Hubungan
erat antara iman dan kepedulian terhadap lingkungan hidup ditegaskan oleh Paus
Fransiskus dalam ensiklik Laudato Si (LS). Paus berkata,
“Menghayati panggilan untuk melindungi karya Allah adalah bagian penting dari
kehidupan yang saleh.” (LS 217). Maka, manusia akan berjiwa kerdil dan bahkan
tampak tak waras ketika perhatian dan perawatan terhadap lingkungan dikecualikan
dari hidupnya sebagai makhluk beriman. Sebab, lingkungan hidup merupakan “rumah
bersama bagi segenap ciptaan” (LS 1).
Manusia,
Makhluk Ekologis
Manusia,
secara hakiki, adalah makhluk ekologis. Hidupnya ditopang dan didukung oleh
lingkungan hidup, air, udara, tumbuh-tumbuhan dan oleh beragam binatang yang
hidup di dalamnya. Bahkan manusia sendiri dibentuk dari debu tanah (Ke 2: 7).
Tuhan pun menempatkan manusia itu dalam relasi mutual dengan sesama ciptaan
lainnya dalam taman kehidupan.
Kitab
kejadian melukiskan harmoni dan kebaikan relasi itu dengan kalimat “Tuhan
melihat segala sesuatu yang dijadikan-Nya itu sungguh amat baik!” (Kej 1: 31).
Ada dua aspek yang dapat dikatakan mengenai apresiasi positif Tuhan ini. pertama, manusia
dan aneka ciptaan itu berstatus sama, yakni makhluk yang diciptakan Tuhan
sendiri. Diakui bahwa Tuhan adalah Pencipta. Dan Dia mencipta karena cinta.
Maka, kita dan semua yang lain adalah ciptaan-Nya (LS 76, 77). Kita satu sama
lain dan lingkungan hidup adalah hadiah dari Tuhan.
Namun
demikian, kesamaan status sebagai “ciptaan” itu tidak perlu membawa kita pada
sikap biosentris yang berpandangan bahwa manusia itu tak lebih istimewa
daripada makhluk-makhluk hidup lainnya (LS 118). Tidak! Manusia tetaplah
pribadi dan subyek yang unik, baik dalam hubungannya dengan Tuhan maupun dalam
panggilannya yang khusus untuk melindungi ciptaan. Sebab “…., semua makhluk
bergerak maju bersama-sama kita dan melalui kita menuju titik akhir yang sama,
yakni Allah sendiri” (LS 83).
Kedua, Tuhan
dialami kehadiran-Nya dalam dan melalui ciptaan. Kendati rapuh dan tidak abadi,
ciptaan itu mengandung nilai sakramental. Segenap ciptaan dapat mengantar kita
pada perjumpaan dengan Tuhan sendiri. Segenap ciptaan itu baik adanya, karena
Tuhan sendiri “intim hadir dalam setiap makhluk tanpa menghilangan otonomi
mereka” (LS 80).
Maka,
cinta kita kepada Tuhan Pencipta hanya dapat bertumbuh, berkembang, dan berdaya
membebaskan kalau kita juga berlaku rendah hati dan penuh tanggung jawab terhadap
sesama ciptaan. Inilah sebabnya, ditampik relativisme praktis yang
memperlakukan ciptaan melulu sebagai obyek dan sarana pemenuhan kebutuhan
manusia semata (LS 122 – 123).
Manusia
perlu menunjukkan simpati dan sikap syukur, berlaku hemat dan sahaja,
berekonsiliasi dan memperlakukan ciptaan lain sebagai kerabat komunitas
kehidupan. Buang pola hidup konsumeristik yang ditopang oleh kekejaman dan
“logika pakai dan buang” (LS 123). Sudah pada tingkat ini, amatlah mendesak
suatu ekologi yang integral, yakni visi dan sikap yang melibatkan perhatian
yang menyeluruh terhadap aspek-aspek manusiawi, sosial, kesejahteraan umum, dan
keadilan antargenerasi (LS bab IV).
Setia pada iman kristiani, kita dapat mengatakan bahwa lingkungan hidup adalah “rumah” yang diberikan Tuhan untuk semua: manusia dan segenap makhluk. Kita tinggal bersama di dalamnya sebagai satu keluarga. Maka, semua adalah kerabat, saudara-saudari yang berasal dari satu Allah, Pencipta. Untuk bisa merasa at home di “rumah” itu, dibutuhkan sikap saling perhatian dan bukan dominasi atas sesama ciptaan lainnya.