunya mati terbunuh sebagai martir. Ayahnya, Basilius Tua,  serta ibunya, Emilia, dihormati juga sebagai orang kudus. Kecuali itu dari antara sembilan adiknya, tiga orang menjadi sokoguru Gereja yang saleh dan kokoh imannya.

Makrina adalah anak sulung dari keluarga yang luar biasa itu. Sepeninggal tunangannya, Makrina memilih cara hidup murni. Ia tinggal di rumah menjadi pembantu dan penghibur ibunya, pengurus rumah tangga dan pendidik adik-adiknya.

Adiknya laki-laki yang pertama, Basilius, menjadi orang kusus terkenal dengan nama Basilius Agung dan Bapa para rahib di Gereja Timur dan Bapa Gereja; adiknya yang kedua, Naukratius, memilih hidup sebagai seorang awam; ia sangat dermawan terhadap orang-orang miskin.

Adiknya yang lain, yaitu Gregorius yang kemudian terkenal dengan nama Gregorius dari Nyssa, dihormati sebagai Bapa Gereja. Sedangkan yang bungsu, yaitu Petrus, kemudian menjadi Uskup di Sebaste dan digelar kudus juga. Ketika semua adiknya telah menjadi dewasa, Makrina masuk biara yang didirikan oleh Basilius, adiknya. Tahun 379, dalam keadaan sangat miskin, Makrina meninggal dunia, riwayat hidupnya dikarang oleh Santo Gregorius dari Nyssa.

Sumber: Orang Kudus Sepanjang Tahun

Renungan Hari Selasa Adven III-C

Renungan Hari Selasa Adven III, Thn C/I
Bac I : Yer 23: 5 – 8; Injil       : Mat 1: 18 – 24

Injil hari ini mengungkapkan pergolakan batin Yosep, tunangan Maria. Kepadanya diberitahu bahwa Maria sudah atau sedang hamil. Tentulah berita ini membuat Yosep jadi galau. Ada dua hal yang dipikirkan oleh Yosep. 

Pertama, jelas bukan dia yang melakukannya. Dia yakin bahwa dirinya belum pernah menjamah Maria, sekalipun tunangannya. Akan tetapi, tentulah orang banyak akan menuduhnya telah menghamili Maria. Dan jika ia tidak bisa membuktikan dirinya tak bersalah, pastilah ia ikut ambil bagian dalam hukuman.

Kedua, patutlah diduga bahwa Maria sudah selingkuh. Jika dirinya tidak pernah melakukannya, tentulah orang lain. Dan ini membuktikan bahwa Maria menyeleweng. Tindakan penyelewengan ini menunjukkan bahwa Maria merupakan wanita yang tidak setia. Maksud hati ingin mendapatkan pasangan hidup yang setia, eh ternyata hamil dengan orang lain.

Jika kita perhatikan pergolakan batin Yosep, kita tentu berpendapat bahwa ia benar. Baik yang kegalauannya yang pertama maupun kedua, menunjukkan bahwa dia benar dan Maria adalah pihak yang salah. Akan tetapi Yosep tidak mau hanya mendengarkan suaranya saja. Ia mau mendengarkan suara Tuhan. Yosep tidak hanya mendengarkan suara Tuhan, melainkan "berbuat seperti yang diperintahkan malaikat Tuhan itu kepadanya." (ay. 24).

Inilah pesan sabda Tuhan pada kita hari ini, yaitu agar kita mengikuti teladan Yosep. Tentulah dalam kehidupan kita sehari-hari, kita mengalami pergolakan batin. Ada begitu banyak masalah melanda. Sering kita merasa bahwa suara kitalah yang paling benar. Dengan sabda Tuhan ini, kita diajak untuk mau juga mempertimbangkan suara Tuhan.

by: adrian