Senin, 28 Maret 2022

MANAJEMEN ROTASI TENAGA PASTORAL

Rotasi tenaga pastoral, yang biasa dikenal dengan istilah mutasi, memiliki maksud untuk penyegaran dan efektivitas karya pastoral. Penyegaran yang dimaksud adalah agar imam yang bertugas di suatu medan karya pastoral, baik di paroki maupun kategorial, tidak mengalami kejenuhan ataupun menciptakan kerajaannya sendiri. Hal ini dikaitkan dengan situasi medan pastoral. Jika berada di medan pastoral yang “kering” maka akan berdampak pada kejenuhan; sementara bila di daerah yang “basah”, maka akan berdampak pada penguatan kerajaan.

Mungkin ada umat akan bertanya, kenapa ada pembedaan basah dan kering, padahal para imam semuanya mendapat gaji yang sama. Baik di tempat yang basah, kering ataupun lembab, semua imam mendapat gaji atau uang saku yang sama. Tak bisa dipungkiri, sekalipun aturannya semua imam dapat uang saku yang sama, namun ada imam, yang karena berada di tempat “basah”, menikmati kebasahan itu tanpa peduli pada aturan. Misalnya, seorang imam bertugas di yayasan dan mendapat gaji 20 juta (imam lainnya cuma 1 juta). Sekalipun ada aturan bahwa gajinya harus disetor ke keuskupan dan nanti keuskupan akan memberinya 1 juta, tetap saja ada imam yang makan sendiri 20 juta tadi. Anehnya, uskup "membiarkan" saja hal ini terjadi.

Mungkin juga ada orang yang bertanya, bukankah jabatan pastor kepala paroki itu tak terbatas. Memang benar bahwa hukum Gereja tidak mengatur dengan jelas berapa lama seorang imam dapat menjabat sebagai pastor kepala paroki, atau yang biasa dikenal dengan istilah parokus. Malah bisa dikatakan bahwa jabatan itu terbuka peluang untuk seumur hidup. Akan tetapi, perlu disadari bahwa paroki adalah medan pelayanan. Pusat pelayanannya adalah umat. Sementara pastornya hanyalah tambahan. Pastor bisa silih berganti, tapi umatnya tetap. Karena itu, perlu diperhatikan adalah kepentingan umat. Pastor datang untuk melayani umat. Jadi, jika ada pastor di paroki hanya sibuk mengurus diri sendiri dengan menguras uang umat, haruskah pastor itu dipertahankan? Jika sama sekali tidak ada perkembangan dalam pelayanan umat, haruskan tetap dibiarkan terus?