Selasa, 04 Agustus 2015

(Refleksi) Menghayati Kemiskinan dlm Kemewahan

IMAM DAN KEKAYAAN
Ketika mau menerima tahbisan imam, seorang calon  musti mengikrarkan tiga kaul (untuk imam diosesan dikenal dengan janji), yaitu kemurnian, kemiskinan dan ketaatan. Dengan mengucapkan kaul janji kemiskinan, seorang imam (termasuk biarawan dan biarawati) diajak untuk menghayati hidup miskin, sebagaimana Yesus Kristus. Spiritualitas kemiskinan ini adalah Yesus Kristus, karena Yesus sendiri hidup miskin.
Di zaman dulu, ada banyak imam sungguh-sungguh menghayati panggilan hidup miskin ini. Sekedar menyebutkan beberapa nama, ada St. Yohanes Maria Vianney, Yosef Maria Pignatelli, Martinus de Porres, dll. Yang terkenal adalah Santo Fransiskus Asisi. Ordo yang dibangun oleh Fransiskus Asisi ini pun terkenal dengan hidup miskinnya.
Akan tetapi, dewasa ini sangat sulit menemui imam yang benar-benar menghayati janji kemiskinan ini. Jika ditanya alasannya, mereka akan menjawab lain padang, lain belalang; lain dulu, lain sekarang. Zaman berkembang. Jadi, sekalipun janji atau kaulnya sama, namun penghayatannya berbeda.
Saat ini sangat mudah menjumpai imam dengan “kemewahan”nya. Ada imam yang punya HP lebih dari 2 dengan harga yang fantastis dibandingkan dengan uang saku yang mereka dapat. Ada imam punya kamera mahal, yang harganya membutuhkan uang saku 3 bulan. Ada pula imam yang punya mobil, motor, tanah dan barang mahal lainnya.
Tentulah orang akan bertanya, dari mana mereka dapat uang untuk membeli semua itu? Tak mungkinlah mereka mengandalkan uang sakunya. Sekedar perbandingan, untuk dapat beli Samsung Galaxy S6, dibutuhkan uang saku sekitar 4 bulan. Itu pun dengan catatan, uang saku itu harus utuh, tidak kurang sedikit pun untuk kebutuhan lainnya. Nah, bagaimana bisa dijelaskan bila seorang imam punya Samsung Galaxy, Blackberry, tablet, laptop, kamera DLSR, dll.
Pemandangan seperti ini tak jauh berbeda dengan tokoh-tokoh yang pada akhirnya terjerat kasus korupsi. Misalnya, Gayus. Orang bertanya, bagaimana mungkin seorang pegawai golongan menengah dengan gaji sedang punya rumah mewah beberapa, harta berlimpah, uang hingga ratusan miliyar, mobil beberapa, dll. Dan setelah diusut, semua itu berasal dari korupsi.
Apakah para imam ini juga telah melakukan korupsi? Untung tidak ada KPK di Gereja Katolik. Akan tetapi, jika ditanya kepada imam, tentulah mereka tidak akan mengaku telah melakukan tindak korupsi. Pada umumnya, para imam punya jawaban yang mirip: dari umat. Ketika ditanya dari mana datangnya berang-barang yang dimiliki, umumnya seorang imam akan menjawab bahwa berang itu diberi oleh umat. Karena merupakan pemberian, maka harus diterima. Ada semacam kewajiban menerima pemberian umat, karena penerimaan itu merupakan bentuk penghormatan dan penghargaan pemberian orang.
Jadi, ada imam yang punya kamera DLSR pemberian umat. Ada imam punya mobil juga hadiah dari umat. HP Samsung Galaxy pun diberi umat. Memang sungguh luar biasa umat ini.
Dengan menerima pemberian umat ini seakan imam tidak menyalahi kaul kemiskinannya. Toh, dia hanya menerima. Dan setelah menerima ia hanya menggunakan dan merawatnya. Apakah memang demikian? Bagaimana jika yang memberi itu bukan umat yang dikenal, apakah masih diterima? Tentulah umat yang memberi itu adalah umat yang sudah dikenal; dan umat itu dikenal ‘baik’. Nah, bagimana jika yang memberi itu umat yang sudah tekenal tidak baik? Misalnya, sudah diketahui bahwa pemberian itu bersumber dari pencurian. Apakah imam akan menerima juga?
Sekedar perbandingan, mari kita renungkan kisah Tuhan Yesus melawan godaan iblis dalam Matius 4: 1 – 11. Pada pencobaan ketiga, Tuhan Yesus ditawari kemegahan dunia. Sama seperti dua tawaran lainnya, tawaran ketiga ini pun ditolak Tuhan Yesus dengan tegas. Menjadi pertanyaan: apakah penolakan itu karena hakikat pemberian itu atau karena iblis, si pemberi?
Iblis sudah dikenal sebagai sosok yang jahat. Karena itu, pemberiannya pun pasti jahat. Sekarang kita ganti tokoh pemberinya dengan malaikat. Sudah diketahui bahwa malaikat adalah sosok yang baik. Nah, sekarang malaikat ini datang kepada Tuhan Yesus dan menawarkan kemegahan dunia. Pertanyaannya: apakah Tuhan Yesus menerima atau menolak?
Dapat dipastikan bahwa Tuhan Yesus akan menolak. Penolakan itu didasari pada hakikat pemberian itu yang bertentangan dengan misi perustusan-Nya. Jadi, penolakan itu bukan didasari pada si pemberi, melainkan pada nilai pemberiannya.
Hal yang sama dengan para imam. Ketika ditawari kemewahan duniawi, hendaknya mereka berani menolak, karena kemewahan duniawi itu bertentangan dengan hakikat kaul kemiskinannya.
Batam, 25 Juli 2015
by: adrian
Baca juga refleksi lainnya:

Renungan Hari Selasa Biasa XVIII - Thn I

Renungan Hari Selasa Biasa XVIII, Thn B/I
Bac I  Bil 12: 1 – 13; Injil                    Mat 14: 22 – 36;

Tema umum sabda Tuhan hari ini adalah ketidakpercayaan. Dalam bacaan pertama, yang diambil dari Kitab Bilangan, ketidakpercayaan melahirkan sikap tidak takut. Allah mengecam ketidaktakutan Harun dan Miryam yang mengata-ngatai Musa. Ketidaktakutan itu didasari pada ketidakpercayaan mereka pada Musa, terlebih ketika Musa mengambil seorang perempuan Kush. “Sungguhkah Tuhan berfirman dengan perantaraan Musa saja? Bukankah dengan perantaraan kita juga Ia berfirman?” (ay. 2). Di sini mau dikatakan bahwa jika Harun dan Miryam percaya kepada Musa dan kepada Allah, mereka pasti akan takut pada Musa.
Jika bacaan pertama berbicara soal ketidaktakutan, Injil berbicara soal ketakutan. Ada tiga kali kata “takut” disebut. Sama seperti bacaan pertama, ketakutan ini juga disebabkan karena ketidakpercayaan. Hal ini terlihat pada sikap para murid. Ketika melihat Tuhan berjalan di atas air, mereka ketakutan karena mengira Ia adalah hantu (ay. 26). Namun Tuhan Yesus menyakinkan bahwa itu adalah diri-Nya. Di sini Tuhan Yesus meminta mereka untuk percaya (= tidak perlu takut). Dipertegas lagi dengan kisah Petrus yang meminta kepada Tuhan Yesus agar ia diperkenankan berjalan mendekati Dia. Awalnya Petrus berjalan, tapi karena takut ia pun tenggelam (ay. 30). Karena itulah Tuhan Yesus berkata kepadanya, “Hai orang yang kurang percaya, mengapa engkau bimbang?” (ay. 31). Di sini mau dikatakan bahwa jika para rasul, khususnya Petrus, percaya kepada Yesus, pastilah mereka tidak takut.
Melalui sabda-Nya hari ini Tuhan hendak mengajari kita soal sikap beriman kepada Tuhan. Salah satu bentuknya adalah sikap berserah. Kita diajak untuk menyerahkan diri kita kepada penyelenggaraan Allah. Dengan sikap berserah ini, maka bukan keinginan kita yang harus terwujud, melainkan kehendak Tuhan. Harun dan Miryam dalam bacaan pertama, dan para murid dalam Injil mewakili gambaran orang yang tidak mau berserah. Mereka akhirnya diliput perasaan takut dan iri hati. Tuhan menghendaki kita untuk menyerahkan hidup kita kepada-Nya. Jangan takut, Dia akan memperhatikan kita. ***
by: adrian