Senin, 27 November 2017

HALANGAN NIKAH DALAM GEREJA KATOLIK

Gereja Katolik menetapkan norma dasar: “Semua orang beriman kristiani mempunyai hak atas kebebasan dari segala paksaan dalam memilih status kehidupan.” (kan. 219). Norma ini diterjemahkan ke dalam hukum pernikahan: “Semua orang dapat melangsungkan pernikahan sejauh tidak dilarang hukum.” (kan. 1058). Di sini Gereja mau menegaskan bahwa setiap orang berhak untuk menikah. Namun, kenapa dalam Gereja harus ada halangan nikah?
Hak untuk menikah tidak bisa diartikan sekadar sebagai hak atas perayaan nikah, atau hak untuk mengesahkan sembarang pernikahan, tanpa memedulikan semangat dan isi pernikahan. Hak untuk menikah mengandaikan dan menuntut adanya kehendak dan kemampuan pasangan untuk meneguhkannya sesuai dengan hakikat pernikahan sebagaimana diajarkan Gereja. Tersirat bahwa tujuan utama halangan nikah adalah untuk melindungi nilai dan hakikat pernikahan katolik serta menegakkan kesejahteraan suami istri. Dengan kata lain, halangan nikah diterapkan karena seseorang tidak mampu untuk menikah dengan sah.
Halangan nikah bukan sebagai hukuman, tetapi untuk mengejar nilai-nilai dan tujuan hakiki dari lembaga pernikahan dan bagi kebaikan masyarakat. Setiap pelanggaran membuat pernikahan menjadi tidak sah. Ada 2 jenis halangan nikah, yaitu halangan yang bersifat kodrati dan gerejawi. Halangan kodrati bisa berasal dari Allah. Halangan gerejawi berasal dari otoritas tertinggi Gereja. Yang termasuk dalam otoritas tertinggi Gereja adalah Paus dan Kolegialitas para uskup yang dikepalai Paus. Pastor paroki tidak pernah bisa menetapkan halangan nikah atas inisiatif pribadi.
Halangan nikah yang kodrati tidak dapat dihapus oleh kuasa mana pun. Oleh karena itu, siapapun tidak bisa meresmikan pernikahan orang yang terhalang secara kodrati. Sementara halangan yang gerejawi bisa dihapus dengan dispensasi. Umat yang tetap melangsungkan pernikahan sekalipun ada halangan akan dikenai sanksi Gereja. Salah satunya, tidak boleh menerima komuni.

by: adrian