Sabtu, 26 April 2014

Paus Fransiskus, Manusia yg Tak Mau Terikat Kebiasaan

Sejak terpilihnya menjadi Paus ke-266, Paus Fransiskus selalu menunjukkan pembaharuan. Karena sikapnya ini, maka pada 11 Desember lalu majalah TIME menganugerahi kepadanya gelar Person of the Year. Pembaharuan yang menjadi daya tarik Time adalah gagasannya soal transparansi keuangan. Transparansi ini mengisyaratkan adanya korupsi di tubuh Gereja. Akan tetapi selama ini kasus korupsi itu selalu ditutup-tutupi sehingga Gereja seolah-olah tampil sebagai lembaga yang bersih.

Aksi menutup-nutupi ini sudah menjadi kebiasaan umum yang berlaku puluhan, bahkan ratusan tahun. Paus Fransiskus tidak mau terikat dengan kebiasaan tersebut. Beliau melihat bahwa kebiasaan itu adalah buruk. Karena itu, beliau membongkarnya dengan menegakkan transparansi. Sebuah harapan agar kebijakan transparansi ini berlaku juga bagi Gereja universal, bukan hanya di Vatikan. Paus Fransiskus hanya merintis. Selanjutnya Gereja Lokal meneruskan kebijakan itu di lingkungannya.

Pembaharuan unik lainnya yang dilakukan Paus Fransiskus adalah tradisi mencuci kaki pada Hari Raya Kamis Putih. Tradisi ini sudah berlangsung selama berabad-abad. Namun yang biasanya terjadi adalah Paus mencuci kaki para rasul. Yang termasuk kriteria para rasul ini adalah pria dewasa, katolik dan orang yang dinilai baik. Hal ini sudah menjadi kebiasaan. Orang katolik, atau orang lain pada umumnya, tahu bahwa pada malam Kamis Putih, Paus akan mencuci kaki orang-orang tersebut.

Akan tetapi, sejak Paus Fransiskus terpilih, kriteria para rasul yang selama ini berlaku tidak dipakai, alias dilanggar. Karena itu, kita bisa melihat bahwa yang berperan sebagai rasul dalam tradisi pencucian kaki itu adalah orang-orang dari segala lapisan, baik dari segi umur, status, gender maupun agama; bahkan penjahat pun masuk kriteria baru. Maka, pada saat Paus Fransiskus melakukan tradisi cuci kaki pada malam Kamis Putih, kita melihat ada anak kecil (remaja), ada perempuan, ada penderita disabilitas, ada tahanan, dan ada orang islam. Sungguh di luar kebiasaan.

Itulah yang terjadi. Paus Fransiskus tidak mau terikat pada kebiasaan lama, sekalipun kebiasaan lama itu baik. Dengan melakukan hal yang baru ini, bukan berarti Paus Fransiskus mau mengatakan bahwa kebiasaan lama itu buruk atau salah. Dengan melakukan hal yang baru ini, Paus Fransiskus bukan mau menunjukkan pembaharuan ajaran atau tradisi, melainkan pembaharuan sikap dan nilai baru dari tradisi cuci kaki.

Dengan tradisi pencucian kaki yang baru, Paus Fransiskus mau memberi nilai baru para tradisi tersebut. Selama ini nilai yang diwartakan adalah pelayanan (tuan melayani hamba). Namun sekarang nilai barunya adalah keragamanan. Nilai lama tidak otomatis hilang dengan adanya nilai baru, melainkan mendapatkan tempat yang baru, yaitu pelayanan dalam dunia yang beragam. Di sini ada kesan keterbukaan atau penegasan ulang akan makna katolisitas dari Gereja, di mana Gereja, yang diwakili Paus, melayani semua orang dari segala lapisan dan golongan. Secara tidak langsung Paus Fransiskus mau menegaskan bahwa Gereja Katolik bersikap toleran terhadap siapa saja.

Selain memberi nilai baru, tindakan baru Paus Fransiskus itu mau mengajak umat katolik untuk memiliki sikap yang baru. Pembaharuan sikap yang paling terlihat adalah sikap tidak terikat dengan kebiasaan lama. Kebiasaan lama itu selalu mempunyai dua nilai: buruk/salah dan baik/benar. Terhadap kebiasaan buruk dan salah, mau tidak mau, kita harus mengubahnya. Bagaimana dengan kebiasaan lama yang baik dan benar? Jika ada yang lebih baik dan benar, kenapa kebiasaan lama itu harus dipertahankan? Tidak ada salahnya kita mencoba melakukan perubahan.

Memang tidak semua hal dapat atau harus diubah. Paus Fransiskus pun tentu akan sadar akan hal itu. Namun untuk kebiasaan buruk dan salah kita harus melakukan pembaharuan dan perubahan. Berbeda dengan kebiasaan lama yang baik dan benar. Perubahan yang dilakukan hanyalah pada hal-hal yang tidak bersifat dogmatis. Artinya, jika diubah tidak akan menimbulkan efek luar biasa

Untuk bisa melakukan perubahan ini memang dibutuhkan sikap. Ada orang, yang karena kemapanannya pada kebiasaan lama, merasa takut dengan perubahan sehingga menolaknya. Bahkan demi kemapanan itu, orang mempertahankan kebiasaan lama, sekalipun kebiasaan lama itu buruk. Sikap-sikap seperti inilah yang harus diubah. Paus Fransiskus mengajak kita untuk berani menilai sebuah kebiasaan dan mencari sesuatu yang lebih baik lagi. Ini seperti yang diajarkan Yesus supaya kita selalu tampil lebih sempurna, sebagaimana Bapa di surga.

Jadi, dengan melakukan hal baru dalam tradisi cuci kaki pada malam Kamis Putih, Paus Fransiskus bukan sekedar menampilkan hal baru semata. Paus Fransiskus mau mengajak umat katolik untuk memiliki sikap pembaharu, sikap yang tidak terikat pada kebiasaan lama. Paus Fransiskus ingin supaya kita melihat kebiasaan yang ada dalam diri dan lingkungan kita: jika kebiasaan itu buruk dan tidak baik maka kita wajib mengubahnya, sebaliknya jika kebiasaan lama itu baik dan benar maka kita diajak untuk menemukan yang lebih baik dan lebih benar lagi. Dengan demikian maka kita tergerak untuk melakukan perubahan.
Bandung, 21 April 2014
by: adrian

Baca juga:
3.      Korupsi di Gereja

Orang Kudus 26 April: St. Kletus & Marselinus

SANTO KLETUS & MARSELINUS, PAUS & MARTIR
Selama beberapa abad lamanya, nama Anakletus dan Kletus dianggap orang sebagai dua orang Paus yang berbeda. Tetapi sekarang kedua nama itu dianggap sebagai nama dari satu orang. Menurut daftar resmi para Paus yang dikeluarkan oleh Tahkta Suci, Paus Anakletus (Kletus) memimpin Gereja dari tahun 76 sampai tahun 88.

Ahli-ahli sejarah Gereja, mengikuti daftar nama Paus yang diterbitkan oleh Santo Irenius dari Lyons, menyamakan Paus Anakletus dengan Kletus. Eusebius dalam bukunya "Sejarah Gereja" menyatakan, bahwa Linus, Uskup Roma, setelah memimpin selama 12 tahun, mengalihkan kepemimpinannya itu kepada Kletus. Dalam doa bagi para Kudus dalam perayaan Ekaristi, setelah menyebutkan nama Santo Petrus dan Paulus serta para rasul lainnya, imam menyebutkan nama Linus dan Kletus. Hal ini menunjukkan bahwa Anakletus pengganti Santo Petrus, ditetapkan sebagai Paus selama masa yang kurang damai dan aman di dalam Gereja, menyusul masa penganiyaan oleh raja Nero, yang berlangsung dari tahun 64 sampai 68.

Sangat sedikit informasi yang didapat tentang riwayat hidup Anakletus. Ia membagi kota Roma dalam 25 buah paroki. Ia membangun dan menghiasi kapela di jalan Ostian sebagai penghormatan kepada Santo Paulus dan membangun sebuah kapela yang sama di atas kuburan Santo Petrus di Vatikan. Buku para Paus (Liber Pontificalis) menyebutkan bahwa Anakletus dikuburkan di suatu tempat dekat kuburan Santo Petrus.

Anakletus mati sebagai martir dalam masa penganiayaan kaisar Domitianus II (81-96). Buku misa Romawi mendaftarkan hari pestanya bersama-sama dengan Marselianus, yang juga seorang Paus. Marselianus dikenal sebagai Paus yang baik hati dan penuh kasih kepada umat. Banyak sekali orang kristen yang telah menyangkal imannya pada masa penganiayaan diterimanya kembali ke pangkuan Gereja, asal saja mereka sungguh-sungguh bertobat dan bersedia menjalankan tapa untuk menghapus dosa-dosa mereka. Kebaikan hatinya ini membuat banyak orang mengkritik dan menfitnahnya. Akhirnya ia sendiri mati dianiaya karena Kristus pada tahun 309.

Renungan Hari Sabtu Oktaf Paskah, Thn A

Renungan Hari Sabtu Oktaf Paskah, Thn A/II
Bac I   : Kis 4: 13 – 21; Injil          : Mrk 16: 9 – 15;

Hari ini merupakan oktaf paskah yang terakhir. Injil hari ini seakan memberikan kisah rangkuman atas peristiwa kebangkitan Yesus dan penampakan-Nya kepada para murid yang telah dikisahkan selama oktaf paskah ini. Kisah-kisah penampakan Yesus dibumbui dengan ketidak-percayaan mereka sehingga Yesus mencela kedegilan hati mereka (ay. 14). Akan tetapi, setelah mendapatkan kepercayaan, Yesus menyerahkan tugas kepada mereka: “Pergilah ke seluruh dunia, beritakanlah Injil kepada segala makhluk.” (ay. 15).

Apa yang ditugaskan Yesus kepada para murid, itulah yang dilakukan Petrus dalam bacaan pertama. Petrus dan Yohanes ditangkap dan ditahan karena pewartaan mereka. Akan tetapi, imam besar dan lainnya tidak punya alasan untuk menghukum mereka. Mereka hanya bisa melarang. Namun Petrus dan Yohanes ingat akan pesan Sang Guru. Karena itu mereka mengatakan bahwa “tidak mungkin bagi kami untuk tidak berkata-kata tentang apa yang telah kami lihat dan yang telah kami dengar.” (ay. 20). Dalam keadaan terdesak sekalipun, kedua rasul ini tetap mewartakan Injil.

Sabda Tuhan hari ini mau mengatakan kepada kita bahwa Tuhan membutuhkan waktu untuk meyakinkan para murid. Mereka tidak serta merta langsung percaya akan kebangkitan Yesus. Dibutuhkan beberapa kali penampakan dan perjumpaan sehingga mereka akhirnya percaya. Menjadi pertanyaan bagi kita saat ini, masihkah kita belum percaya akan kebangkitan Yesus? Apakah Yesus harus membutuhkan waktu lagi? Jika tidak, maka kita siap akan tugas yang diberikan Yesus kepada para murid. Tugas itu adalah juga tugas kita. Masing-masing kita diminta Yesus untuk mewartakan Injil.

by: adrian