Selasa, 03 Oktober 2023

LAODATO SI DAN KESALEHAN EKOLOGIS

 

Hubungan erat antara iman dan kepedulian terhadap lingkungan hidup ditegaskan oleh Paus Fransiskus dalam ensiklik Laudato Si (LS). Paus berkata, “Menghayati panggilan untuk melindungi karya Allah adalah bagian penting dari kehidupan yang saleh.” (LS 217). Maka, manusia akan berjiwa kerdil dan bahkan tampak tak waras ketika perhatian dan perawatan terhadap lingkungan dikecualikan dari hidupnya sebagai makhluk beriman. Sebab, lingkungan hidup merupakan “rumah bersama bagi segenap ciptaan” (LS 1).

Manusia, Makhluk Ekologis

Manusia, secara hakiki, adalah makhluk ekologis. Hidupnya ditopang dan didukung oleh lingkungan hidup, air, udara, tumbuh-tumbuhan dan oleh beragam binatang yang hidup di dalamnya. Bahkan manusia sendiri dibentuk dari debu tanah (Ke 2: 7). Tuhan pun menempatkan manusia itu dalam relasi mutual dengan sesama ciptaan lainnya dalam taman kehidupan.

Kitab kejadian melukiskan harmoni dan kebaikan relasi itu dengan kalimat “Tuhan melihat segala sesuatu yang dijadikan-Nya itu sungguh amat baik!” (Kej 1: 31). Ada dua aspek yang dapat dikatakan mengenai apresiasi positif Tuhan ini. pertama, manusia dan aneka ciptaan itu berstatus sama, yakni makhluk yang diciptakan Tuhan sendiri. Diakui bahwa Tuhan adalah Pencipta. Dan Dia mencipta karena cinta. Maka, kita dan semua yang lain adalah ciptaan-Nya (LS 76, 77). Kita satu sama lain dan lingkungan hidup adalah hadiah dari Tuhan.

Namun demikian, kesamaan status sebagai “ciptaan” itu tidak perlu membawa kita pada sikap biosentris yang berpandangan bahwa manusia itu tak lebih istimewa daripada makhluk-makhluk hidup lainnya (LS 118). Tidak! Manusia tetaplah pribadi dan subyek yang unik, baik dalam hubungannya dengan Tuhan maupun dalam panggilannya yang khusus untuk melindungi ciptaan. Sebab “…., semua makhluk bergerak maju bersama-sama kita dan melalui kita menuju titik akhir yang sama, yakni Allah sendiri” (LS 83).

Kedua, Tuhan dialami kehadiran-Nya dalam dan melalui ciptaan. Kendati rapuh dan tidak abadi, ciptaan itu mengandung nilai sakramental. Segenap ciptaan dapat mengantar kita pada perjumpaan dengan Tuhan sendiri. Segenap ciptaan itu baik adanya, karena Tuhan sendiri “intim hadir dalam setiap makhluk tanpa menghilangan otonomi mereka” (LS 80).

Maka, cinta kita kepada Tuhan Pencipta hanya dapat bertumbuh, berkembang, dan berdaya membebaskan kalau kita juga berlaku rendah hati dan penuh tanggung jawab terhadap sesama ciptaan. Inilah sebabnya, ditampik relativisme praktis yang memperlakukan ciptaan melulu sebagai obyek dan sarana pemenuhan kebutuhan manusia semata (LS 122 – 123).

Manusia perlu menunjukkan simpati dan sikap syukur, berlaku hemat dan sahaja, berekonsiliasi dan memperlakukan ciptaan lain sebagai kerabat komunitas kehidupan. Buang pola hidup konsumeristik yang ditopang oleh kekejaman dan “logika pakai dan buang” (LS 123). Sudah pada tingkat ini, amatlah mendesak suatu ekologi yang integral, yakni visi dan sikap yang melibatkan perhatian yang menyeluruh terhadap aspek-aspek manusiawi, sosial, kesejahteraan umum, dan keadilan antargenerasi (LS bab IV).

Setia pada iman kristiani, kita dapat mengatakan bahwa lingkungan hidup adalah “rumah” yang diberikan Tuhan untuk semua: manusia dan segenap makhluk. Kita tinggal bersama di dalamnya sebagai satu keluarga. Maka, semua adalah kerabat, saudara-saudari yang berasal dari satu Allah, Pencipta. Untuk bisa merasa at home di “rumah” itu, dibutuhkan sikap saling perhatian dan bukan dominasi atas sesama ciptaan lainnya.