Kamis, 21 Maret 2013

Mencermati Konflik TNI - Polri

Beberapa hari yang lalu citra TNI dan Polri kembali tercoreng dengan aksi penyerangan beberapa oknum TNI ke Polres OKU. Dengan aksi tersebut beberapa unit mobil dan motor serta bangunan gedung Polres rusak parah. Korban luka juga ada, yang akhirnya meninggal dunia setelah sempat dirawat selama sembilan hari. Tak hanya itu, ada banyak tahanan yang melarikan diri.

Pemicu masalah ini adalah kasus penembakan anggota TNI, Prajurit Satu Heru Oktavianus, oleh anggota Polantas Polres OKU. Dari informasi yang ada, saat itu anggota TNI ini melanggar rambu lalu lintas. Aksi pelanggaran ini ditegur oleh BW, anggota Polres OKU. Anggota TNI itu tidak mengindahkan teguran itu dan terus kabur. Mungkin karena tersinggung atau harga dirinya diinjak-injak, BW menembak. Tembakan itu mengenai punggung korban.

Namun perlu diketahui bahwa masalah ini sedang dalam proses hukum. Artinya, pihak kepolisian tidak tinggal diam. Mereka sedang memproses salah satu anggotanya yang diduga bersalah. Sebuah proses tentulah membutuhkan waktu yang tidak cepat. Dan soal cepat – lambatnya ini juga sangatlah relatif. Waktu sebulan bisa saja lama bagi A, tapi tidak bagi B.

Dan itulah yang terjadi pada kasus ini. mungkin bagi oknum TNI prosesnya lama, sementara ia dan rekan-rekannya ingin tahun kejelasan kasus tersebut. Karena itu, pada hari Kamis, 7 Maret, sekelompok anggota TNI dari Bataliyon Armed Martapura mendatangi Markas Polres untuk menanyakan kasus kematian rekannya. Di sana mereka tidak mendapatkan jawaban yang memuaskan sehingga menimbulkan kemarahan. Kemarahan yang sangat tinggi ini membungkam nalar dan nurani sehingga terjadilah aksi brutal itu.

Semua pihak menyayangkan peristiwa itu. Sekedar dicatat, konflik TNI dan Polri ini bukanlah baru pertama kalinya. Banyak ahli dan pakar bersuara soal akar masalah konflik di dua institusi negara ini. ada yang mengatakan soal perebutan lahan ekonomi, ada juga yang melihat soal ketidakadilan pembagian tugas sejak pemisahan TNI dan Polri. Malah ada ahli menyinggung soal kurangnya anggota perempuan di dua institusi itu. Dan masih banyak lagi akar masalah hasil analisa para ahli. Bagi saya semuanya itu benar adanya.

Akan tetapi bagi saya masih ada satu akar masalah yang belum disebut, yaitu pemahaman akan korps yang keliru. Pemahaman yang keliru akan korps (tidak hanya TNI dan Polri saja, melainkan institusi lainnya) selalu melahirkan kesombongan dan arogansi pada diri anggota korps. Bagi mereka korpsnyalah segala-galanya. Karena melihat bahwa korpsnya merupakan segala-galanya, maka anggota korps akan memandang rendah korps lain; mereka hanya melihat kesalahan dan kejelekan pada korps lain, sedangkan korpsnya benar dan baik. Dan karena merasa korpsnya benar dan baik, maka anggota korps akan berjuang membela korpsnya habis-habisnya. Pemahaman keliru akan korps ini membuat orang tidak bisa lagi melihat dan menemukan apa yang salah dan buruk pada korps dan anggotanya.

Inilah yang terjadi pada peristiwa penyerangan sekelompok anggota Armed Martapura. Beberapa oknum anggota TNI datang ke Markas Polres menanyakan kasus kematian rekannya. Mereka datang sudah dengan asumsi rekannya tidak salah, rekannya baik (ini karena mau membela korps). Mereka menyalahkan anggota Polres yang menembak. Jadi, di balik pertanyaan mereka kepada Kapolres OKU, yang menerima mereka, tersirat satu pertanyaan dasar, “Kapan anggotamu dihukum dan apa hukumannya?” Sementara Kapolres tidak memberi jawaban yang memuaskan. Artinya, ada niat untuk menutupi kesalahan anggotanya (karena mau membela korps) dengan menimpakan kesalahan pada anggota TNI yang tewas itu. Jadi, bagi polisi, rekannya adalah baik dan benar, kesalahan ada pada anggota tentara yang tewas karena melanggar lalu lintas dan tidak mengindahkan teguran.

Masing-masing dengan kebenarannya dan menyalahkan pihak lain. Semangat membela korps ini melahirkan kesombongan dan arongansi. Bukan rahasia lagi kalau tentara kerap terlihat arogan karena kehebatannya. Jadi, ketika melihat rekannya tewas di tangan seorang polisi, yang dulunya berada di bawah mereka, tentulah arogansinya menyulut emosi. Sementara polisi pun tak tinggal diam. Mereka merasa ini adalah domainnya.

Bagaimana masalah konflik TNI dan Polri ini bisa diatasi? Kuncinya ada di pendidikan, baik ke ketentaraan maupun di kepolisian. Kepada calon tentara dan polisi harus diberikan pemahaman yang benar soal korps. Berdampingan dengan ini, ditanamkan juga dalam diri mereka soal hukum. Namun lebih dari itu, tidak dilupakan juga soal pendidikan moral dan kepribadian, agar kelak dapat melahirkan tentara dan polisi yang rendah hati dan santun.
Moro, 9 Maret 2013
by: adrian

Orang Kudus 21 Mareti: St. Noel Pinot

SANTO NOEL PINOT, MARTIR
Revolusi Perancis membawa gejolak besar di dalam Gereja. Biara-biara ditutup, pendidikan imam dihentikan dan banyak rohaniwan dan biarawan-biarawati dipaksa untuk bersumpah dan mengakui konstitusi Perancis yang anti Gereja. Tak terkecuali uskup-uskup. Banyak dari antara mereka dibunuh karena tidak bersedia mengakui konstitusi itu. Noel Pinot adalah salah seorang imam yang mengalami nasib itu. Ia dengan penuh semangat berkotbah mencela uskup-uskup yang mengangkat sumpah atas konstitusi Perancis yang anti Gereja itu.  Karena itu pastor kepala paroki ini dipecat dan dibuang. Namun dengan diam-diam ia pulang kembali untuk terus melanjutkan perjuangannya. Tatkala sedang mempersembahkan misa di tengah malam, Noel dikhianati, ditangkap dan dipenggal kepalanya. Ia mati sebagai martir Kristus pada tahun 1794.

Sumber: Orang Kudus Sepanjang Tahun