Kamis, 30 Juni 2022

DI SAAT TAK ADA TITIK TEMU

 

Pada suatu kesempatan mengunjungi sebuah paroki, beberapa umat yang saya temui di lokasi dan waktu berbeda mengajukan satu pertanyaan yang sama, “Kapan pastor paroki kami pindah?” Di balik pertanyaan itu, terekam perasaan jenuh menghadapi pastor paroki yang sudah lama berkarya di paroki itu. Kejenuhan tersebut beralasan karena selama menjabat sebagai pastor paroki, sepertinya tidak ada greget hidup menggereja. Pastoral seperti air mengalir.

Menghadapi pertanyaan itu saya tidak mau masuk dalam konflik kepentingan atau konflik lainnya. Karena itu, dengan gaya diplomasi, saya menjawab, “Hanya Roh Kudus yang tahu.”

Tentu ada yang bingung dengan jawaban saya ini atau menganggap saya bercanda. Mungkin ada yang mengatakan bahwa pernyataan saya tersebut hanyalah sebuah kiasan, mengutip pernyataan Tuhan Yesus berkaitan dengan kedatangan Kerajaan Allah. Akan tetapi perlu ditegaskan bahwa jawaban di atas bukanlah kiasan. Memang hanya Roh Kudus yang tahu. Kenapa bisa begitu?

Soal perpindahan tenaga pastoral tentulah melibatkan dua pihak, yaitu pastor yang bersangkutan dan uskup. Perpindahan dapat terjadi dan mudah diketahui jika ada komunikasi dialogal antara kedua pihak tersebut. Komunikasi dialogal memungkinkan terjadinya titik temu antara tenaga pastoral dan uskup, sebagai pimpinan. Jika tidak ada komunikasi dialogal, maka tidak akan ada titik temu. Ini ibarat minyak dan air atau rel kereta api. Dan kalau begini, ya hanya Roh Kudus yang tahu. Pastor bersangkutan tidak, uskup juga tidak.

Bagaimana hal itu bisa terjadi? Ini bisa terjadi karena kedua belah pihak berkomunikasi dengan menggunakan pengandaian. Sang pastor mengandaikan uskup yang akan “memerintahkan” dirinya untuk pindah. Sebagai seorang imam, ia terikat akan janji setia kepada uskup. Jadi, selagi belum ada mandat dari uskup untuk pindah, ia akan tetap bertahan terus di paroki tersebut, tanpa peduli apakah umat sudah jenuh atau tidak; apakah reksa pastoral jalan atau tidak. Sementara di pihak lain, uskup mengandaikan imamnya datang meminta untuk dipindahkan. Selagi tidak ada permintaan pindah dan atau selagi imamnya tidak bermasalah, maka uskup tidak akan memindahkannya; tak peduli apakah umat sudah jenuh atau tidak; apakah reksa pastoral jalan atau tidak.

Hal ini tidak akan terjadi jika ada suatu sistem rotasi, seperti setiap lima tahun diadakan perpindahan. Atau kedua pihak tidak saling mengandaikan dalam berkomunikasi. Imam harus tahu diri kalau kelamaan di suatu tempat memiliki banyak efek negatif; uskup harus bijaksana agar mau juga mendengarkan suara umatnya. Perlu disadari bahwa dalam berpastoral, umatlah yang menjadi prioritas. Umat adalah kawanan domba yang digembalakan. Karena itu, sangat aneh jika uskup hanya berfokus pada imamnya tanpa peduli akan umatnya.