Sabtu, 17 Agustus 2013

(C E R P E N) Pelajaran Sejarah

PELAJARAN  SEJARAH
“Jadi, proklamasi kemerdekaan merupakan perjuangan rakyat Indonesia. Bukan pemberian gratis atau bersyarat seperti negara Malaysia.” Demikian penjelasan Pak Priyatno, guru sejarah SMU St. Yusuf. “Dan harus diingat, proklamasi kita tak bisa dipisahkan dari peran kaum muda. Merekalah yang menggerakkan proklamasi itu.”
“Tanya dikit, pak!” Sebuah tangan dari barisan tengah bangku ruang kelas XIIB menjulang ke atas.
“Ya, Rolan Gultom!” Pak Pri langsung mengenali subyek penanya.
“Selama ini kita tahu bahwa proklamasi itu terjadi pada tahun 1945. Kalau disingkat menjadi ’45. Tapi kenapa pada teks proklamasi, baik yang tulisan tangan maupun yang diketik Sayuti Melik, tertulis ’05?”
“Tahun yang dipakai bukan tahun internasional, melainkan tahun Jepang. Pada waktu itu tahun Jepangnya adalah 2605.”
Kring! Kring! Kring! Bel sekolah berbunyi pertanda pelajaran usai. Para murid segera mengemas buku-bukunya.
“Anak-anak, tanggal 14 nanti kita ulangan,” ujar Pak Pri disela kesibukan murid. “Materi ulangan sejarah menjelang dan saat proklamasi kemerdekaan. Tujuannya, dengan mempelajari materi itu, kalian nanti bisa menghayati upacara proklamasi. Adalah keprihatinan bahwa anak-anak muda sekarang kurang memaknai upacara proklamasi. Kelihatannya setiap upacara 17 Agustus orang jatuh pada seremonial belaka. Ini mungkin disebabkan generasi sekarang tidak tahu sejarah proklamasi itu.”
***
Parolan memarkirkan Revo-nya di samping rumah. Ia baru pulang dari gereja, mengikuti pertemuan OMK membahas kegiatan OMK menyambut HUT Proklamasi. Sebenarnya pertemuan itu hanya untuk memfinalkan program acara.
Parolan masuk ke dalam rumah. Dilihat ibunya, dibantu Rolina, adiknya, sedang menyortir sawi dan kacang panjang yang mau dijual ke pasar besok pagi.
“Sudah makan kau, Lan?”
“Masih kenyang, mak. Tadi waktu pertemuan ada makan kue.”
“Pasti abang makan banyak,” sambung Rolina yang disambut mata besar Parolan. Rolina hanya tersenyum saja, karena ia tahu abangnya hanya bercanda. Sebagai satu-satunya anak dan adik perempuan, Rolina selalu mendapat perhatian dari semua anggota keluarga.
“Kalau gitu, kau ambil dulu keranjang sayur di belakang biar langsung kau masukkan sayur ini.”
“Ramses mana, mak?” Tanya Parolan sambil melirik jam di dinding. 19.20. Ramses adalah adik Parolan. Siswa SMP St. Yusuf kelas VIII. Mereka semua ada tiga bersaudara. Rolina si bungsu, duduk di kelas V SD St. Yusuf.
“ Ke rumah temannya. Kerja tugas.”
“Mak, malam ini aku tak bisa bantu. Aku mau belajar. Besok ada ulangan.”
“Ya sudah. Nanti aku minta Ramses yang beresin. Tapi besok pagi kau yang antar ke pasar.”
“Iya mak!” Sahut Parolan sambil berlalu ke kamarnya. Langsung diambilnya buku sejarah dan ia mulai membaca.
***
Ruangan Lembaga Bakteriologi, Jln Pegangsaan Timur, jam 20.00. Sekelompok pemuda berkumpul. Parolan hadir di sana. Dia asyik berdiskusi dengan Wikana soal berita bom di Hirosima dan Nagasaki serta soal kekalahan Jepang.
“Saudara-saudara,” tiba-tiba Chairul Saleh berbicara membuka pertemuan. “Sebagaimana yang kita ketahui dari berita radio bahwa Jepang sudah menyerah kepada sekutu. Karena itu kemerdekaan sudah di depan mata. Tinggal kita raih saja.”
Beberapa pemuda lain ikut berbicara. Ada yang menegaskan bahwa kemerdekaan Indonesia harus segera diumumkan, tanpa harus menunda-nunda. Melanjuti ini seorang pemuda menyampaikan bahwa siang tadi Bung Karno dan Bung Hatta sudah tiba di Jakarta. Mereka bersama dr. Radjiman Wediodiningrat baru pulang dari Dalat, Vietnam Selatan. Menurut informasi yang diterima, pertemuan di Dalat itu membicarakan soal pemberian kemerdekaan kepada Indonesia.
Darwis marah. “Kemerdekaan itu bukan hadiah, tapi perjuangan.”
“Jika kita menerima sebagai hadiah, kita tidak menghargai perjuangan dan pengorbanan saudara-saudara kita sebangsa setanah air.” Tambah Parolan.
Harsono, yang selalu mengenakan batik, angkat bicara. “Tantangan kita ada di Bung Karno dan Bung Hatta. Mereka adalah tokoh kunci di PPKI. Dan karena PPKI itu adalah bentukan Jepang, maka proklamasi pun harus ikut mekanismenya.”
Akhirnya pertemuan menghasilkan dua keputusan. Pertama, kemerdekaan Indonesia adalah hak rakyat Indonesia sendiri, tidak bergantung pada orang, lembaga dan negara lain. Soal proklamasi harus mengikutsertakan kaum muda. Kedua, meng-utus Wikana dan Darwis untuk menyampaikan hasil pertemuan kepada Bung Karno.
Jam 21.50 Wikana dan Darwis meninggalkan ruang pertemuan. Dengan sepeda onthelnya mereka menuju ke rumah Bung Karno di Jl Pegangsaan Timur 56. Para pemuda lainnya masih menunggu di gedung Lembaga Bakteriologi.
Sekitar jam 23. 15 Wikana dan Darwis kembali ke ruang pertemuan. Raut wajah mereka menggambarkan kejengkelan, kekesalan dan kemarahan.
“Tampaknya misi kita gagal,” bisik Sutomo kepada Parolan.
“Bagaimana hasilnya?” Tanya Chairul to the point.
Setelah semua duduk, Wikana menjelaskan bahwa di sana ada juga Bung Hatta, dr. Buntara, dr. Samsi, Mr. Ahmad Subardjo dan Iwa Kusumasumantri. Di hadapan orang-orang itu Bung Karno dan Bung Hatta menolak gagasan kaum muda.
“Sekalipun saya mengancam akan terjadi pertumpahan darah, Bung Karno malah balik menantang. Dia bilang ‘Ini leher saya, potonglah sekarang juga! Jangan tunggu sampai besok!’ Bung Karno, sebagai ketua PPKI, harus mengikuti mekanisme yang ada. Besok ia akan tanya ke anggota PPKI lainnya.”
“Kenapa harus tunggu besok? Kan di situ ada wakil ketua dan penasehat PPKI. Anggotanya juga ada.” Ungkap Parolan.
“Bung Hatta pun menolak,” jelas Darwis. “Dia bilang agar kita jangan memaksa-maksa mereka.”
Suasana sidang jadi ramai. Aura kemarahan dan kejengkelan sangat begitu terasa. Karena misi gagal, Chairul Saleh akhirnya membubarkan pertemuan sambil melihat perkembangan besok setelah pertemuan PPKI. Para peserta pertemuan terlihat gusar. Mereka meninggalkan ruang pertemuan sambil mengumpat-umpat.
“Dasar pengecut!”
“Boneka Jepang!”
Parolan melihat Chairul dan beberapa pemuda masih terlihat ngobrol serius di halaman Lembaga Bakteriologi. Ia menghampiri mereka.
“Kita bicarakan di asrama.”
Yang lain mengangguk setuju. Langsung mereka mengayuh sepedanya ke Jalan Cikini 71, asrama Baperpi.
“Saudara-saudara, kita tidak bisa tinggal diam dalam amarah,” Chairul angkat bicara setelah tiba di serambi asrama. “Kita harus melakukan sesuatu!”
Suasana rapat menjadi tenang. Masing-masing sibuk dengan pikirannya. Ada yang saling berdiskusi dengan teman di sampingnya. “Kita singkirkan saja Bung Karno dan Bung Hatta dari pengaruh Jepang.” Setelah sekian lama bermenung diri, Parolan memecahkan kesunyian malam.
“Kita culik mereka.”
“Saya setuju,” tegas Chairul. “Kita singkirkan mereka ke Rengasdengklok. Di sana kita paksa mereka untuk memproklamasikan kemerdekaan Indonesia.”
Maka mulailah para pemuda ini berembug membagi tugas. Ada yang menghubungi Cudanco Subeno, komandan kompi tentara PETA Rengasdengklok, untuk mengamankan Sukarno dan Moh. Hatta. Ada yang bertugas menculik kedua tokoh dari rumah mereka masing-masing. Ada yang bertanggung jawab soal kendaraan. Shudanco Singgih dipercayakan untuk melakukan aksi penculikan ini. Wikana, Sudiro dan Jusuf Kunto tetap berada di Jakarta untuk mengikuti perkembangan pertemuan PPKI.
Aksi menculik Bung Karno sedikit mendapat kesulitan ketika Ibu Fatmawati memaksa diri untuk ikut bersama bayinya, Guntur, yang waktu itu berumur 9 bulan. Akhirnya sekitar jam 04.00, para pemuda membawa Bung Karno sekeluarga dan Bung Hatta ke tempat yang sudah ditentukan. Di sana mereka langsung diterima Subeno.
Pada sore hari, sekitar jam 17.30, rombongan Ahmad Subardjo dengan ditemani Jusuf Kunto dan Sudiro, tiba di lokasi pengasingan Bung Karno dan Bung Hatta. Ia terharu dengan aksi heroik para pemuda dan sedih melihat Bung Karno sekeluarga. Karena itu ia berjanji akan mengumumkan proklamasi kemerdekaan besok tanggal 17 Agustus sebelum jam 12.00.
“Apa jaminan atas ucapan Bapak?” Tanya Parolan.
“Nyawa saya!”
“Baiklah, kami akan melepaskan kalian,” ujar Subeno. “Tapi beberapa anggota kami akan mengikuti kalian.”
“Silahkan! Kalianlah yang akan mengawasi dan menjaga kami saat penyusunan proklamasi.”
Subeno memandang Chairul dan Wikana. Chairul hanya menganggukkan kepalanya. Ketegangan pun mereda. Maka segera mereka berkemas untuk kembali ke Jakarta. Beberapa pemuda ikut dalam rombongan.
Sekitar jam 23.00 mereka tiba di Jakarta. Atas permintaan Bung Karno, rombongan langsung menemui Mayjend Nishimura untuk menjajagi sikapnya soal proklamasi kemerdekaan. Sudiro awalnya hendak protes, namun Chairul segera menghalangi niatnya.
Setiba di rumah Nishimura, Bung Karno dan Bung Hatta turun dan berjalan menuju ke dalam rumah. Rombongan lainnya tetap di dalam mobil. Tak lama kemudian kedua tokoh PPKI keluar dari dalam rumah berjalan dengan muka tertunduk.
“Tanda buruk,” bisik Parolan dalam hati.
“Bagaimana?”
“Mereka menolak. Mereka tidak mau mengubah status quo sampai nanti sekutu tiba,” jelas Bung Hatta.
“Nah kan,” celetuk Parolan. “Kami sudah bilang, kemerdekaan itu harus kita rebut. Kita tidak bisa tunggu diberi Jepang. Malah, kalau tunggu sekutu, itu namanya peralihan penjajah saja.”
“Maafkan kami,” suara Bung Karno terdengar berat. “Kalian benar!”
“Sekarang kita ke mana?” Tanya sopir rombongan.
“Ke rumah Laksamana Muda Maeda.” Jawab Ahmad Subardjo.
“Bukankah dia itu orang Jepang?”
“Tidak semua orang Jepang itu jahat. Saya kerja di kantor dia,” jelas Subardjo. “Dia akan menjamin keselamatan kita. Dan yang terpenting, dia mendukung kemerdekaan kita.”
Rombongan tiba di rumah Maeda sekitar jam 24.00. Laksamana Maeda menyambut mereka dengan ramah. Ia menunjukkan ruang makan sebagai tempat penyusunan teks proklamasi, sedangkan rombongan lainnya menunggu di serambi muka. Maeda meminta pelayannya untuk membuatkan kopi untuk para tamu.
Mobil yang mengantar mereka sudah kembali pergi ke rumah Bung Karno untuk mengantar Ibu Fatmawati dan Guntur.
Pada jam 04.00 Bung Karno, Bung Hatta dan Ahmad Subardjo keluar menemui rombongan di serambi muka. “Kami sudah selesai menyusun teks proklamasi,” ujar Bung Hatta yang kemudian mempersilahkan Bung Karno membacakan konsepnya.
Setelah membaca, Bung Karno minta usulan dan tanda tangan dari para hadirin sebagai wakil-wakil bangsa Indonesia.
“Saya tidak setuju!” Tegas Sukarni. “Yang menandatangani naskah proklamasi cukup Bung Karno dan Bung Hatta atas nama bangsa Indonesia.”
“Saya setuju dengan Sukarni,” sambung Parolan.
Akhirnya disepakati tiga perubahan, yaitu menghilangkan huruf ‘h’ pada kata ‘tempoh’; menggantikan frase ‘wakil-wakil bangsa Indonesia’ dengan ‘Atas nama bangsa Indonesia’; penulisan ‘Djakarta, 17-8-05’ diubah menjadi ‘Djakarta, hari 17 boelan 8 tahoen ‘05’. Teks proklamasi dengan segala perubahannya diserahkan kepada Sayuti Melik untuk diketik.
Sementara Sayuti Melik mengetik teks proklamasi, rombongan melanjutkan pembicaraan membahas soal waktu dan tempat pembacaan proklamasi. Sukarni mengusulkan Lapangan Ikada, namun ditolak Bung Karno karena lokasi itu bisa menimbulkan bentrokan antara rakyat dengan pihak militer Jepang.
“Saya sepakat dengan Bung Karno,” ungkap Shudanco Singgih dari Daidan PETA Jakarta. ”Jika terjadi konflik, kami yang terjepit.”
“Kita selenggarakan saja di rumah Bung Karno,” komentar Parolan.
“Baiklah saudara-saudara. Waktu kita sudah mepet. Sekarang jam 04.20,” ujar Ahmad Subardjo sambil melihat arlojinya. “Kita berkumpul lagi nanti di rumah Bung Karno. Pembacaan teks proklamasi pada jam 10.00.”
Selesai berbicara, Sayuti Melik muncul dengan membawa naskah proklamasi. BM Diah meminta supaya teks proklamasi diperbanyak untuk disiarkan melalui radio dan surat kabar.
Pagi hari itu, jam 08.30, rumah Sukarno sudah dipadati massa pemuda. Parolan melihat Cudanco Latief Hendraningrat sibuk memerintahkan anak buahnya untuk berjaga-jaga di sekitar rumah Bung Karno. Mr. Wilopo dan Nyonopranowo sibuk mempersiapkan pengeras suara. Parolan menghampiri Chairul dan Adam Malik menanyakan susunan acara nanti. Bertiga mereka masuk ke rumah Bung Karno. Di sana sudah ada dr. Muwardi dan Walikota Suwirjo.
“Selamat pagi, Pak!” Sapa Parolan. “Kami mau tanya susunan acara nanti.”
“Gimana menurut kalian?” Tanya Bung Karno.
“Kita langsung aja pembacaan proklamasi dan pengibaran bendera.” Adam Malik menjawab.
“Benderanya apa dan di mana?” Bung Karno kembali bertanya.
“Ini.” Tiba-tiba Ibu Fatmawati muncul dengan membawa sehelai kain warna merah putih. “Sepulang dari Rengasdengklok saya langsung menjahitnya. Saya memilih warna merah dan putih. Merah sebagai lambang keberanian dan kemartiran pejuang kita, sedangkan putih simbol kesucian perjuangan kita.”
Bung Karno menghampiri istrinya, mengambil bendera itu dan mencium kening Ibu Fatmawati sambil berbisik, “Terima kasih!”
“Mungkin setelah pengibaran, kita beri kesempatan Bapak Suwirjo dan Bapak Muwardi memberi sambutan.” Chairul memecah keharuan.
Jam 09.55 Mohammad Hatta datang dan langsung menemui Bung Karno. Segara Latief memerintah seluruh barisan untuk berdiri dengan sikap sempurna. Kemudian dengan hormat Latief mempersilahkan Bung Karno dan Bung hatta membacakan proklamasi kemerdekaan.
Diawali dengan pidato singkat, Bung Karno lalu membacakan proklamasi kemerdekaan Indonesia. Sesudah itu Bung Karno langsung berteriak “merdeka!” yang langsung diikuti peserta lainnya.
S. Suhud dibantu Latief Hendraningrat mengibarkan bendera merah putih. Tanpa ada komando peserta langsung menyanyikan lagu Indonesia Raya mengiringi penaikan bendera.
Saat Walikota Suwirjo memberi kata sambutannya, BM. Diah mendekati Parolan. “Tolong berikan teks ini ke Waidan B Palenewen agar dibacakan.”
Tanpa membuang waktu lagi, Parolan meninggalkan lokasi upacara. Dengan sepedanya ia menuju ke kantor Berita Domei, menemui Kepala Bagian Radio. Segera Parolan menemui Pak Waidan dan menyampaikan teks yang diberikan BM Diah. Setelah membaca segera Pak Waidan memberikannya kepada F Wuz untuk disiarkan.
“Bisa tidak kami sedikit mewawancarai saudara seputar peristiwa tadi.”
“Dengan senang hati, Pak.”
“Ikutlah dengan saudara Wuz.”
Baru dua kali F. Wuz menyiarkan berita proklamasi dan belum mewawancarai Parolan, masuklah orang Jepang ke ruangan radio. Dengan marah-marah mereka menggedor-gedor pintu agar dibuka.
Tok! Tok! Tok! Suara pintu diketuk berkali-kali. Tak ada reaksi dari dalam ruangan. F. Wuz terus sibuk dengan siarannya. Parolan sedikit kebingungan. Pintu kembali digedor. Kali ini lebih kencang. Akhirnya Parolan membuka pintu.
“Emak?!” Teriak Parolan sedikit kaget. “Ngapain mamak di sini?”
“Kau kenapa, Lan?” Tanya ibunya kebingungan sambil menepuk jidat putranya. “Kamu pasti lagi bermimpi. Sudah, cuci muka sana dan tolong antar sayur ke pasar.”
Moro, 9 Februari 2013
by: adrian
Baca juga:
1.      Pasien Kamar 14
4.      Kicau Burung Hilang
5.      Kuda Lumping
7.      Ulang Tahun Ramadhan

8.      Cita-cita Warni

HUT Proklamasi dlm Liturgi Katolik

Merayakan ulang tahun kemerdekaan Republik Indonesia, sama artinya merayakan proklamasi bangsa Indonesia yang dikumandangkan oleh Bung Karno. Alasannya karena kemerdekaan bangsa Indonesia dimulai saat Bung Karno, atas nama bangsa Indonesia, membacakan teks proklamasi kemerdekaan, yang diketik Sayuti Melik. Kemerdekaan itu adalah kemerdekaan seluruh rakyat Indonesia, dari Sabang sampai Merauke. Karena itu juga, kegembiraan atas ulang tahun kemerdekaan RI ini adalah kegembiraan semua rakyat Indonesia.
Atas kegembiraan itu, rakyat Indonesia diajak untuk menghaturkan syukur. Semua rakyat Indonesia bergembira merayakan hari ulang tahun kemerdekaan Republik Indonesia. Mereka merayakan dengan berbagai macam kegiatan. Umat Katolik di seluruh Indonesia merayakannya dengan perayaan ekaristi. Ulang tahun proklamasi dalam liturgi orang Katolik termasuk Hari Raya. Karena itu, perayaan ekaristinya meriah.
Dalam perayaan ekaristi itu, umat Katolik diajak untuk menghaturkan syukur kepada Tuhan karena anugerah kemerdekaan yang diberikan-Nya. Bagi umat Katolik, kemerdekaan yang didapat bangsa Indonesia bukan semata-mata perjuangan anak bangsa, melainkan juga anugerah, rahmat dan berkat Tuhan. Hal ini senada dengan bunyi alinea ketiga mukadimah UUD’45, “Atas berkat rahmat Allah yang Maha Kuasa dan dengan didorong oleh keinginan luhur, supaya berkehidupan kebangsaan yang bebas, maka rakyat Indonesia menyatakan dengan ini kemerdekaannya.”
Umat Katolik juga diajak untuk mengenangkan jasa para pahlawan serta mendoakan mereka. Perjuangan merekalah (dan dengan karunia Allah) yang menghasilkan kemerdekaan pada 17 Agustus 1945. Selain itu, dalam perayaan ekaristi itu juga umat Katolik berdoa untuk bangsa Indonesia, seluruh rakyat Indonesia agar terhindar dari mala petaka dan dapat mencapai kesejahteraan serta hidup damai. Umat berdoa bukan hanya untuk umat Katolik atau Kristen saja, melainkan untuk semua rakyat Indonesia, tanpa melihat suku, ras, agama, golongan dan aliran ideologinya.
Selain bersyukur dan berdoa, umat Katolik diajak juga untuk merenung Sabda Tuhan. Berhubung ulang tahun kemerdekaan ini dalam liturgi Katolik termasuk Hari Raya, maka ada 3 bacaan Sabda Tuhan untuk direnungkan.
Bacaan Pertama: Kitab Putra Sirakh 10:1-8
"Para penguasa bertanggung jawab atas rakyatnya."

Pemerintah yang bijak menjamin ketertiban dalam masyarakat, pemerintah yang arif adalah yang teratur. Seperti para penguasa, demikian pula para pegawainya, seperti pemerintah kota, demikian pula semua penduduknya. Raja yang tidak terdidik membinasakan rakyatnya, tetapi sebuah kota sejahtera berkat kearifan para pembesarnya. Di dalam tangan Tuhan terletak kuasa atas bumi, dan pada waktunya Ia mengangkat orang yang serasi atasnya. Di dalam tangan Tuhanlah terletak kemujuran seseorang, dan kepada para pejabat Tuhan mengaruniakan martabat. Janganlah pernah menaruh benci kepada sesamamu, apa pun juga kesalahannya, dan jangan berbuat apa-apa terpengaruh oleh nafsu. Kecongkakan dibenci oleh Tuhan maupun manusia, dan bagi kedua-duanya kelaliman adalah salah. Pemerintahan beralih dari bangsa yang satu kepada bangsa yang lain akibat kelaliman, kekerasan, dan uang.

Bacaan Kedua: Surat 1 Petrus 2:13-17
"Berlakulah sebagai orang yang merdeka."

Tunduklah, karena Allah, kepada semua lembaga manusia, baik kepada raja sebagai pemegang kekuasaan yang tertinggi, maupun kepada wali-wali yang diutusnya untuk menghukum orang-orang yang berbuat jahat dan menghormati orang-orang yang berbuat baik. Sebab inilah kehendak Allah, yaitu supaya dengan berbuat baik kamu membungkamkan kepicikan orang-orang yang bodoh. Hiduplah sebagai orang merdeka dan bukan seperti mereka yang menyalahgunakan kemerdekaan itu untuk menyelubungi kejahatan-kejahatan mereka, tetapi hiduplah sebagai hamba Allah. Hormatilah semua orang, kasihilah saudara-saudaramu, takutlah akan Allah, hormatilah raja!

Bacaan Injil: Matius 22:15-21
" Berikanlah kepada Kaisar apa yang wajib kamu berikan kepada Kaisar dan kepada Allah apa yang wajib kamu berikan kepada Allah."

Kemudian pergilah orang-orang Farisi; mereka berunding bagaimana mereka dapat menjerat Yesus dengan suatu pertanyaan. Mereka menyuruh murid-murid mereka bersama-sama orang-orang Herodian bertanya kepada-Nya: "Guru, kami tahu, Engkau adalah seorang yang jujur dan dengan jujur mengajar jalan Allah dan Engkau tidak takut kepada siapa pun juga, sebab Engkau tidak mencari muka. Katakanlah kepada kami pendapat-Mu: Apakah diperbolehkan membayar pajak kepada Kaisar atau tidak?" Tetapi Yesus mengetahui kejahatan hati mereka itu lalu berkata: "Mengapa kamu mencobai Aku, hai orang-orang munafik? Tunjukkanlah kepada-Ku mata uang untuk pajak itu." Mereka membawa suatu dinar kepada-Nya. Maka Ia bertanya kepada mereka: "Gambar dan tulisan siapakah ini?" Jawab mereka: "Gambar dan tulisan Kaisar." Lalu kata Yesus kepada mereka: "Berikanlah kepada Kaisar apa yang wajib kamu berikan kepada Kaisar dan kepada Allah apa yang wajib kamu berikan kepada Allah." Mendengar itu heranlah mereka dan meninggalkan Yesus lalu pergi.

Penutup
Ibadat merupakan salah satu kegiatan keagamaan sebagai wujud dari iman. Setiap agama pasti mempunyai cara ibadatnya. Ibadat adalah bentuk komunikasi manusia dengan Allahnya. Dalam komunikasi itulah manusia menyampaikan beberapa hal dalam hidupnya, baik syukur maupun permohonan.
Berkaitan dengan hari kemerdekaan Republik Indonesia, umat Katolik mengadakan ibadat. Dalam ibadat tersebut terjadilah komunikasi antara Allah dan umat-Nya. Ada dialog antara manusia dan Allah. Manusia menyampaikan rasa syukur dan mohon berkat Tuhan atas bangsa dan tanah air. Allah menyampaikan pesan-Nya berkaitan dengan hari kemerdekaan lewat sabda-Nya. Setelah manusia mendengar sabda Allah, langkah lanjutnya adalah merenungkannya. Dan setelah merenungkannya manusia diajak untuk melakukannya dalam kehidupan sesuai pesan Allah dalam sabda-Nya.
Tanjung Balai Karimun, 16 Agustus 2012
by: adrian

Orang Kudus 17 Agustus: St. Hyasintus

SANTO HYASINTUS, PENGAKU IMAN
Hyasintus lahir pada tahun 1185 di Breslan, Silesia, Jerman Timur, dari keluarga bangsawan Odrowaz. Setelah menamatkan studinya, ia ditahbiskan menjadi imam. Karya imamatnya dimulai di Katedral Krakau, Polandia. Pada umur 35 tahun, bersama adiknya Seslaus, Hyasintus menemani uskupnya dalam perjalanan ke Roma.

Kesempatan itu dipakai untuk menemui Santo Dominikus, pendiri Ordo Pengkotbah. Semangat kerasulan dan kemiskinan para biarawan ordo itu sangat mereka kagumi. Pada pertemuan itu, Hyasintus meminta Dominikus agar mengutus beberapa biarawannya untuk mewartakan Injil di Eropa Utara. Permohonan itu tidak dikabulkan karena masalah kekurangan tenaga imam. Secara tak terduga, kedua bersaudara itu meminta Dominikus agar diterima dalam Ordo Pengkotbah. Dengan senang hati, Dominikus menerima kedua bersaudara itu dalam pangkuan ordonya.

Hyasintus bersama Seslaus, meskipun sudah lama bekerja sebagai imam, bersedia menjalani lagi masa novisiat untuk melatih diri dan membentuk diri mengikuti semangat Ordo Pengkotbah dan semua keutamaan kristen yang diperjuangkan ordo itu. Setelah mereka mengikrarkan kaul-kaul kebiaraan, Hyasintus dan Seslaus diutus ke Eropa Utara sebagai misionaris Dominikan pertama di wilayah itu.

Sebagai perintis Ordo Pengkotbah di Eropa Utara, kedua bersaudara itu mengalami banyak hambatan dalam karyanya. Namun Tuhan senantiasa menyertai mereka dengan banyak karuniamujizat. Mula-mula Hyasintus menjelajahi seluruh Polandia untuk mewartakan Injil. Ia berhasil menobatkan banyak orang di semua kota. Selanjutnya ia berkotbah di wilayah-wilayah Jerman, Denmark, Swedia, Austria dan Rusia sampai ke Laut Hitam. Kehidupannya yang sederhana dan sucimenjadi pendukung kuat bagi kotbah-kotbahnya dan hal ini berhasil menarik minat banyak pemuda.

Pemuda-pemuda yang dengan rela meledani Hyasintus dibina untuk menjadi imam-imam Dominikan. Untuk itu Hyasintus mendirikan banyak biara Dominikan di berbagai tempat sebagai pusat pendidikan bagi semua pemuda yang mau menjadi imam dalam Ordo Dominikan.

Dikatakan bahwa Hyasintus sepanjang hidupnya (72 tahun) pernah mengalami sakit, termasuk penyakit ketuaan dan semua penderitaan lain yang disebabkan oleh usia yang sudah lanjut. Ia akhirnya gugur sebagai seorang ksatria Kristus yang memberi kesaksian iman secara luar biasa. Pada tanggal 14 Agustus 1257, ia jatuh sakit dan meninggal dunia pada tanggal 15 Agustus 1257, tepat dengan Pesta Maria Diangkat Ke Surga.

sumber: Orang Kudus Sepanjang Tahun

Renungan Hari Proklamasi RI, Thn I - C

Renungan Hari Proklamasi RI, Thn C/I
Bac I   : Sir 10: 1 – 8; Bac II          : 1Ptr 2: 13 – 17;
Injil     : Mat 20: 3 – 12

Hari ini, sebagai warga negara, kita merayakan hari kemerdekaan bangsa kita dari penjajahan bangsa asing. Tema sabda Tuhan dalam bacaan liturgi kemerdekaan ini adalah bijaksana. Secara tidak langsung Tuhan menghendaki agar kita menggunakan kemerdekaan kita dengan bijaksana.

Dalam bacaan pertama, penulis Putera Sirakh mengatakan bahwa pemimpin yang bijaksana akan mendatangkan ketertiban dan keteraturan (ay.1) dan kesejahteraan (ay. 3). Sedangkan dalam bacaan kedua, Petrus dalam suratnya yang pertama, menegaskan agar kita tidak menyalahgunakan kemerdekaan demi kepentingan diri sendiri. Petrus menghendaki agar kita hidup “sebagai orang merdeka” (ay. 16), yang berarti menggunakan kemerdekaan dengan bijaksana. Hidup merdeka dengan bijaksana dapat terlihat dalam sikap menghormati dan mengasihi sesama, takut akan Allah dan menghormati pemimpin pemerintahan (ay. 17).

Sikap bijaksana diperlihatkan Yesus dalam kisah perumpamaan orang-orang upahan di kebun anggur. Meski secara manusiawi ada kesan tidak adil, di sini Yesus mau menunjukkan bagaimana tuan empunya kebun menggunakan kemerdekaannya secara bijaksana, tanpa pilih-pilih.

Sabda Tuhan hari ini mengajak kita menghayati kemerdekaan negara kita dengan bijaksana. Kita dapat memulai dari diri kita. Dengan kebijaksanaan itulah maka akan tercipta cita-cita bangsa ini, yaitu kesejahteraan hidup, yang dalam bahasa imannya adalah Kerajaan Allah.

by: adrian