Kamis, 04 September 2014

Sharing Pengalaman Panggilan

MENJAWAB PANGGILAN TUHAN
Saya dilahirkan di Pangkalpinang luar kota, persisnya di kampung khiat Fo atau kampung Mangkol atau Pedindang, pada 28 Juni 1958 dari sebuah keluarga Chinese Kong Hu Cu, generasi keempat yang lahir di Indonesia. Pada waktu saya lahir, orang tua saya memiliki sebuah toko yang cukup maju di samping bioskop garuda Pangkalpinang, tetapi semua itu dijual karena orang tua mempunyai rencana kembali ke Tiongkok, sehingga kami tetap menjadi Warga Negara Asing. Tetapi rencana itu batal dan keluarga kami termasuk kelompok yang masih tinggal di Indonesia.

Sampai dengan kelas 3 SD saya bersekolah di SR, jalan mangkol, sebuah sekolah kampung waktu itu, yang mutunya menurut Papa saya tidak baik. Karena itu, ketika saya naik ke kelas 4, Papa memindahkan saya ke SD Rinjung di Kampung Kong Hin, yang menjadi cikal bakal SD Robert di bawah Yayasan Tunas Karya. Di sekolah ini saya mulai mengenal agama Katolik, mulai mengenal Yesus dan cerita dari Kitab Suci.

Lulus SD saya melanjutkan ke SMP Budi Mulia di Pangkalpinang. Selesai SMP saya berkeinginan masuk ke SPG. Saya datang mendaftar di SPG Theresia. Namun karena saat itu saya belum katolik, suster minta saya kembali lagi 2 hari kemudian, karena SPG diprioritaskan untuk yang katolik. Dalam perjalanan pulang saya mampir di rumah AKhiu Kang Fo (Lukman Tirtajasa) dan saya menceritakan masalah ini. Kemudian beliau menyuruh saya mendaftar di SMA Yosef (Januari 1974). Sebulan di sana terjadi pembauran pribumi dan non pibumi, saya termasuk nonpribumi non katolik dipindahkan ke SMA Negeri Kacang Pedang.

Lulus SMA Desember 1976 saya ingin melanjutkan kuliah di IKIP Sanata Dharma, tetapi Ajie saya dari Salatiga datang ke Bangka dan mengajak saya ke Salatiga untuk kuliah di Universitas Kristen Satyawacana. Tetapi karena saya masih WNA, saya tidak dapat masuk kuliah. Saya mengisi waktu dengan mengikuti kursus-kursus, mula-mula kursus Tata buku kemudian kursus elektronik di Semarang selama 4 bulan. Kemudian saya bekerja sebagai teknisi elektronik di salah satu agen National Gobel dan Philips di Salatiga. Sementara itu saya ikut aktif ke gereja mengikuti keluarga Ajie dan Jie chong yang sudah lama menjadi katolik. Kemudian saya ikut katekumen di Paroki St. Paulus Miki Salatiga.

Pada waktu katekumenat ini saya melihat foto-foto aksi panggilan dari para frater MSF di paroki dan dari dalam hati saya seakan-akan tercetus: “Nah ini yang saya cari.” Saya langsung menyampaikn ini kepada AJie saya di rumah, dan beliau langsung menangis dan berkata, “kamu kecewa tidak dapat kuliah.” Rupanya beliau meragukan panggilan saya dan mengira saya putus asa, tetapi saya tidak peduli. Saya langsung bertemu romo paroki untuk menyampaikan keinginan saya. Romo paroki hanya tertawa dengan mengatakan, “ya kamu harus dibaptis dulu, sesudah baptis pun harus menunggu satu dua tahun untuk melihat motivasi kamu…”

Saya jalani semuanya itu. Saya mendapat pekerjaan yang baik dengan bayaran yang semakin tinggi. Mendapat uang itu sesuatu yang menyenangkan. Tidak terasa satu tahun, dua tahun lewat… sampai lima tahun. Pada tahun ke 5 (1982), Tini Lukman (ACen) datang ke Semarang untuk melanjutkan kuliah di IKIP Sanata Dharma. Kedatangan ACen ini membuat saya mendengar lagi suara Tuhan yang berkata: ”Sekarang tahun ajaran baru mulai lagi, saya harus masuk sekarang atau tidak sama sekali.” Sesudah saya renungkan dengan serius, saya putuskan untuk masuk. Saya bertemu Romo Paroki Atmodirono Semarang untuk menyampaikan keinginan saya masuk biara menjadi calon bruder. Saya langsung dibawa ke Propinsialat MSF di Jln. Guntur 20 Semarang dan langsung ditest dengan mengisi questioner. Saya diminta menunggu beberapa hari untuk mendapat jawabannya. Akhirnya saya diterima dan diminta masuk ke Postulat MSF, Seminari Berthinianum di Yogya pada tanggal 28 Juli 1982. Saya pamitan dari pekerjaan saya dan menyampaikannya kepada Ajie saya. Kali ini beliau tidak menangis lagi. Mungkin karena beliau melihat saya sudah mantap saat itu. Pada harinya saya diantar keluarga Ajie ini ke Yogya.

Mengapa calon bruder??? Karena bruder mengajar, sejak dulu saya mau masuk SPG kemudian IKIP dan sekarang Bruder. Tetapi Tuhan mempunyai rencana lain. Dari 13 postulan waktu itu saya sendiri calon bruder dan 12 yang lain calon frater. Tetapi setiap kali ulangan bahasa latin dan bahasa Inggris, nilai saya selalu yang tertinggi. Kemudian sesudah 4 bulan di Postulat, saya dipanggil Romo Direktur. Beliau mempertanyakan mengapa saya mau menjadi calon bruder. Saya menjawab bahwa sesudah 5 tahun kerja tidak pernah belajar lagi, saya mengira saya sudah tidak mampu belajar lagi. Beliau menjawab bahwa dari nilai pelajaran terbukti nilai-nilai saya terbaik. Saya berkelit dengan alasan tidak bisa berbicara atau berkotbah. Dengan cepat beliau menjawab “O… itu bisa dilatih.” Selanjutnya beliau menjelaskan bahwa menjadi seorang imam akan lebih banyak digunakan. Kemudian saya disuruh berfikir untuk melihat hal ini.

Akhirnya saya memutuskan untuk ikut menjadi calon imam. Pendidikan di novisiat dan skolastikat (Seminari Tinggi) berjalan lancar dan tanpa kesulitan akademis, kecuali dalam hidup bersama. Terkadang saya suka emosi. Tetapi dengan terbuka untuk dibimbing saya pun bisa bertumbuh. Saya yakin betul bahwa inilah jalan hidup saya. Saya bahagia. Saya bertumbuh dan berkembang.  Walau menjelang tahap akhir saya hampir putus asa, karena permohonan kaul kekal saya ditunda setahun. Rupanya ini bagian dari proses pembentukan saya. Akhirnya pada tanggal 28 Agustus 1992 saya menerima tahbisan imam di Gereja Banteng, Yogyakarta.

Tugas pertama saya sebagai imam muda ditempatkan di paroki Boyolali. Setahun kemudian pindah ke paroki Salatiga, sambil mengikuti Kursus Pembimbing Rohani di Institute Roncalli selama 6 bulan, sebagai persiapan untuk tugas sebagai formator di Madagascar. Satu tahun di Salatiga kemudian saya dikirim ke Lyon untuk belajar bahasa Perancis selama setahun sebagai persiapan untuk masuk Madagascar.

Sesudah paskah 1997 saya masuk paroki Manja di keuskupan Morombe, sebuah paroki di pedalaman. Di sana tidak ada listrik apalagi telepon. Transportasi lewat darat yang berat, 60 km ditempuh dalam 3 jam mobil. Dua tahun di paroki ini, kemudian saya dikirim ke katedral Banjarmasin. Tiga bulan di sana, suatu hari Pater Administrator Diosesan Palangkaraya lewat dan mampir di katedral. Beliau sedang bingung karena ekonom keuskupan sudah akan kembali ke Pontianak. Spontan saya menawarkan diri. Jadilah saya resmi berkarya di Kalimantan menjadi anggota MSF Kalimantan.

Pada “Tahun Sabat”, saya menjalaninya di San Antonio Texas, di rumah MSF Propinsi Amerika Utara. Pada waktu saya di sini, Papa saya meninggal dunia, sesudah  sekitar 5 tahun sebelumnya sempat ikut katekumenat dan dibaptis. Kembali dari tahun sabat saya masuk Kalimantan Timur, Keuskupan Samarinda, dan bertugas di paroki Mangkupalas. Setelah satu tahun, lalu pindah ke Paroki Tering Kutai Barat, di pedalaman hulu sungai Mahakam, selama 2,5 tahun kemudian pindah lagi ke Banjarmasin di Paroki Kelayan, selama hampir 4 tahun.

Ketika saya mendengar bahwa MSF Jawa mempunyai paroki di Keuskupan Pangkalpinang, hati saya tergerak untuk dapat bekarya di kampung halaman sendiri. Karena itu saya minta pindah ke Jawa lagi dan ditempatkan di Biara induk sebagai sekretaris Propinsial selama 1,5 tahun. Kemudian dipindahkan lagi ke Sunter, Jakarta, sebagai procurator misi MSF Jawa. Di Jakarta ini saya terlibat secara intens dalam gerakan Marriage Encounter yang sebelumnya sudah saya geluti sejak saya bertugas di Palangkaraya.

Satu tahun di Sunter, Pater Provinsial yang baru mendengarkan kerinduan saya untuk dapat berkarya di Pangkalpinang, dan terjadi pembicaraan dengan Bapa Uskup Pangkalpinang dan mimpi saya menjadi kenyataan.
by: Rm. Fut Khin Lioe, MSF
Baca juga:

Renungan Hari Kamis Biasa XXII - Thn II

Renungan Hari Kamis Biasa XXII, Thn A/II
Bac I    1Kor 3: 18 – 23; Injil                        Luk 5: 1 – 11;

Hari ini Injil menampilkan kisah Tuhan Yesus dan Petrus menangkap ikan. Duc in altum. Di sini Tuhan Yesus hendak melakukan mujizat. Terkesan bahwa awalnya Petrus menolak. Alasannya, permintaan Tuhan Yesus tidak masuk akal baginya. Dirinya adalah nelayan, sementara Yesus sama sekali tidak punya latar belakang bahkan pengetahuan tentang kelautan atau perikanan. Di samping itu, sudah semalam-malaman Petrus berjuang, namun sia-sia. Akan tetapi, Petrus tidak menunjukkan sikap sombongnya. Justru ia menampilkan sikap rendah hati dan berserah. “Karena Engkau menyuruhnya, aku akan menebarkan jala juga.” (ay. 5).

Sikap seperti Petrus inilah yang ditunjukkan Paulus dalam bacaan kedua. Dalam suratnya yang pertama kepada jemaat di Korintus, Paulus menasehati umat untuk tidak menipu diri sendiri dengan sikap sombong atau memegahkan diri sendiri. Sekalipun ada dasar untuk bermegah, tetaplah umat diminta untuk bersikap rendah hati, karena Tuhan mengetahui rancangan-rancangan umat yang semuanya adalah sia-sia belaka. Artinya, tak ada gunanya untuk bermegah diri. Di sini Paulus mau mengajak umat untuk membangun sikap rendah hati.

Tak jarang dalam kehidupan, kita sering membanggakan diri atas prestasi yang kita miliki. Kita merasa bahwa seolah-olah semua itu merupakan hasil kerja kita sendiri. Kebanggaan ini terkadang menjerumuskan kita untuk meninggalkan Tuhan. Kita menyingkirkan Tuhan, karena kita merasa kita-lah yang lebih berkuasa. Sabda Tuhan hari ini menyadarkan kita bahwa semua itu adalah kebodohan bagi Allah. Semua itu sia-sia belaka. Tuhan menghendaki supaya kita membangun sikap seperti Petrus, yang sekalipun merasa diri tahu segala sesuatu tentang danau dan teknik menangkap ikan, ia ikuti saja permintaan Yesus. Kita diminta untuk membangun sikap rendah hati dan berserah diri kepada kehendak Tuhan. Sikap inilah yang akhirnya mendatangkan kelimpahan hidup.

by: adrian