Minggu, 13 Oktober 2013

(Sharing Iman) Rindu pada Bunda Maria

Aku Ingin Melihat Bunda Allah


oleh Pater Winfried Schneiderhahn, OSB
Fatuma adalah seorang gadis kecil Afrika. Orangtua dan hampir seluruh penduduk sedesanya adalah orang Islam. Meskipun demikian, dia bersama beberapa anak lain pergi ke sekolah misi yang terdapat di Luagala.

Fatuma, disebut juga Fatima, adalah nama yang populer di antara kaum Ismail, karena itu ialah nama puteri Muhammad.

Meskipun Fatuma hanya berumur 5 tahun, dia suka mendengar cerita-cerita yang diberikan oleh para misionaris di kelas agama.

Suatu hari saya bertemu dia di depan gereja. “Apa yang kamu inginkan di sini, Fatuma?” tanya saya.

“Bapa, saya ingin melihat Mama Wa Mungo, Bunda Allah,”  katanya.

“Ya, masuk saja ke gereja!”

“Saya tidak dibolehkan berjalan ke sana, Bapa. Orang tua saya melarang saya. Tetapi saya ingin sekali melihat Mama yang mulia.”

“Kalau kamu tidak boleh jalan ke dalam, saya akan menggendong kamu.”

Gambar yang berada di altar adalah gambar Maria Hitam. Selama dia melihat ke arah gambar Bunda Terberkati, saya bilang bagaimana Mama Wa Mungo mencintai semua orang dan ingin membawa mereka ke surga. “Dan kamu juga, Fatuma,” tambah saya. “Tapi kamu harus selalu sangat mencintai-Nya.”

Beberapa hari kemudian saya mendengar bahwa Fatuma sakit. Saya melihat dia di dalam gubuknya yang kecil yang beralaskan tanah. Saya melihat keadaannya menyedihkan. Dia menderita sakit panas yang berbahaya yang cepat merusak jantung dan ginjal. Maka saya menganjurkan orang tuanya untuk membawa anak yang sakit itu ke rumah sakit misi yang besar di Ndanda.

Suster Tekla, yang adalah dokter misi, menerima dia dengan penuh perhatian dan segera mengasihinya. Fatuma menanyakan suster untuk menceritakan padanya Mama Wa Mungo. Suster itu menceritakan dan juga mengajar tentang kebenaran-kebenaran utama dari iman.

Karena penyakitnya dianggap tak tersembuhkan, maka akhirnya Fatuma meminta dibaptis. Orang tuanya yang Islam, yang seharusnya tidak boleh tahu mengenai Pembaptisan Fatuma itu, membawa dia dalam keadaan parah kembali ke rumah.

Sewaktu saya mendengarnya, saya mengunjungi dia. Dia sangat gembira. Dengan dalih ingin minum air dia mengeluarkan ibunya dari gubuk untuk beberapa saat dan kemudian dia bercerita dengan mata bersinar: “Bapa, saya sudah dibaptis. Nama saya Maria, seperti nama Bunda Allah. Saya sangat berbahagia sebentar lagi saya akan bersama dengannya di surga.”

Hari berikutnya tanggal 15 Agustus, Pesta Maria Diangkat Ke Surga. Mendekati jam 3 sore, terdengarlah suara lonceng tanda kematian, sebagai tanda bahwa Fatuma kecil sudah meninggal. Saya pergi mengunjungi ibunya yang berduka cita dan menyatakan simpati kepadanya.

“Bapa,” katanya, “Kematian Fatuma kecilku adalah luar biasa. Dia berada di pangkuanku dan dia melihat di sudut langit-langit dan berkata: “Ibu, lihat! Apakah bintang terang di atas itu?”

“Itu bukan bintang, melainkan cahaya siang hari. Kamu hanya melihat lubang kecil di atap jerami,” kata ibunya.

“Ya ibu, itu sebuah bintang. Dan bintang itu bertambah besar dan terang. Itu Suster Tekla! Oh, bukan, dia adalah ... !”

“Kemudian wajahnya bergembira dan berseri-seri serta memanggil, ‘Mama, saya datang!’, mengangguk lalu meninggal. Bapa, saya tidak dapat menerangkan semuanya itu.”

Ibu itu menyelesaikan ceritanya. Saya sendiri menjadi yakin bahwa Bunda Allah telah membawa si kecilnya yang manis ke surga yang semenjak dibaptis menyandang nama tempat penampakan (Fatuma / Fatima) dan kemudian nama Sang Bunda Allah.

Saya sudah sering memanggil nama anak itu di saat perlu dan telah dibantu. Saya meyakini karena perantaraannya, di hari Natal berikutnya, 800 anak menghadiri Misa Kudus, meskipun orang tua yang Islam sangat jarang memperbolehkan anak-anak mereka pergi ke gereja.

kisah Fatuma, dikutip dari Indonesian Papist
Baca juga sharing lainnya:

Orang Kudus 13 Oktober: St Eduardus

Santo eduardus, raja inggris & pengaku iman
Eduardus lahir di Islip Oxford, sebuah kota terkenal di Inggris kira-kira pada tahun 1004. Ayahnya, Ethelred, terhitung sebagai salah satu Raja Inggris yang tersohor namanya, sedang ibunya, Emma, adalah Ratu Normandia, Perancis Barat. Semenjak kecil ia dididik di sekolah biara. Oleh pendidikan para biarawan itu ia berkembang menjadi seorang putera raja yang berhati mulia, berbakti kepada Allah dan sesama, terutama rakyat kecil. Ketika berusia 10 tahun ia lari ke tanah air ibunya karena percobaan pembunuhan atas dirinya oleh Bangsa Denmark yang menyerang Inggris. Di sana ia tinggal bersama pamannya, seorang panglima di Normandia, Perancis Barat. Di Normandia ia tetap hidup suci dan menunjukkan sikap hidup yang terpuji di tengah-tengah segala kejahatan bangsa Normandia. Sebuah ungkapannya yang terkenal ialah, “Lebih baik saya kehilangan kerajaan daripada memperolehnya dengan darah dan pembunuhan.”

Sepeninggal saudaranya Hardecanute, Eduardus terpilih mengganti sebagai raja pada tahun 1042. Sebetulnya ia sendiri tidak suka menjadi raja, tetapi rakyat sangat mencintainya dan mendesak dia menjadi raja. Ia menerima jabatan itu dengan penuh pengorbanan dan tanggung jawab. Sebagai raja ia berusaha keras meniadakan semua kesan permusuhan, memperhatikan nasib kaum miskin dan rakyat kecil dan membantu perkembangan Gereja. Untuk menyemarakkan lagi penghayatan iman umat ia merombak semua kuil menjadi gereja bagi upacara-upacara suci. Walaupun ia mempunyai istri, namun ia hidup penuh pantang bersama Edith isterinya. Perhatiannya kepada para miskin begitu besar sehingga ia dijuluki ‘Bapa Kaum Miskin.’

Dalam Gereja ia dikenal sangat berjasa. Ia mendirikan banyak gereja dan berusaha meningkatkan semangat iman umat. Ia sendiri mengikuti kurban misa meskipun banyak kesibukannya. Ia mendirikan biara Westminster. Orang menjuluki dia ‘The Confessor’ artinya ‘Pengaku iman.’ Ia sangat membantu Gereja dalam menyebarkan ajaran kristen. Ia wafat pada tanggal 13 Oktober 1066. Tahun 1677 ia dinyatakan sebagai ‘santo’; dua tahun kemudian jenasahnya dipindahkan ke biara Westminster oleh Santo Thomas Becket.

sumber: Orang Kudus Sepanjang Tahun

Renungan Hari Minggu Biasa XXVIII-C

Renungan Hari Minggu Biasa XXVIII, Thn C/I
Bac I   : 2Raj 5: 14 – 17;  Bac II :  2Tim 2: 8 – 13;
Injil     : Luk 17: 11 19

Bacaan pertama dan Injil hari ini berkisah tentang orang kusta. Dalam bacaan pertama ada Naaman, orang Syria; dan dalam Injil ada sepuluh orang kusta, namun yang menjadi sorotan adalah orang Samaria. Semua orang kusta dalam bacaan ini mengalami kesembuhan karena kuasa Allah. Atas kesembuhan itu, baik Naaman dan orang Samaria itu menghaturkan syukur dan terima kasih. Dalam bacaan pertama, Nabi Elisa mengarahkan Naaman untuk menghaturkan syukur dan terima kasih itu kepada Allah, bukan dirinya.

Dalam bacaan kedua, Paulus mengungkapkan bahwa seluruh hidupnya hanya terarah kepada Allah. Semuanya demi kemuliaan Allah, sekalipun untuk itu ia mengalami penderitaan. Paulus dengan sabar melayani umat Allah, orang-orang pilihan Allah, agar mereka pun mendapatkan keselamatan dalam Yesus Kristus.

Sabda Tuhan hari ini memberikan pelajaran menarik buat kita. Salah satunya adalah soal pujian dan syukur hanya kepada Tuhan. Tak jarang dalam kehidupan ini kita selalu merasa bahwa “keselamatan” orang itu berkat usaha saya. Seringkali kita membuat orang tergantung pada kita, padahal semuanya itu berkat kuasa dan kemurahan Tuhan. Lewat sabda-Nya hari ini Tuhan menghendaki kita untuk membangun sikap rendah hati dengan mengambil posisi sebagai pelayan. Kita diajak untuk melihat bahwa kebaikan dan rahmat yang kita terima itu semuanya berasal dari Allah. karena itu, kita diajak juga untuk senantiasa menghaturkan syukur dan terima kasih pada-Nya.

by: adrian