Di
sebuah paroki ada kebijakan khusus tentang baptisan bayi. Anak yang orangtuanya
bermasalah dalam perkawinan tidak diperkenankan untuk menerima sakramen baptis.
Yang dimaksudkan dengan bermasalah dalam perkawinan adalah pasangan suami istri
yang hidup bersama tanpa ikatan resmi pernikahan. Dengan kata lain, mereka yang
kumpul kebo.
Memang
tidak semua mereka yang hidup perkawinannya bermasalah, yang anaknya tidak
diperkenankan menerima sakramen baptis. Ada dua kategori pasangan, yaitu
pasangan yang benar-benar tidak mungkin mendapat status perkawinan yang
resmi/sah, dan pasangan yang karena faktor sepele tidak mau segera meresmikan
perkawinannya. Artinya, untuk anak dari pasangan pertama boleh dibaptis, karena
perkawinan orangtuanya tidak bisa diperbaiki lagi, sedangkan anak pasangan
kedua tidak boleh dibaptis hingga orangtuanya meresmikan terlebih dahulu
perkawinannya.
Pertanyaannya,
haruskah anak menerima hukuman dari pelanggaran dan kesalahan orangtuanya?
Bagi
saya, menghalangi anak menerima sakramen baptis lantaran orangtua tidak segera
meresmikan perkawinannya tak ubahnya dengan perilaku teroris. Menghantam
sasaran utama dengan mengorbankan orang tak berdosa. Inilah yang dilakukan para
teroris. Mereka meledakkan bom bunuh diri dengan target tertentu, namun
orang-orang tak berdosa dan tak terkait juga menjadi sasaran. Yang berbuat
salah adalah orangtua, tapi kenapa anak yang tak tak tahu apa-apa dikaitkan,
bahkan menerima akibatnya.
Apakah
Gereja memang mengajarkan demikian, atau itu hanya kebijakan segelintir orang
dengan mengatas-namakan Gereja?