Rabu, 08 Agustus 2012

Makna Sejahtera

MEMAKNAI KESEJAHTERAAN
Tanggal 12 Juli lalu, di beberapa kota di Indonesia, diramaikan oleh aksi demo para buruh. Ribuan bahkan puluhan ribu demonstran, yang mayoritasnya adalah kaum buruh, turun ke jalan-jalan menyuarakan aspirasi mereka. Meskipun ada beberapa tuntutan, namun bisa dikatakan semuanya mengacu pada satu kata ini, yaitu S E J A H T E R A.

Selain buruh, demo menuntut kesejahteraan pernah dilakukan para guru dan juga para kepala desa. Bagi mereka gaji yang mereka terima saat itu tidak mencukupi untuk memenuhi kesejahteraan hidupnya dan keluarganya. Mereka minta kenaikan gaji agar mereka bisa mencapai kesejahteraan hidup.

Menjadi pertanyaan kita, apa sih sejahtera itu? Apakah sejahtera itu identik dengan kelimpahan harta kekayaan? Apakah dengan kenaikan gaji maka otomatis orang merasa sejahtera?

Bisa saja kita tertipu. Ada orang yang selama ini dianggap kaya raya, harta berlimpah, namun sebenarnya mempunyai utang yang tak berhingga. Sebenarnya, sejahtera mempunyai makna lebih dibandingkan hanya sekedar disebut sebagai orang kaya. Belum tentu semua orang kaya itu sejahtera. Sejahtera semestinya memiliki unsur kebahagiaan. Sementara kekayaan belum tentu dibarengi dengan kebahagiaan.

Kesejahteraan sebenarnya adalah ketika seseorang – secara relatif – baik itu primer, sekunder maupun tersier berdasarkan nilai yang ada pada diri seseorang. Mengapa demikian? Misalnya, Joni merasa dirinya sudah cukup kaya dan sejahtera ketika bisa menikmati makan tiga kali sehari, punya  rumah sederhana dan bisa menyekolahkan anak-anaknya. Joni merasa bahwa harta yang dimilikinya sudah mencukupi dan hidup bahagia.

Akan tetapi lain dengan Jono. Ia sudah memiliki rumah mewah, mobil bagus, deposito di berbagai bank dan kekayaan lainnya. Namun Jono melihat teman-temannya jauh lebih kaya daripada dirinya. Oleh karena itu, Jono merasa belum sejahtera. Dari situasi tersebut jelaslah bahwa besarnya harta tidak berbanding lurus dengan makna kesejahteraan secara relatif.

Dengan kata lain, sejahtera sebenarnya dimulai dari konsep berpikir atau persepsi terhadap kesejahteraan itu sendiri. Jadi, tidak mengherankan kalau Joni merasa sejahtera, sementara Jono masih merasa “sengsara”. Makanya, disebut sebagai nilai relatif.

Ada beberapa hal yang sebaiknya dicerna ulang seperti berikut ini.

Konsep Sejahtera
Hal penting dalam memahami kesejahteraan adalah memutuskan arti kesejahteraan itu sendiri berdasarkan nilai pada diri masing-masing. Bukan karena tetangga kita memiliki rumah mewah atau mobil lebih banyak maka kita anggap tetangga kita lebih sejahtera. Bukan itu maknanya, melainkan model kesejahteraan seperti apa yang kita inginkan. Jadi, tidak perlu melihat orang lain.

Berikutnya, memastikan untuk apa semua uang dan harta yang sudah dan akan dimiliki nantinya. Jadi, ada tujuan dari harta itu. Bukan sekedar dikumpulkan sebanyak-banyaknya. Ini sekaligus menjelaskan bahwa kekayaan dalam makna kesejahteraan adalah ketika kita bisa menikmati dan mensyukuri kekayaan tersebut. Bukan kekayaan yang berlimpah karena utang berlimpah, misalnya. Atau dalam bentuk lain, harta dan kekayaan membuat kita menjadi berperilaku buruk, menjadi serakah atau menjadi kikir.

Jadi, kesimpulannya, definisikan dulu arti kesejahteraan secara seluas-luasnya. Termasuk, hubungan antara jumlah harta dan uang yang dipunyai atau diinginkan dengan kebahagiaan. Baru setelah itu bicara mengenai bagaimana mencapainya.

Mendapatkan Kesejahteraan
Untuk menjadi sejahtera sebagaimana ukuran yang telah diputuskan oleh masing-masing individu, kita terlebih dahulu harus mengetahui seberapa jauh jarak kita saat ini dengan tingkat kesejahteraan yang hendak dicapai. Sebagai contoh, dari sisi aset, saat ini kita menyewa rumah dan kita beranggapan, untuk sejahtera, setidaknya kita mesti mempunyai rumah sendiri. Maka, pertanyaan berikutnya adalah, rumah seperti apa yang mau kita miliki.

Lalu berapa lama dari sekarang rumah tersebut bisa dimiliki. Kemudian dari mana sumber pembiayaannya. Artinya, ada rencana yang jelas, terukur, baik dari sisi waktu maupun sumber dananya. Jadi, boleh-boleh saja kita mendambakan apa saja, tetapi tidak boleh menafikan rasionalitas. Jangan sampai kita terjebak pada kesejahteraan artifisial; mempunyai aset bersumber dari utang dan kemudian aset tersebut hilang kembali karena kita gagal melunasinya.

Kesejahteraan termasuk unsur kebahagiaan bukan sekedar untuk dicapai, sesuai ukuran masing-masing. Ketika kesejahteraan itu sudah tercapai, langkah berikutnya adalah bagaimana mempertahankan kesejahteraan tersebut.

Tetap Sejahtera
Ketika kekayaan meningkat, sebagian kalangan juga mengubah gaya hidup, pola pergaulan dan tingkat konsumsi. Perubahan itu, hakikatnya menjadikan biaya hidup semakin mahal. Oleh sebab itu, salah satu kunci paling mendasar untuk mempertahankan kesejahteraan adalah melalui kontrol terhadap perubahan gaya hidup. Dan itu dapat dijaga dengan kembali mengajukan pertanyaan, “Apa definisi kesejahteraan bagi saya?”

Secara konseptual, menjaga kesejahteraan bisa dilakukan dengan cara melakukan check up secara reguler terhadap kondisi keuangan dan kekayaan kita. Jika delta pengeluaran tiba-tiba menjadi lebih besar daripada delta pemasukan, sebaiknya kita harus waspada. Itu merupakan tanda bahwa ada sesuatu yang mulai keliru dalam pengelolaan kesejahteraan kita. Dan untuk mencegah permasalahan lebih lanjut, mulailah membelanjakan uang untuk hal-hal yang berkualitas. Bukan membeli barang-barang berharga murah tetapi daya gunanya rendah dan frekuensi pembeliannya bisa tinggi. Lebih jauh lagi, berhentilah melakukan pengeluaran – khususnya terhadap sesuatu yang bersifat keinginan – ketika pemasukan tidak mencukupi. Dengan lain perkataan, ketika kesejahteraan telah bersama kita, jangan menggunakan aset yang telah dipunyai untuk membiayai pengeluaran.

by: adrian

Sumber: Elvyn G Masassya, “Menafsirkan Kesejahteraan” dalam KOMPAS, 8 Juli 2012, hlm 18

Sekilas tentang Albigensianisme

SEKILAS TENTANG ALBIGENSIANISME
Albigensis adalah suatu sekte Kristen di abad XII-XIII yang menganut ajaran dualisme. Walaupun mereka menamakan dirinya sebagai Kristen, namun sebenarnya ajaran sekte ini sangatlah menyimpang dari ajaran Kristiani. Karena mereka tidak mempercayai adanya satu Tuhan Pencipta dan Pengatur segalanya, tetapi mereka mempercayai adanya dua tuhan, yang satu baik dan yang lain jahat. Maka Tuhan (allah yang baik) dan Iblis (allah yang jahat) sama-sama bertanggung jawab terhadap dunia ini. Dengan prinsip ini, maka mereka percaya bahwa segala yang berupa material di dunia, termasuk yang ada pada manusia (yaitu tubuh manusia) adalah hasil pekerjaan Iblis dan sepenuhnya adalah jahat. Maka manusia yang merupakan separuh ciptaan Tuhan, dan separuh ciptaan Iblis, perlu untuk diselamatkan. Sumber keselamatan ini bukanlah penjelmaan Tuhan Yesus ke dunia dan kurban salib-Nya tetapi pembebasan jiwa dari tubuh. Maka bagi para Albigensian, Kristus bukan Tuhan dan juga bukan manusia, tetapi semacam malaikat yang mengambil tempat sementara dalam tubuh manusia, dan sengsara dan wafat-Nya hanyalah ilusi.

Konsekuensi dari ajaran sesat Albigensian ini adalah sangat merusak, karena:
1. konsep keselamatan bagi mereka adalah ‘pembebasan dari tubuh’, bukannya penghapusan dosa oleh jasa Kristus dan anugerah hidup ilahi di dalam-Nya;
2) mereka membenci perkawinan, karena perkawinan memungkinkan terciptanya ‘tubuh’ yang baru
3) mereka mendukung homoseksualitas/ perkawinan sesama jenis;
4) mereka membenci kehamilan; wanita yang mengandung dianggap sebagai seorang yang dirasuki Iblis
5) mereka mendorong tindakan bunuh diri, karena menyebabkan seseorang terlepas dari ‘tubuh’

Di atas semua itu, dengan konsep merendahkan tubuh, mereka tidak menghargai Inkarnasi (Penjelmaan Allah menjadi manusia dalam diri manusia Yesus). Dan karena Penjelmaan Kristus merupakan salah satu inti Iman Kristiani, maka dapat dimengerti bahwa ajaran Albigensian/Kataris ini sungguh sangat menentang kebenaran iman Kristiani.

Para Albigensian ini beranggapan bahwa selama jiwa masih bersatu dengan tubuh maka masih ada kemungkinan ia jatuh dalam perangkap Iblis. Untuk mengatasi hal ini mereka mengadakan suatu ritus yang dinamakan Consolamentum, dan sesudah itu mereka disebut Perfect, dan terikat kewajiban-kewajiban yang sangat serius, dan tidak boleh diingkari, agar tidak lagi jatuh dalam bahaya perangkap Iblis.  Kewajiban ini misalnya, hidup selibat seumur hidup, puasa yang ketat (tidak boleh makan daging, telur, susu, mentega dan keju), tidak boleh terikat sumpah. Dari ketentuan ini mayoritas orang tidak dapat melaksanakannya. Mereka yang telah menerima Consolamentum ini banyak yang memilih untuk bunuh diri daripada menjalankan hidup seperti itu. Lagipula,  menurut mereka bunuh diri adalah tindakan yang sempurna bagi Albigensian yang sejati, yang merasa tidak mampu melaksanakan cara hidup yang disyaratkan.

Para Albigensian ini bertemu dalam ibadah secara teratur. Mereka membaca Alkitab, terutama Perjanjian Baru, yang telah mereka terjemahkan dalam bahasa setempat, dengan tafsiran-tafsirannya yang sangat anti Katolik. Mungkin kita bertanya-tanya mengapa sampai ajaran yang menyimpang ini sampai meluas dan diterima banyak orang? Pertama, karena mereka mempunyai banyak pengkhotbah yang mengkhotbahkan pengajaran ini ke mana-mana, sedangkan pada saat itu para imam Katolik tidak boleh berkhotbah. Kotbah adalah tugas para uskup. Maka mereka yang lahir dan dibesarkan secara Katolik lama-kelamaan berpikir bahwa itu memang ajaran Kristiani. Kedua, para Perfect itu memang hidup dengan sangat miskin, sedangkan pada saat itu para imam memang hidup dalam kelimpahan. Para Perfect banyak berderma, dan menggunakan uang sumbangan untuk mendukung industri bagi lapangan kerja para pemeluk sekte ini. Maka sedikit demi sedikit, sekte ini semakin berakar dalam kehidupan negara dan ekonomi.

Pengaruh yang ditimbulkan oleh sekte Albigenses
Konsili pertama yang membahas masalah heresi ini adalah Konsili Orleans tahun 1022, yang mengadili 13 orang imam. Heresi/bidat ini berkembang luas di Jerman, Italia Utara, Perancis Selatan, lalu juga ke Champagne, Languedoc (salah satu pusat Christendom yang penting) dan Milan, dan menyebar ke Burgundy, Picardy, Fladers, Perancis Tengah, Tuscany, khususnya, Florence, dan juga ke Roma, Italia Selatan, Sicily dan Sardinia.

Maka kemudian Albigenses ini (atau juga sering disebut Catharists) dikecam di banyak Konsili, yaitu di Tolouse (1119), Lateran II (1139), Rheims (1148), Tours (1163), dan Lateran III (1179). St. Bernardus dikirim untuk berkhotbah di daerah-daerah yang terpengaruh oleh heresi ini, namun baik kesucian maupun kefasihannya berkhotbah tidaklah membawa pengaruh yang besar. Di Perancis Selatan, gereja-gereja sudah tidak dikunjungi, sakramen ditinggalkan. Di Toulouse sekte ini malah menjadi agama resmi. Utusan Paus Alexander III diusir dan dihina, kecaman dari Konsili 1179, tidak digubris. Hampir semua provinsi Christendom yang penting telah menjadi anti-Katolik. Beberapa uskup dan imam Katolik juga mulai banyak yang terpengaruh oleh ajaran mereka.

Paus Innocent III dan reaksi dari pihak Gereja Katolik
Setelah Paus Innocentius III dipilih, ia memusatkan perhatian untuk menangani masalah yang terjadi di Languedoc. Dia menunjuk dua pertapa dari ordo pertapa Cistercian sebagai pembawa pesannya. Misi mereka adalah untuk mempengaruhi para pangeran, untuk mengusir para bidat dan menyita harta milik mereka, berdasarkan hukum pada tahun 1184. Keberhasilan usaha mereka terhitung kecil, baik untuk menanggulangi heresi maupun untuk mengusahakan reformasi bagi kehidupan para imam/clergy yang pada waktu itu banyak yang hidupnya tidak sesuai dengan panggilan hidup mereka. Maka pada tahun 1202, kedua pertapa ini digantikan oleh dua pertapa Cistercian lainnya, salah satunya bernama Peter de Castelnau dan Raoul. Castelnau ini seorang yang berani dan penuh semangat. Uskup Agung Languedoc diturunkan, karena menolak untuk bekerja sama, Uskup Toulouse diturunkan, karena kasus simoni, demikian juga dengan Uskup Beziers.

Pada tahun 1205 maka propaganda anti Catharist/Albigensian mencapai puncaknya, melalui pengajaran, khotbah, pamflet, dsb, yang diarahkan oleh disiplin religius yang terbaik. Para utusan Paus juga mengajarkan tentang iman supaya umat Katolik tidak ragu tentang iman mereka dan kesungguhan Bapa Paus untuk mengoreksi kehidupan para imam/clergy. Namun demikian, misi inipun tidak berakibat banyak. Pangeran Touluose tetap menolak bekerja sama.

Kemudian Bapa Paus memperoleh bantuan dari Diego (uskup Osma) dan Dominikus. Mereka membentuk tim tujuhpuluh dua murid, yang seperti dalam Injil. Mereka hidup dalam kemiskinan, dan berkhotbah dan terbagi-bagi dalam kelompok kecil, berdialog dengan para bidat. Pada tahun 1206-1207 mulailah terjadi pertobatan, dan sebagaian dari para heretik itu kembali ke pangkuan Gereja Katolik. Tahun 1207 seluruh Waldensian kembali, dan Paus Innocentius III mengizinkan mereka hidup sesuai dengan kaul kemiskinan  mereka dalam satu order religius yang bernama Poor Catholics (Kaum Katolik yang miskin).

Setelah 10 tahun misi ini, Castelnau kembali ke Toulouse untuk berdialog dengan Pangeran Raymond VI, agar ia mau bekerja sama. Sudah dua kali Pangeran Raymond berjanji mau bekerja sama, namun kemudian ia berubah pikiran dan menolak secara resmi. Maka Castelnau memberi sangsi ekskomunikasi dan memberi interdict/pemotongan hak dan fungsi pada daerah kekuasaannya. Namun, tiga bulan kemudian, 15 Jan 1208, Peter de Castelnau dibunuh oleh salah seorang sersan kerajaan Toulouse. Pangeran Toulouse secara umum bertanggungjawab atas hal ini. Kematian Castelnau ini mengakhiri misi khotbah dari kaum Cistercian dan digantikan oleh perang. Pembunuh Castelnau diekskomunikasi, dan keputusan atas Pangeran Raymond diperbaharui. Hak-haknya sebagai pemimpin daerah dicabut, sekutu-sekutunya dibebaskan dari perjanjian. Paus Innocentius III menyatakan perang / crusade selama 40 hari untuk mengalahkan para heretik, memberikan indulgensi kepada para prajurit, seperti yang diberikan kepada prajurit di Holy Land. [Walaupun perang selalu pada dasarnya kejam dan tidak kudus, tetapi untuk alasan membela kebenaran iman ini, maka disebut perang kudus/crusade]. Pada tahun 1209, pasukan dari 200,000 siap mengepung Toulouse.

Pangeran Raymond VI, akhirnya menyerah (18 Juni 1209), dan tunduk pada hukuman dera di hadapan publik di St. Gilles, berjanji untuk mengalahkan para heretik. Setelah itu pasukan sampai di Valence dan ia bergabung dengan mereka. Pada bulan Agustus kedua pusat heretik dikalahkan yaitu Beziers dan Carcassone. Sayangnya kemenangan di Beziers ditandai juga dengan pembunuhan massal, yang tidak hanya mencakup pasukan kota, tapi juga beribu penduduk sipil. Di sinilah terdengar seruan yang mengerikan di Beziers: “Bunuh saja semua, Tuhan akan mengetahui siapa milik-Nya.” Salah satu pemimpinnya yaitu Simon de Monfort, yang kemudian menjadi penguasa atas Bezier dan Carcassone. Selama tahun-tahun ke depan dia berjuang melawan Pangeran Raymond, mereka yang tergantung padanya, dan raja Aragon, Peter II yang mempunyai kuasa di atas Pangeran Raymond.

Sejak saat itu perang melawan Albigenses juga tercampur dengan motif-motif lainnya, termasuk persaingan politik. Pangeran Raymond sendiri tidak pernah memberikan sikap yang jelas, karena ia tidak mau menyerahkan para bidat. Maka utusan Paus kembali memberikan sanksi ekskomunikasi kepada Raymond, dan interdict. Pangeran Raymond naik banding kepada Paus Innocentius, yang kemudian mencabut interdict tersebut. Tiga bulan kemudian diadakan Konsili untuk membahas pelanggaran Raymond ini (1210) dan Raymond tidak mengindahkan apapun kewajiban yang sudah dijanjikannya di bawah sumpah. Dia tidak membubarkan pasukannya, dan  terus mendukung para bidat/ heretik. Paus Innocentius kembali memberi peringatan, dan kembali mengingatkannya untuk bekerja sama. Kembali Konsili diadakan untuk membahas apa yang telah dilakukan Pengeran Raymond (Des 1210, Jan 1211, Feb 1211). Beberapa pelanggaran dilakukannya, dan akhirnya, diputuskan oleh Paus bahwa Pangeran Raymond diekskomunikasi, dan dikatakan sebagai musuh Gereja.

Selanjutnya, Simon de Montfort sedikit demi sedikit menaklukkan tempat- tempat heretik tersebut. Lavaur jatuh ke tangan pasukan crusaders, yang menang atas daerah itu dengan membunuh penduduk di sana, setelah mendengar bahwa pasukan merekapun sebanyak 6000 orang telah dibantai pihak heretik. Paus Innocent III berusaha melerai pertengkaran tersebut, namun tak berdaya karena terjepit oleh kesaksian-kesaksian kedua belah pihak yang saling menjatuhkan. Peter II Raja Aragon yang adalah ayah mertua Raymond berusaha memperoleh ampun bagi menantunya, namun tak berhasil. Sementara itu Paus Innocentius akhirnya menjadi yakin atas pelanggaran dan penipuan dari Pangeran Raymond, dan trik-trik dari Peter, Raja Aragon. Terjadilah pertempuran antara Raja Peter II dengan Simon de Montfort, yang berakhir dengan kematian Raja Peter II (1213). Maka, seluruh daerah kekuasaan Raymond jatuh ke tangan Simon de Montfort, kecuali Toulouse. Namun Paus Innocent III mengakui de Monfort hanya sebagai administrator daerah-daerah ini. Pada saat Konsili Montpelier 1215 diadakan, Simon de Montfort diakui sebagai Pangeran Toulouse, dengan catatan pemberian hak-hak yang khusus kepada Raymond dan keturunannya. Setelah diberitahukan kepada Paus Innocentius III bahwa itu adalah satu-satunya cara untuk menumpas heresi, akhirnya menyetujui pilihan itu. Setelah 7 tahun lamanya dari pertempuran, pembantaian yang tidak dapat dikatakan disebabkan karena kesalahan satu pihak saja, hambatan terbesar untuk menumpas heresi Albigensian (Neo- Manicheaeism) akhirnya teratasi, walaupun selanjutnya masih terdapat sisa- sisa pengaruhnya.

Setelah Simon de Montfort wafat, puteranya Amalric naik tahta, mewarisi hak-hak ayahnya. Namun kemudian terjadilah pertempuran-pertempuran di wilayahnya hingga akhirnya ia dan Raymond VII menyerahkan daerah kekuasaan mereka kepada Raja Perancis. Sementara ini Konsili Toulouse (1229) mempercayakan kepada Inkuisisi (Inqusition) ke tangan para biarawan Dominikan, dengan tujuan untuk mengakhiri heresi Albigensianisme. Heresi ini akhirnya berakhir di akhir abad ke- 14.

St. Dominikus dan St. Fransiskus
Mari di sini kita melihat juga peran kedua orang kudus yang hidup pada jaman itu, yaitu St. Dominikus dan St. Fransiskus. Pertempuran itu tidak menghentikan kampanye khotbah dan diskusi. Uskup Diego pensiun, dan kini Dominikus Guzman mengambil peran aktif. Ia beserta timnya mulai diakui sebagai pengkhotbah resmi. Desember 1216, ordo Dominikan diakui oleh Paus Honorius III dengan tugas khusus untuk berkhotbah. Ordo ini bertujuan untuk melatih para penerus rasul untuk memerangi heresi dengan pemikiran/ ajaran dan kehidupan asketik. Kehidupan biara diisi dengan proses mempelajari Kitab Suci dan membahas pertanyaan-pertanyaan Teologis. Dari ordo inilah muncul Peter Lombard dan St. Thomas Aquinas. Di sinilah kita mengetahui bagaimana Tuhan memakai kejadian yang kisruh di abad pertengahan tersebut, untuk kemudian melahirkan pengajaran Gereja Katolik yang lebih sistematis, dan berakar pada Alkitab, sehingga dapat lebih mudah diajarkan kepada umat. Dengan memahami ajaran ini, maka umat Katolik diharapkan untuk lebih memahami imannya tidak mudah terbawa oleh arus pemahaman heretik yang tidak mempunyai dasar yang kuat, sehingga kontradiktif di dalam banyak hal.

Demikian pula, St. Fransiskus adalah seorang kudus yang lahir pada jaman itu (1182) untuk memberi teladan kehidupan membiara yang memegang kaul kemiskinan, berlawanan dengan kehidupan berlebihan para clergy pada saat itu. Dengan demikian teladan hidupnya menjadi contoh hidup para religius, dan dengan caranya sendiri ia berperan untuk memurnikan makna panggilan hidup membiara. St. Fransiskus berasal dari keluarga yang kaya dan ternama, namun ia meninggalkan segalanya demi maksud membangun Gereja. Ia mendirikan ordo para bruder yang hidup dalam kaul kemiskinan dan mengkhotbahkan pertobatan. Ordo ini berkembang pesat, dan membangkitkan kembali Gereja Katolik dari dalam.

Melalui kedua orang kudus ini, St. Dominikus dan dan St. Fransiskus dari Asisi, Tuhan memenuhi janjinya,  “di mana dosa bertambah banyak, di sana kasih karunia menjadi berlimpah-limpah.” (Rom 5:20) Artinya, biar bagaimanapun kuasa Tuhan lebih besar daripada kuasa Iblis; dan Tuhan dapat memakai kejadian seburuk apapun untuk mendatangkan kebaikan kepada mereka yang mengasihi Dia (lih. Rom 8:28), dan janji ini digenapi-Nya di dalam Gereja-Nya.

Kesimpulan
Sebenarnya Albigensianisme bukanlah heresi Kristiani tetapi sebuah agama yang di luar Kristen. Setelah upaya persuasif gagal, pihak otoritas Gereja menerapkan represi dengan kekerasan, yang seringnya menjurus ke arah berlebihan dan ini sangat disayangkan. Simon de Montfort bermaksud baik pada mulanya, namun akhirnya menggunakan nama agama untuk merebut wilayah kekuasaan Pangeran Toulouse. Memang harus diakui bahwa hukuman mati terlalu banyak diberikan kepada para pengikut sekte Albigensianisme ini, namun harus pula kita pahami bahwa hukuman mati pada jaman itu memang lebih keras diberikan daripada pada jaman sekarang, dan seringkali dipicu oleh suatu pelanggaran yang berlebihan. Pangeran Raymond VI dan VII seringnya menjanjikan akan bekerja sama menumpas heresi, tetapi tidak pernah benar- benar melaksanakannya. Paus Innocent III benar ketika mengatakan bahwa ajaran sesat Albigensianisme merupakan sesuatu heresi yang lebih buruk daripada kaum Saracens. Paus selalu mengusahakan jalan tengah, walau sering tak berhasil, dan iapun sebenarnya tak pernah menyetujui kebijaksanaan yang egois dari Simon de Montfort. Yang diperangi oleh Gereja pada saat itu, bukan saja keruntuhan agama Kristen, tetapi juga kepunahan umat manusia, karena ajaran Albigensianisme yang mendorong ‘culture of death‘/ budaya kematian, dengan membenci tubuh, membenci perkawinan dan mendorong bunuh diri dari para anggotanya.
Bahwa sesudah saat itu diadakan Konsili di Toulouse 1229 yang melarang orang Katolik membaca Alkitab, itu adalah suatu larangan yang bersifat sementara, karena pada saat itu banyak beredar terjemahan Kitab Suci dengan tafsiran- tafsiran yang menyimpang sesuai dengan ajaran Albigensian. Hal ini sudah pernah dibahas di artikel ini, http://katolisitas.org/2009/05/30/konsili-valencia-orang-katolik-dilarang-membaca-alkitab/.
Maka jelaslah sudah duduk masalahnya. Gereja Katolik tidak melarang umatnya membaca Alkitab, hanya memang pada suatu periode tertentu sekitar tahun 1229, memang terjadi kondisi khusus sehubungan dengan adanya penyelewengan teks Kitab Suci yang dilakukan oleh sebuah sekte sesat (Albigensian) pada saat itu. Maka larangan untuk membaca Alkitab pada saat itu merupakan tindakan gembala untuk menyelamatkan kawanan dombanya. Sebab pengalaman telah menunjukkan bahwa tanpa bimbingan Gereja maka penafsiran Alkitab dapat berakhir dengan interpretasi yang malah bertentangan dengan iman Kristen.
Selanjutnya, terutama melalui Konsili Vatikan ke II, Dei Verbum 25,  kita mengetahui bahwa kita sebagai umat beriman dianjurkan untuk membaca Alkitab, terutama para imam dan pengajar iman seperti para katekis. Namun demikian, pembacaannya harus didahului dengan doa sehingga kita dapat mendengar Dia (Tuhan) sendiri lewat ayat-ayat ilahi yang kita baca.
Demikianlah Kusno, yang dapat saya tuliskan tentang pertanyaan anda. Mari kita melihat fakta sejarah dengan sikap obyektif. Bahwa memang terdapat kesalahan- kesalahan dari kedua belah pihak, namun selalu ada alasannya, mengapa sampai demikian. Albigenses atau Catharist adalah ajaran Neo- Manichaeism (versi baru dari Manichaeism yang adalah aliran sesat pada jaman St. Agustinus sekitar abad ke-4) yang sangat tidak Kristiani, maka mereka bukannya menawarkan ‘doktrin reformed’, karena prinsip ajaran mereka malah sungguh menyimpang.  Saya sebagai umat Katolik, sepenuhnya bisa memahami keputusan pihak otoritas Gereja Katolik saat itu, dalam rangka mempertahankan kemurnian pengajaran iman Kristiani yang sesuai dengan pengajaran para rasul, walaupun juga menyesalkan adanya keadaan kekerasan yang melewati batas. Agaknya memang keadaan pada saat itu sangatlah rumit, dan Paus Innocentius III sungguh menghadapi pilihan yang sangat sulit. Tetapi, tanpa kegigihannya mengakhiri heresi Albigensian, mungkin tak banyak bangsa yang bertahan hidup sampai sekarang, bukan karena perang, tetapi karena dengan sendirinya membenci kehidupan dan mengakhiri kehidupan mereka sendiri dengan bunuh diri. Dengan mempelajari sejarah Gereja kita akan semakin disadarkan akan kelemahan kita sebagai manusia, namun juga kita mengagumi akan campur tangan Tuhan yang menjaga keberadaan Gereja-Nya yang diterpa badai tak hanya dari luar tetapi dari dalam tubuhnya sendiri. Namun janji Tuhan YESUS kepada Rasul Petrus selalu digenapinya, dan KRISTUS tak akan membiarkan Gereja-Nya runtuh, sebab Ia berjanji, “alam maut tidak akan menguasainya.” (Mat 16:18)

Sumber: http://forumkristen.com/index.php?topic=44008.0 (dikutip 3 Agustus 2012 jam 22:31)

editor: adrian

Orang Kudus 8 Agustus: St. Dominikus

SANTO DOMINIKUS, PENGAKU IMAN
Dominikus lahir pada tahun 1170 di Calaruega, Spanyol. Orang tuanya, Don Felix de Guzman dari Aza dikenal sebagai bangsawan kristen yang saleh dan taat agama. Joana, ibunya, kemudian dinyatakan Gereja sebagai “beata”; kakaknya, Mannes dan Antonio mencurahkan hidupnya bagi Tuhan dan Gereja sebagai imam; dua orang keponakannya menjadi imam dalam ordo religius yang didirikannya, Ordo Dominikan. Mannes kemudian digelari “beato” karena kesucian hidupnya dan pengabdiannya yang tulus bagi Tuhan dan Gereja.

Masa kecil dan mudanya ditandai dengan kesucian dan semangat belajar yang tinggi. Pendidikan awalnya ditangani langsung oleh pamannya yang sudah menjadi imam. Dominikus kemudian melanjutkan studinya di Sekolah Katedral Palencia. Pada umur 24 tahun ia masuk biara di Osma dan tak lama kemudian ditahbiskan menjadi imam. Karier imamatnya dimulai di Osma didukung oleh doa kontemplatif yang sungguh mendalam. Doa kontemplatif ini yang melahirkan cinta yang tulus kepada umatnya.

Karya apostoliknya dimulai sejak tahun 1203 ketika aliran bidaah Albigensianisme melancarkan serangan terhadap kebenaran iman Gereja. Waktu itu, Dominikus bersama uskupnya, Diego d’Azevido sedang dalam perjalanan ke Denmark untuk melaksanakan suatu misi diplomatik bagi Raja Alfonso IX (1188 – 1230).

Albigensianisme, yang lahir pada awal abad ke-13 di kota Albi, Perancis Selatan ini, merongrong ajaran iman yang benar. Aliran ini mengajarkan bahwa segala yang jasmani itu jahat. Ajaran Gereja tentang Tritunggal Mahakudus, peristiwa penjelmaan dan penebusan umat manusia dalam Pribadi Yesus Kristus diingkarinya; juga semua sakramen, ibadat dan apa saja yang merupakan ungkapan iman Gereja ditolak. Karena sangat fanatik, para penganut aliran sesat ini tanpa segan merusak gereja-gereja dan biara, menghancurkan gambar-gambar kudus dan salib. Segala hubungan antara Gereja dan negara ditiadakan. Mereka sangat trampil dalam menebarkan ajarannya sehingga menarik begitu banyak umat menjadi pengikut. Terdorong oleh desakan batin untuk memberantas pengaruh jahat aliran sesat itu, Dominikus mendapat ilham untuk mendirikan sebuah tarekat religius yang lebih memusatkan perhatian pada soal pewartaan Sabda. Ordo religius Dominikus ini kemudian lazim dikenal dengan nama Ordo Praedicatorium atau ordo para pengkotbah.

Pada pertengahan musim panas tahun 1206, seusai urusan diplomatik di Denmark dan kunjungan ke Roma, Dominikus bersama Uskup Diego kembali ke Spanyol. Di Montpellier, Perancis Selatan, mereka bertemu dengan para pengkotbah utusan paus yang mulai putus asa dalam mengemban tugas memberantas pengaruh ajaran sesat Albigensianisme. Mereka berniat meninggalkan hidup biaranya karena gagal dalam tugas pewartaannya. Banyak faktor membuat mereka gagal: para bangsawan yang merupakan orang kepercayaan masyarakat sudah mengikuti ajaran sesat itu; jumlah imam sangat sedikit dan tidak disiapkan dengan baik dalam hal cara mewartakan Injil, padahal para pewarta ajaran sesat itu sangat trampil dalam menyebarkan ajarannya; faktor kegagalan yang lain datang dari kalangan uskup Perancis Selatan itu sendiri. Mereka acuh tak acuh terhadap bahaya yang menggoncang ajaran iman yang benar, dan lebih getol dengan hal-hal duniawi.

Menghadapi keputusasaan para utusan paus itu, Uskup Diego dan Dominikus menasehati mereka untuk terus mewartakan Injil Kristus meskipun banyak rintangannya. Mereka dinasehati agar meniru teladan para Rasul dalam pewartaan Injil: memasuki pelosok-pelosok dengan berjalan kaki tanpa membawa uang dan makanan, dan bergaul rapat dengan rakyat yang sudah sesat. Diego dan Dominikus dengan setia menemani mereka dalam kegiatan pewartaan itu. Hasil yang dicapai cukup lumayan, meskipun masih ada juga kegagalan. Uskup Diego dan Dominikus serta Uskup Fulk dari Toulouse, Perancis Utara terus menerus mendampingi para pewarta dalam perjuangan besar memberantas pengaruh jahat Albigensianisme.

Pada tahun 1214, Dominikus mendiskusikan bersama rekan-rekannya rencana mendirikan sebuah tarekat religius. Rencana ini didukung dan mulai dilaksanakan tahun berikutnya bersamaan dengan pemberian hadiah sebuah rumah besar oleh Petrus Seila dari Toulouse. Uskup Fulk memberi restunya.

Pandangan hidup yang dianut Ordo Dominikan, yang dikenal dengan nama Ordo Preadicatorium atau ordo para pengkotbah ini merupakan sesuatu yang belum dikenal pada masa itu. Dominikus menggabungkan corak hidup kontemplatif dengan kehidupan aktif: mewartakan Injil di luar biara, kerja tangan untuk memenuhi kebutuhan hidup, belajar dan lain-lain. Misinya sungguh-sungguh merupakan sesuatu yang baru karena pada masa itu hal pewartaan adalah tugas khas para uskup. Dengan kekhasan itu, Dominikus bermaksud memberikan Gereja suatu ordo religius imam yang berbobot dan handal.

Restu atas berdirinya Ordo Dominikan ini diperoleh ketika Dominikus bersama Uskup Fulk mengikuti Konsili Lateran IV di Roma pada tahun 1215. Paus Innocentius III (1198 – 1216) berjanji meneguhkan ordo itu apabila Dominikus sudah memiliki suatu aturan hidup membiara yang terbukti ampuh dan sebuah gereja sebagai tempat perayaan misa kudus dan upacara lainnya. Kedua tuntutan paus itu akhirnya terpenuhi. Dominikus bersama rekan-rekannya sepakat memilih aturan hidup Santo Agustinus dan menyusun konstitusi ordo mereka. Uskup Fulk mempercayakan gereja Santo Romanus di Toulouse kepada Dominikus. Di samping gereja itu Dominikus mendirikan rumah biaranya yang pertama.

Kekhasan Ordo Dominikan ini diperkuat oleh suatu pengalaman mistik. Ketika berdoa di Basilik Santo Petrus di Roma, Dominikus mengalami penglihatan berikut: Santo Petrus dan Paulus mendatangi Dominikus. Petrus menyerahkan kepadanya sebuah kunci dan Paulus memberinya sebuah buku. Kepadanya Petrus dan Paulus berkata, “Pergilah dan wartakanlah Injil, karena engkau telah ditentukan Allah untuk misi pelayanan itu.” Kecuali itu, dalam penglihatan itu pun Dominikus menyaksikan para imamnya mewartakan Injil ke seluruh dunia.

Di Perancis Selatan sendiri karya pewartaan itu sulit sekali dilaksanakan karena kerusuhan politik dan militer. Karena itu, Dominikus memutuskan untuk mewartakan Injil di wilayah Eropa lainnya seperti Spanyol dan Paris sambil tetap menggalakkan pewartaan di Toulouse dan Prouille. Dari wilayah-wilayah itu Dominikus mulai melancarkan misi universal ordonya ke berbagai daerah.

Untuk mempertegas ciri khas ordonya, Dominikus mengundang imam-imamnya untuk membicarakan berbagai hal penting seperti pendidikan para imam Dominikan, kegiatan pewartaan, kepemimpinan ordo dan penghayatan kaul kemiskinan. Oleh imam-imamnya, Dominikus sendiri diangkat sebagai pemimpin ordo pertama. Ia pun diangkat sebagai pemimpin misi kepausan di Lombardia tatkala umat di wilayah itu diresahkan oleh ajaran-ajaran sesat. Bersama Kardinal Egolino, Dominikus melancarkan perlawanan gencar terhadap berbagai ajaran sesat. Pekerjaan di Lombardia sangat menguras tenaganya.

Dominikus meninggal dunia di Bologna pada 6 Agustus 1221 setelah menderita sakit keras. Kesucian Dominikus sungguh luar biasa. Ia seorang pendoa yang merasakan benar makna kehadiran Allah. Tentang dirinya, rekan-rekannya berkata, “Ia terus berbicara dengan Tuhan dan tentang Tuhan; siang hari ia bekerja bagi sesama dan malam hari ia berkontak dengan Tuhan.” Sebelum meninggal ia berpesan, “Tetaplah penuh dalam cinta kasih dan kerendahan hati dan jangan tinggalkan kemiskinan!”

Sumber: Orang Kudus Sepanjang Tahun

Renungan Hari Rabu Biasa XVIII - Thn II

Renungan Hari Rabu Pekan Biasa XVIII B/II
Bac I : Yer. 31: 1 – 7; Injil       Mat 15: 21 – 28

Injil hari ini berkisah tentang penyembuhan atas seorang anak perempuan yang kerasukan setan. Dampak dari kerasukan itu adalah penderitaan yang amat sangat. Ibu anak itu sangat mencintai putrinya. Maka ia mulai mencari pertolongan. Sepertinya ia sudah mengenal siapa itu Yesus dan tahu bahwa Yesus dapat menyembuhkan putrinya. Pada Yesus ada kesembuhan. Karena itu, ia pun datang kepada Yesus.

Kisah ini menjadi menarik jika kita tahu siapa ibu yang meminta kesembuhan putrinya. Ia adalah orang Kanaan. Orang Kanaan tidak termasuk ke dalam dua belas suku bangsa Israel. Merek orang luar; bukan Yahudi. Dengan kata lain, kasarnya, mereka adalah orang kafir. Tapi orang kafir ini datang kepada Yesus mohon belas kasihan-Nya untuk putrinya. Ia datang bukan asal datang begitu saja, melainkan datang dengan iman. Iman itulah yang dipuji Yesus. Dan dengan iman itu juga anak perempuannya sembuh.

Apa yang mau disampaikan Tuhan lewat sabda-Nya ini? Ada dua hal yang dapat kita renungkan dan kita hayati dalam kehidupan kita. Pertama, tirulah ibu Kanaan itu. Ia datang kepada Yesus bukan hanya membawa harapan saja, tetapi juga iman. Dalam kehidupan kita tentu pernah mengalami masalah atau persoalan hidup. Sabda Tuhan hari ini mengajak kita untuk datang kepada Yesus, karena pada-Nya ada keselamatan. Namun seperti wanita Kanaan itu, hendaknya kita datang dengan membawa iman. Kita serahkan permasalahan hidup kita kepada Yesus dan percaya Dia akan menyelesaikannya.

Kedua, belas kasih Allah melampaui batas. Dalam Injil Yesus menunjukkan kepada para murid-Nya bahwa belas kasih Allah bukan hanya monopoli orang Israel saja, melainkan terbuka pada siapa saja yang percaya. Pada kesempatan ini sabda Tuhan mau mengatakan kepada kita bahwa rahmat dan belas kasih Yesus dapat dirasakan oleh siapa saja, meski bukan kristen. Rahmat dan belas kasih Yesus melampaui batas suku, ras, agama dan golongan. Kuncinya ada pada iman kepercayaan.

Pada poin kedua ini Tuhan menghendaki agar kita tidak membangun semangat fanatisme dengan menjelekkan dan menghina sesama. Tuhan justru meminta kita untuk dapat saling menghormati dan saling menghargai. Tuhan tidak mau kita menjadi penghalang bagi rahmat dan belas kasih-Nya untuk sesama. Dan Tuhan mau agar kita meniru teladan-Nya: berbuat baik kepada siapa saja tanpa kenal batas atau sekat.

by: adrian