Rabu, 08 November 2017

MELIHAT GAYA KEPEMIMPINAN ANIES BASWEDAN


Sejak dilantik sebagai Gubernur DKI Jakarta, 16 Oktober silam, Anies Baswedan resmi memangku jabatan Gubernur DKI Jakarta selama 5 tahun ke depan. Dalam pilkada, Anies mengalahkan calon petahana, Basuki Tjahaya Purnama, atau yang biasa disapa Ahok. Sebelum pilkada, banyak pengamat menilai lawan-lawan politik Ahok akan kesulitan mengalahkannya. Namun, hasil akhir pilkada membuktikan Ahok kalah, meski kemenangan Anies dinodai dengan kecurangan atau intrik busuk.
Selain itu, kemenangan 57,96 % suara Anies – Sandi  tak lepas dari peran agama (dalam hal ini islam). Karena itu, beberapa tokoh islam, setelah hasil hitung cepat diketahui, dengan pongah mengatakan bahwa ini adalah kemenangan islam. Suatu kebanggaan ataukah kebodohan. Publik akhirnya menilai bahwa ternyata ada agama yang bisa dipolitisir; bahwa ada agama yang bisa dijadikan senjata untuk berpolitik busuk. Hal ini tak ubahnya dengan teroris yang berjuang menggapai cita-citanya dengan menggunakan senjata agama.
Akan tetapi, bukan maksud kami mempermasalahkan agama sebagai senjata yang menghantar Anies Baswedan ke kursi DKI-1. Kami akan fokus melihat gaya kepemimpinan Anies sejak resmi menjadi Gubernur DKI Jakarta.
Ada satu ciri yang menonjol dari gaya kepemimpinan Anies Baswedan. Dalam banyak persoalan Anies Baswedan seakan mau menegaskan bahwa dia-lah yang terbaik; bahwa pendahulunya tidak baik, buruk dan salah. Media Indonesia, dalam salah satu tulisan editorialnya mengatakan bahwa Anies Baswedan hendak memutus hubungan dengan pendahulunya, atau dengan kata lain mau membuat garis pemisah yang jelas antara dirinya dengan gubernur lama (dalam hal ini adalah Ahok). Anies juga hendak menarik garis pembeda dengan pemerintah pusat (dalam hal ini adalah Jokowi).