Senin, 08 April 2013

Iklan Politik ARB: Antara Tayangan dan Fakta

Tentulah kita semua sudah tak asing lagi dengan namanya iklan, baik yang ada di media cetak maupun media elektronik. Dalam iklan, barang/produk yang ditampilkan selalu dikatakan baik dan bagus, bahkan yang terbaik. Tak jarang pula bunyi iklan suatu produk merendahkan produk lain. Misalnya, iklan salah satu produk deterjen atau obat herbal masuk angin. Intinya, iklan akan memuji benda yang ditampilkannya dan (sering) menjelekkan barang lain.

Itulah ciri khas sebuah iklan. Selalu yang terbaik dari yang lain. Ciri iklan lainnya adalah mengajak orang untuk bermimpi. Dengan melihat iklan orang terpancing untuk melakukan proses identifikasi diri. Dengan memakai produk yang diiklankan dirinya bisa sama seperti yang diiklankan itu.

Apakah semua ciri iklan itu nyata dalam realitas? Jelas, jawabannya adalah TIDAK.

Saya pernah mencoba salah satu produk pasta gigi yang katanya dapat memutihkan gigi. Sudah puluhan, bahkan ratusan, tube pasta gigi saya habiskan, tetap saja tidak ada perubahan pada gigi saya. Sama halnya dengan produk deterjen. Tetap saja pakaian saya tidak tampil sebaik yang diiklankan produk deterjen tersebut di televisi. Lain lagi kisah teman saya yang jomblo. Ia tertarik dengan iklan produk minyak wangi. Dia bermimpi akan seperti cowok yang diiklankan produk minyak wangi tersebut yang dikerubuti cewek-cewek cantik nan seksi. Karena itu, dia pun membeli dan memakai produk minyak wangi tersebut. Apa yang terjadi? Sampai saat ini pun dia masih tetap jomblo.

Karena itu, bagaimana sikap kita terhadap iklan? Atau bagaimana kita menyikapi iklan? Satu hal yang dapat kita lakukan adalah JANGAN PERCAYA kepada bunyi/ gambar/ tayangan iklan. Umumnya iklan itu menipu, karena apa yang ditampilkannya tidak sesuai dengan realita. Jadi, jangan terlalu mudah percaya kepada iklan.

Mencermati Iklan Politik ARB
Sejak tahun lalu (2012), kita sering menyaksikan iklan politik Abu Rizal Bakrie (ARB) di televise-televisi. Awal mulanya hanya sekedar menampilkan aksi populis ARB, namun sejak beberapa bulan terakhir ini sudah terarah kepada pencalonan dirinya menjadi presiden Republik Indonesia. Iklan politik ARB merupakan sarana untuk mengkampanyekan diri ARB sebagai calon presiden RI periode 2014-2019. Entah sudah berapa ratusan juta uang dikeluarkan ARB untuk kepentingan tersebut.

Namanya juga iklan. Karena itu, iklan politik ARB harus juga dilihat sama seperti iklan-iklan lainnya. Iklan politik ARB selalu menampilkan sosok ARB yang baik, yang peduli pada rakyat kecil, pada usaha kecil, yang cinta pada keluarga, dll. Dengan melihat iklan politik ARB ini orang diajak untuk bermimpi bahwa situasi bangsa Indonesia akan maju bila dipimpin oleh ARB. Orang akan bermimpi bahwa apabila ARB jadi presiden, maka usaha kecil warga akan maju, pertanian dan petaninya akan makmur.

Benarkah demikian? Jangan terkecoh! Jangan mudah tertipu dan termakan bunyi iklan. Kita harus memegang prinsip dasar iklan: umumnya iklan itu menipu.

Demikian pula terhadap iklan pilitik ARB. Kita harus mengkritisi kebenaran bunyi iklan tersebut. Benarkah ARB merupakan sosok yang peduli kepada rakyat kecil? Benarkah jika ARB terpilih jadi presiden maka UKM akan maju karena ARB memiliki kepedulian pada usaha kecil rakyat? Benarkah?

Kita tak usah mengkhayal jauh-jauh. Lihat saja nasib rakyat kecil korban lumpur Lapindo yang sudah bertahun-tahun menunggu janji perusahaan milik ARB. Sudahkah mereka diperhatikan oleh ARB? Sudahkah ARB memenuhi kewajibannya terhadap warga korban Lapindo itu? Belum lagi soal isu pengemplangan pajak perusahaan ARB di Kalimantan. Kita tahu bahwa pajak itu untuk kesejahteraan rakyat, termasuk rakyat kecil. Jika benar bahwa perusahaan ARB melakukan pengemplangan pajak, jelas hal ini bertentangan dengan iklan politiknya. Jangan-jangan dengan naiknya ARB jadi presiden nantinya, masalah pajak dan Lapindo ditutup dengan kekuasaan negara yang dimilikinya.

Karena itu, janganlah percaya pada gambar dan tanyangan iklan politik ARB. Jangan mau ditipu dengan iklan tersebut. Lebih baik lagi bila kita punya keputusan untuk tidak memilih ARB dalam pemilu 2014 nanti.

by: adrian

(Inspirasi Hidup) Mengelola Peran

MENGELOLA PERAN
Setiap manusia pasti memiliki peran dalam hidupnya. Peran yang melekat pada manusia tidak memandang suku, status sosial, ras dan agama. Siapapun orang itu, sesederhana apapun manusia itu, pastilah mempunyai peran. Peran yang dimiliki setiap orang biasanya lebih dari satu. Tidak mungkin manusia hanya memiliki satu peran. Sebagai contoh ibu saya. Selain berperan sebagai ibu, dia juga berperan sebagai istri, sebagai anak dari kakek nenek saya, sebagai anggota masyarakat, sebagai anggota Komunitas Basis Gerejawi, sebagai warga paroki, sebagai umat Allah, dan lain sebagainya. Ini belum lagi dihitung jika ibu saya sebagai wanita karier.

Setiap manusia tentulah mengharap yang terbaik pada setiap perannya. Menjadi istri yang baik sekaligus ibu yang baik dan anggota masyarakat yang baik dan sebagainya. Namun sayang, kita bukanlah manusia super. Sebagai manusia kita memiliki banyak keterbatasan. Keterbatasan inilah yang menyebabkan terjadinya kepincangan dalam menjalani peran kita.

Sering kita lihat ada orang sukses dalam satu peran namun gagal pada peran yang lain. Misalnya, ia seorang guru yang baik, namun rumah tangganya berantakan. Atau ada orang yang mahir dalam membuat konsep, tapi lemah dalam pelaksanaannya.

Sekalipun kita memiliki keterbatasan, kita tidak bisa begitu saja menghilangkan peran yang ada dalam diri kita dan membiarkan peran yang baik saja yang ada dalam diri kita. Sebanyak apapun peran itu, ia sudah melekat pada diri kita. Kepada kita diharapkan mampu mengelola peran-peran itu. Bagaimana mengatur peran-peran kita?

Pandailah membuat skala prioritas
Membuat skala prioritas berarti menempatkan yang paling utama dan yang terbaik di tingkat teratar dan terdahulu. Atau menyesuaikan dengan situasi dan kondisi. Misalnya, ketika kita berada di dalam gereja, maka peran kita sebagai umat Allah harus yang utama. Kita tidak boleh ngobrol dengan teman, apalagi asyik ber-sms-ria dengan kawan. Namun, saat kita berada di luar gereja, maka kita berperan sebagai warga gereja yang baik. Pada saat inilah kita menjalin komunikasi dengan sesama umat.

Berilah waktu pada orang yang dicintai
Setiap kita pasti mempunyai orang-orang yang dicintai. Harap disadari bahwa sukses yang kita dapat tak bisa dilepaskan dari energi cinta mereka. Oleh karena itu, sebelum menyesal berilah perhatian pada orang-orang yang dicintai. Jangan kalahkan kepentingan mereka dengan target-target kesuksesan yang kita buat.

Perlulah sesekali memanjakan diri
Tidak ada salahnya jika sesekali kita memanjakan diri sendiri. Sesibuk apapun diri kita dengan peran-peran yang dijalankan, kita harus memberi waktu luang bagi diri kita untuk refreshing. Memforsir diri secara berlebih akan membuat diri kita stress bahkan depresi. Luangkan waktu untuk diri sendiri. Ada banyak cara yang bisa dilakukan, misalnya mendengarkan musik, berolahraga, nonton film di bioskop, membaca buku, menonton acara konser, dll.

Buatlah perencanaan dengan realistis
Tak ada satu manusiapun yang mengharapkan kegagalan. Setiap kita pasti menginginkan sukses. Dan tak jarang  kita mengingininya dengan segera, bahkan instan. Akan tetapi kita perlu berusaha untuk tetap realistis. Realistis tadi dikaitkan dengan keterbatasan yang kita miliki. Jika kita memiliki 10 prioritas pencapaian pada satu hari, maka jika terpenuhi 3 teratas saja itu sudah cukup baik. Untuk itu, perlu dibangun sikap penuh syukur.

Penghargaan pada diri sendiri
Apa yang sudah kita pilih dalam hidup, jalanilah dan anggaplah itulah yang terbaik. Kita tak perlu menyesali sekalipun akhirnya kita mengalami kegagalan. Semua manusia pasti pernah mengalami kegagalan. Bahkan orang yang sukses pun berangkat dari sebuah kegagalan. Dengan kegagalan kita bisa belajar banyak hal dan tahu cara melakukan segalanya dengan lebih baik.

Setelah membaca uraian di atas, maka kita perlu mengevaluasi kita berperan selama ini. Apa peran yang menonjol dalam hidup kita dan apa yang gagal? Apakah peran yang gagal itu kita telantarkan? Bagaimana perhatian kita kepada orang-orang yang kita cintai? Apakah karena kesibukan peran kita mengabaikan mereka?

Lebih baik terlambat daripada tidak sama sekali. Kepada kita selalu diberi kesembatan untuk memperbaiki peran yang gagal. Selalu masih ada waktu untuk mengubah segalanya agar lebih baik. Tentu saja hanya dengan satu alasan, agar tidak ada penyesalan di kemudian hari.

by: adrian, dikembangkan dari email Anne Ahira
Baca juga refleksi lainnya: