Jumat, 03 November 2017

Renungan Hari Minggu Biasa XXXI - A

Renungan Hari Minggu Biasa XXXI, Thn A
Injil    Mat 23: 1 – 12;
Nada bacaan pertama dan Injil hari ini tertuju kepada para imam dan pemuka agama. Nadanya sangat keras. Dalam bacaan pertama, dengan tegas Maleakhi menyampaikan pesan Allah yang ditujukan kepada para imam (ay. 1). Dari pesan tersebut terlihat jelas bahwa terjadi ketidak-sesuaian dalam hidup antara pikiran dan perbuatan; antara kata-kata dan tingkah laku. Kata-kata dan pikiran terarah kepada Allah, tapi hidup dan perbuatan menyimpang (bdk. ay. 7 – 8). Padahal Allah mengharapkan kesesuaian tersebut sangat berguna karena “banyak orang dibuatnya berbalik dari pada kesalahan.” (ay. 6).
Apa yang disampaikan Maleakhi, kembali ditegaskan Tuhan Yesus dalam Injil. Yesus juga mengkritik sikap hidup pemuka agama, dalam hal ini adalah para ahli Taurat dan orang Farisi (ay. 2). Ada ketidak-sesuaian antara pikiran dan perbuatan; antara kata-kata dan sikap hidup. Meski kritik ditujukan kepada para pemuka agama, pesan Yesus disampaikan untuk umat. Pesan Yesus ini sejalan dengan harapan Allah dalam bacaan pertama di atas, yaitu agar umat tidak celaka oleh sikap perbuatan pemimpin agama mereka. Karena itulah, Tuhan Yesus menasehati, “Turutilah dan lakukanlah segala sesuatu yang mereka ajarkan kepadamu, tetapi janganlah kamu turuti perbuatan-perbuatan mereka…” (ay. 3).
Dari dua bacaan di atas terlihat harapannya, yaitu supaya para pemimpin umat berlaku sepantasnya; ada kesesuaian antara pikiran dan perbuatan, antara kata-kata dan tingkah laku. Para pemimpin umat adalah public figure,karena sikap, perbuatan dan tingkah lakunya akan menjadi contoh bagi umat. Harapan ini terlihat dalam sosok Paulus. Dalam suratnya yang pertama kepada jemaat di Tesalonika, Paulus men­-share-kan pengalaman hidupnya. Di sana terlihat bahwa Paulus menghidupi apa yang diajarkannya (bdk. ay. 8).
Sekilas pesan bacaan-bacaan liturgi hari ini hanya dititik-beratkan buat para imam atau pemuka agama dewasa ini, yaitu agar mereka menampilkan sikap dan perbuatan yang sesuai dengan pengajarannya. Akan tetapi, pesan bacaan-bacaan liturgi hari ini bisa juga diterapkan untuk umat. Melalui pesan bacaan-bacaan liturgi hari ini, Tuhan menghendaki agar siapa pun dapat menjaga kesesuaian antara pikiran dan perbuatan; antara kata-kata dan tingkah laku.***

by: adrian

BANGKA BELITUNG URUTAN KEEMPAT NASIONAL PERNIKAHAN DINI

Nuni, bukan nama sebenarnya, merupakan satu dari sejumlah perempuan yang menikah di usia dini. Kepada wartawan Bangka Pos dia mengungkapkan penyesalannya telah menikah di usia muda. Kini, di usia 19 tahun, Nuni harus menghidupi dua anak seorang diri. (baca beritanya di Bangka Pos, Rabu, 25 Oktober 2017).
Nuni mengaku menikah dengan pria yang dipacarinya sejak SMP. Pria, yang kemudian menjadi suaminya itu, adalah kakak kelasnya di SMP. Pergaulan bebas membuat dia akhirnya berbadan dua. Pendidikan SMP pun putus di tengah jalan, karena akhirnya orangtua “memaksa” mereka untuk menikah.
Tahun pertama hidup berumah tangga berjalan baik dan lancar. Suami Nuni kerja serabutan dan membantu di kebun milik orangtuanya. Maklum, susah mencari pekerjaan lain jika hanya mengandalkan ijazah SD, ditambah lagi tidak ada ketrampilan. Waktu itu mereka tidak pernah bertengkar.
Akan tetapi, mulai hamil anak kedua, sang suami mulai banyak bertingkah. Dia sering memukul, tidak pernah kasih uang, bahkan pulang ke rumah orangtuanya. Tidak hanya perlakuan kasar, belakangan Nuni mengetahui suaminya punya selingkuhan. Manisnya pernikahan pun sirna. Hal inilah yang akhirnya membuat Nuni memutuskan untuk bercerai.
Berdasarkan data Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN), Provinsi Kepulauan Bangka Belitung menempati urutan keempat tertinggi tingkat pernikahan dini secara nasional. Peringkat pertama adalah Kalimantan Tengah, diikuti Jawa Barat dan Kalimantan Selatan. Di Provinsi Kepulauan Bangka Belitung ini, Kabupaten Bangka Selatan menjadi daerah tertinggi pernikahan dininya. Urutan kedua ditempati Bangka Tengah, lalu ada Bangka Barat, Belitung Timur, Bangka dan Belitung serta Pangkalpinang.
Secara gerejawi, pernikahan dini banyak terjadi di Paroki St. Fransiskus Xaverius Koba. Memang data dari BKKBN tidak menampilkan agama pelaku pernikahan dini. Namun data tersebut bisa menjadi bahan refleksi umat Paroki Koba.