Rabu, 01 Januari 2020

WISATA HALAL, PENGHINAAN AGAMA DAN INTOLERANSI


Mendengar kata “halal” umumnya orang langsung mengasosiasikannya dengan agama atau umat islam. Selain produk makanan, destinasi wisata dewasa kini sudah menggunakan label “halal”. Sekarang ini jamak ditemukan istilah wisata halal. Baik pada produk makanan maupun pada daerah wisata, istilah “halal” yang dipakai sama-sama bertujuan melindungi umat islam. Pada produk makanan, agar umat islam terhindar dari yang haram, yang bisa menjerumuskannya ke dalam dosa. Pada daerah wisata, supaya kepentingan dan kebutuhan umat islam diperhatikan sehingga umat islam bisa menikmati liburan dengan nyaman dan terhindari dari perusakan aqidah.
Karena itu, istilah wisata halal yang tren dewasa ini semata-mata untuk menjawab kepentingan umat islam. Dengan “wisata halal” dimaksudkan bahwa tempat wisata tersebut, sekalipun bukan merupakan daerah islam, layak dan ramah bagi umat islam. Dengan memberi label “wisata halal” hal ini menunjukkan bahwa tempat-tempat wisata tersebut layak bagi umat islam dan penduduknya ramah terhadap umat islam. Misalnya, tersedianya rumah makan yang menyediakan makanan yang boleh dikonsumsi umat islam, tersedia rumah ibadah sehingga umat islam dapat menjalani kewajiban sholatnya, dan hal-hal lainnya yang menjawab kebutuhan umat islam.
Dapatlah dikatakan bahwa daerah wisata yang mau dikunjungi wisatawan islam, sehingga dapat menambah pendapatan daerah, harus memasang label “wisata halal” pada daerahnya. Umat islam akan bangga dengan daerah-daerah wisata yang mempunyai label “wisata halal”. Mereka merasa dirinya diperhatikan. Tak sedikit juga umat islam yang mengecam tempat-tempat wisata yang tidak bersedia memakai label “wisata halal” untuk destinasi wisatanya. Mereka mencap daerah dengan penduduknya sebagai islam phobia, intoleran dan salah paham soal wisata halal. Secara implisit, daerah yang menolak label “wisata halal” dianggap sebagai daerah yang tidak ramah dan tidak layak bagi umat islam. Lebih kasar lagi, daerah tersebut dianggap memusuhi umat islam.
Siapa sebenarnya yang tidak toleran? Mencermati permasalahan wisata halal, orang dapat mengetahui siapa yang sebenarnya tidak toleran. Toleransi dapat dipahami suatu sikap saling menghormati dan menghargai antarkelompok atau antarindividu dalam masyarakat atau dalam lingkup lainnya. Kata kunci dari toleransi adalah sikap saling. Dengan kata saling di sini dimaknai dengan timbal balik, dua arah, bukan satu arah saja.

SANTA MARIA BUNDA ALLAH


HARI ini Gereja Katolik merayakan Hari Raya Santa Maria Bunda Allah. Setiap tanggal 1 Januari Gereja Katolik merayakannya. Perayaan ini dapat dilihat sebagai bentuk penghormatan umat katolik kepada Bunda Maria, yang adalah ibu Yesus Kristus. Banyak orang sinis terhadap gelar ini. Bukankah Maria itu manusia biasa. Kenapa dia disebut Bunda Allah? Orang menilai bahwa dengan gelar tersebut maka Maria dilihat sebagai Allah. Hal ini identik dengan menyekutukan Allah, yang merupakan dosa besar. Dan ada pula yang menyamakan Roh Kudus dengan Bunda Maria.
Memahami Maria sebagai Bunda Allah tak bisa dipisahkan dari Yesus Kristus. Untuk mengerti gelar “Bunda Allah”, pertama-tama kita harus mengerti dengan jelas siapa Yesus, yang dikandung dan dilahirkan oleh Maria. Jadi, yang ada dalam rahim Maria selama kurang lebih 9 bulan adalah Yesus Kristus.
Injil sudah mengatakan bahwa Maria mengandung dari kuasa Roh Kudus (lih. Luk 1: 26 – 38 dan Mat 1: 18 – 25). Dan yang dikandung adalah Yesus Kristus. Dengan kata lain, Yesus Kristus, yang dikandung dalam rahim Maria, berasal dari Roh Kudus. Dari sini pemahaman kita akan beralih dari siapa Yesus kepada peran Maria sebagai Bunda Yesus Kristus.
Sebagai orang katolik, kita sungguh-sungguh yakin bahwa Yesus adalah sungguh Allah dan sungguh manusia. Melalui Maria, Yesus Kristus, yang adalah “pribadi” kedua dari Tritunggal Mahakudus, memasuki dunia ini dengan mengenakan daging manusia dan jiwa manusia. Jadi, dalam rahim Maria bersemayam Allah yang sekaligus juga manusia, yang kelak akan diberi nama Yesus. Namun kehamilan itu tidak mengubah kemanusiaan Maria menjadi ilahi. Maria tetaplah manusia biasa, tapi memiliki keistimewaan.

HARUSKAH BANGGA?


Haruskah aku bangga,
Bila dalam keberagaman aku dilarang ikut berbahagia,
Bersama sesamaku yang beda.
Haruskah aku bangga,
Melihat pedagang terompet tertunduk duka,
Lantaran larangan terompet atas nama agama.
Haruskah aku bangga,
Pada ulama yang mencegah aku duduk bersama,
Merayakan perayaan yang tak ada dalam agama.
Haruskah aku bangga,
Pada agama,
Memandang hina sesama karena ia berbeda dengan kita.
Haruskah aku bangga.
Dabo Singkep, 1 Januari 2020
by: adrian