Beberapa hari yang lalu citra TNI dan Polri kembali tercoreng
dengan aksi penyerangan beberapa oknum TNI ke Polres OKU. Dengan aksi tersebut
beberapa unit mobil dan motor serta bangunan gedung Polres rusak parah. Korban
luka juga ada, yang akhirnya meninggal dunia setelah sempat dirawat selama
sembilan hari. Tak hanya itu, ada banyak tahanan yang melarikan diri.
Pemicu masalah ini adalah kasus penembakan anggota TNI, Prajurit
Satu Heru Oktavianus, oleh anggota Polantas Polres OKU. Dari informasi yang
ada, saat itu anggota TNI ini melanggar rambu lalu lintas. Aksi pelanggaran ini
ditegur oleh BW, anggota Polres OKU. Anggota TNI itu tidak mengindahkan teguran
itu dan terus kabur. Mungkin karena tersinggung atau harga dirinya
diinjak-injak, BW menembak. Tembakan itu mengenai punggung korban.
Namun perlu diketahui bahwa masalah ini sedang dalam proses
hukum. Artinya, pihak kepolisian tidak tinggal diam. Mereka sedang memproses
salah satu anggotanya yang diduga bersalah. Sebuah proses tentulah membutuhkan
waktu yang tidak cepat. Dan soal cepat – lambatnya ini juga sangatlah relatif.
Waktu sebulan bisa saja lama bagi A, tapi tidak bagi B.
Dan itulah yang terjadi pada kasus ini. mungkin bagi oknum
TNI prosesnya lama, sementara ia dan rekan-rekannya ingin tahun kejelasan kasus
tersebut. Karena itu, pada hari Kamis, 7 Maret, sekelompok anggota TNI dari
Bataliyon Armed Martapura mendatangi Markas Polres untuk menanyakan kasus
kematian rekannya. Di sana mereka tidak mendapatkan jawaban yang memuaskan sehingga
menimbulkan kemarahan. Kemarahan yang sangat tinggi ini membungkam nalar dan
nurani sehingga terjadilah aksi brutal itu.
Semua pihak menyayangkan peristiwa itu. Sekedar dicatat,
konflik TNI dan Polri ini bukanlah baru pertama kalinya. Banyak ahli dan pakar
bersuara soal akar masalah konflik di dua institusi negara ini. ada yang
mengatakan soal perebutan lahan ekonomi, ada juga yang melihat soal
ketidakadilan pembagian tugas sejak pemisahan TNI dan Polri. Malah ada ahli
menyinggung soal kurangnya anggota perempuan di dua institusi itu. Dan masih
banyak lagi akar masalah hasil analisa para ahli. Bagi saya semuanya itu benar
adanya.
Akan tetapi bagi saya masih ada satu akar masalah yang belum
disebut, yaitu pemahaman akan korps
yang keliru. Pemahaman yang keliru akan korps (tidak hanya TNI dan Polri saja,
melainkan institusi lainnya) selalu melahirkan kesombongan dan arogansi pada
diri anggota korps. Bagi mereka korpsnyalah segala-galanya. Karena melihat
bahwa korpsnya merupakan segala-galanya, maka anggota korps akan memandang
rendah korps lain; mereka hanya melihat kesalahan dan kejelekan pada korps
lain, sedangkan korpsnya benar dan baik. Dan karena merasa korpsnya benar dan
baik, maka anggota korps akan berjuang membela korpsnya habis-habisnya. Pemahaman
keliru akan korps ini membuat orang tidak bisa lagi melihat dan menemukan apa
yang salah dan buruk pada korps dan anggotanya.
Inilah yang terjadi pada peristiwa penyerangan sekelompok anggota
Armed Martapura. Beberapa oknum anggota TNI datang ke Markas Polres menanyakan
kasus kematian rekannya. Mereka datang sudah dengan asumsi rekannya tidak
salah, rekannya baik (ini karena mau membela korps). Mereka menyalahkan anggota
Polres yang menembak. Jadi, di balik pertanyaan mereka kepada Kapolres OKU,
yang menerima mereka, tersirat satu pertanyaan dasar, “Kapan anggotamu dihukum
dan apa hukumannya?” Sementara Kapolres tidak memberi jawaban yang memuaskan. Artinya,
ada niat untuk menutupi kesalahan anggotanya (karena mau membela korps) dengan
menimpakan kesalahan pada anggota TNI yang tewas itu. Jadi, bagi polisi,
rekannya adalah baik dan benar, kesalahan ada pada anggota tentara yang tewas
karena melanggar lalu lintas dan tidak mengindahkan teguran.
Masing-masing dengan kebenarannya dan menyalahkan pihak lain.
Semangat membela korps ini melahirkan kesombongan dan arongansi. Bukan rahasia
lagi kalau tentara kerap terlihat arogan karena kehebatannya. Jadi, ketika
melihat rekannya tewas di tangan seorang polisi, yang dulunya berada di bawah
mereka, tentulah arogansinya menyulut emosi. Sementara polisi pun tak tinggal
diam. Mereka merasa ini adalah domainnya.
Bagaimana masalah konflik TNI dan Polri ini bisa diatasi? Kuncinya
ada di pendidikan, baik ke ketentaraan maupun di kepolisian. Kepada calon
tentara dan polisi harus diberikan pemahaman yang benar soal korps. Berdampingan
dengan ini, ditanamkan juga dalam diri mereka soal hukum. Namun lebih dari itu,
tidak dilupakan juga soal pendidikan moral dan kepribadian, agar kelak dapat
melahirkan tentara dan polisi yang rendah hati dan santun.
Moro, 9 Maret 2013
by: adrian