Selasa, 22 November 2016

KETIKA AHOK MENGANDALKAN KEKUATANNYA SENDIRI

Basuki Tjahaya Purnama, atau yang biasa disapa Ahok, adalah tokoh fenomenal dan karakteristik. Sebagai seorang Kristen, Ahok sudah mendobrak dominasi dan hegemoni islam di negeri ini. Tahun 2003 Ahok mencalonkan diri sebagai Bupati Belitung Timur, dan dia menang. Padahal wilayah Belitung Timur atau Belitung pada umumnya adalah wilayah islam. Daerah ini adalah daerah melayu, dimana melayu selalu dikonotasikan dengan islam.
Tahun 2007 Ahok maju dalam Pilkada Gubernur Bangka Belitung. Sama seperti daerah Belitung, Bangka juga merupakan daerah melayu. Sudah bisa dipastikan mayoritas pemilih adalah umat islam. Namun Ahok berani melawan hegemoni islam tersebut. Sayang, dalam pilkada ini Ahok gagal. Ada banyak pro kontra soal kekalahannya itu. Saya tak mau masuk dalam perdebatan itu.
Gagal di Bangka Belitung, Ahok mencoba peruntungan di Pilkada DKI Jakarta tahun 2012 berpasangan dengan Joko Widodo. Saat itu Ahok sebagai calon Wakil Gubernur. Di Jakarta pun, jumlah pemilih islam sangat banyak. Dan karena Ahok, Jokowi pun keciprat isu sebagai orang Kristen dan keturunan China. Sangat jelas, lawan terbesar bagi pasangan Jokowi dan Ahok ini adalah islam. Namun keduanya berhasil memenangkan pertempuran itu.
Ketika maju dalam pertempuran pilkada, baik di Belitung Timur, Bangka Belitung maupun Jakarta, Ahok mendapat serangan dari umat islam. Dalam setiap pertempuran itu, umat islam selalu memakai senjata utamanya, yaitu Al Quran. Amunisi senjata ini adalah soal larangan bagi umat islam memilih orang kafir menjadi pemimpin (QS Ali Imran: 28, QS An Nisaa: 144, Al Maidah: 51 dan 57). Kekafiran itu karena Ahok adalah orang Kristen. Surah Al Maidah ayat 72 dan 73 dengan jelas mengatakan bahwa orang Kristen, karena imannya akan Yesus sebagai Allah dan iman akan Tritunggal Mahakudus, adalah kafir.
Sepertinya hanya islam yang mempunyai senjata seperti ini dalam dunia demokrasi, dimana masyarakatnya majemuk. Kemajemukan memang diakui, namun diwajibkan untuk tunduk kepada mayoritas, bukan kepada kepentingan umum.

Pernikahan Dini & KDRT

Menikah adalah hak setiap manusia. Ada orang yang menggunakan hak tersebut, tapi ada juga yang tidak memakainya. Para imam, biarawan dan biarawati adalah contohnya.
Sekalipun merupakan hak setiap individu, bukan lantas berarti setiap orang, yang mau menggunakan haknya itu, dapat begitu saja menikah. Hak menikah memiliki batasan. Tiap negara mempunyai kebijakan tersendiri terkait dengan batasan itu. Untuk Negara Indonesia, setidaknya ada dua batasan hak menikah, yaitu usia dan jenisnya.
Terkait dengan usia, pemerintah memberi batasan usia menikah bagi pria dan wanita. Dalam UU no 1 tahun 1974 tentang perkawinan pasal 7 dikatakan bahwa usia pernikahan untuk pria adalah 19 tahun, sedangkan wanita 16 tahun.
Masih banyak elemen masyarakat melihat bahwa ketentuan usia dari pemerintah itu masih terbilang rendah. Banyak orang menilai batasan tersebut masih masuk dalam kategori pernikahan dini. Bagi mereka pernikahan dini memiliki banyak resiko. Tulisan berikut ini memberikan gambaran dampak buruk pernikahan dini. Lebih lanjut silahkan baca di sini: Budak Bangka: Pernikahan Dini & KDRT