Selasa, 12 Agustus 2014

(Pencerahan) Beriman Sesuai Kehendak Allah

BERIMAN SESUAI KEHENDAK ALLAH
Iman merupakan tanggapan pribadi atas sapaan Allah. Dengan beriman kita menyerahkan hidup kita seluruhnya ke dalam penyelenggaraan Allah. Sebagai umat-Nya kita diminta untuk taat dan berserah pada kehendak Allah, sekalipun kehendak-Nya itu bertentangan dengan keinginan diri. Ada banyak orang beriman kepada Allah ketika keinginannya terpenuhi. Sikap iman seperti ini seperti iman bersyarat; kita beriman dengan syarat keinginan kita terpenuhi.

Iman kepada Allah itu harus tanpa syarat. Inti iman ada pada kehendak Allah pada hidup kita, bukan pada kehendak pribadi kita. Karena itu, salah satu sikap iman adalah berserah diri. Hal ini terlihat dalam ungkapan iman Bunda Maria, “Terjadilah padaku menurut kehendak-Mu.”

Ada contoh menarik untuk menggambarkan sikap iman tanpa syarat ini. Sikap iman itu dapat kita lihat pada kisah Tiga Pemuda: Sadrakh, Mesakh, Abednego. Mereka beriman kepada Allahnya. Ketika mereka menolak titah raja untuk menyangkal iman mereka dengan cara menyembah dewanya sang raja, mereka menghadapi ancaman hukuman mati. Akan tetapi, mereka tidak takut dan meninggalkan imannya.

Banyak orang, demi alasan keamanan, melakukan titah sang raja. Dengan kata lain, mereka meninggalkan imannya. Mereka takut, karena jika mereka tetap beriman pada Alllahnya, mereka akan mati. Mereka tahu pasti bahwa Allah tidak dapat menolong atau menyelamatkan mereka dari hukuman mati. Hanya mengikuti perintah raja saja yang bisa meluputkan mereka dari kematian. Hal ini berarti dewanya sang raja yang menyelamatkan.

Berbeda dengan Sadrakh, Mesakh dan Abednego. Mereka tahu dan sadar bahwa kesetiaan pada imannya tidak akan meluputkan mereka dari hukuman mati. Ketika Sang raja kembali memerintahkan mereka untuk menyembah dewanya, salah seorang dari ketiga pemuda itu berkata, “Jika Allah yang kami imani sanggup melepaskan kami, maka Ia akan melepaskan kami dari hukuman ini. Namun jika tidak, hendaklah tuanku raja tahu, bahwa kami tidak akan beriman pada dewa tuanku, dan tidak akan menyembah patung emas yang tuan dirikan itu.”

Sadrakh, Mesakh dan Abednego memberi contoh beriman sesuai dengan kehendak Allah, bukan menurut keinginan dirinya. Sekalipun mereka akhirnya mati, mereka tetap setia pada imannya. Walau akhirnya mereka dijatuhi hukuman mati, mereka tidak meninggalkan imannya. Mereka tetap beriman pada Allah tanpa syarat.
Jakarta, 9 April 2014
by: adrian
Baca juga:
2.      Doa Si Toni Kecil

5.      Kenapa Kami Dimusuhi

Orang Kudus 12 Agustus: St. Isodorus Bakanja

BEATO ISODORUS BAKANJA
Isodorus Bakanja lahir pada sekitar tahun 1887 di Bokendela, Republik Demokratik Kongo. Ia adalah putera suku Boangi. Sejak kecil, Isodorus sudah bekerja untuk mempertahankan hidupnya. Pada 6 Mei 1906, Isodorus dibaptis setelah memperoleh bimbingan dari para biarawan Trappist. Isodorus mencintai doa Rosario, dan selalu membawanya. Ia juga memiliki devosi kepada Bunda Maria dari Gunung Karmel, dan selalu menggunakan skapulir.

Isodorus bekerja di sebuah perkebunan yang dimiliki oleh seorang koloni Belgia. Banyak dari orang-orang Belgia itu yang menganut atheisme, dan membenci para misionaris. Isodorus menjadi katekis bagi sesama pekerja. Oleh pimpinannya, ia dilarang untuk menggunakan benda-benda rohani dan menyebarkan agama Kristen di antara para pekerja. Isodorus menolak larangan itu sehingga ia disiksa, skapulirnya dirusak, dan ia dirantai.

Dikisahkan bahwa ia dibuang atau melarikan diri ke hutan, setelah itu, Isodorus menyeret dirinya sampai bertemu dengan pengawas perkebunan yang menolongnya. Sang pengawas mencegah orang-orang yang menyiksa Isodorus untuk membunuhnya. Ia juga merawat Isodorus dirumahnya dan memberikan kesaksiannya. Isodorus didamping dua orang katekis yang menguatkannya di akhir hidupnya. Isodorus tidak pernah membenci dan mendendam kepada mereka yang menyiksanya. Ia juga mengatakan bahwa ia menderita karena ia adalah seorang Kristen. Isodorus bertahan hidup selama empat sampai enam bulan. Isodorus Bakanja meninggal dunia pada 15 Agustus 1909 di Busira, Republik Demokratik Kongo. Pada 24 April 1994, ia dibeatifikasi oleh Paus Yohanes Paulus II.


Baca juga riwayat orang kudus 12 Agustus
St. Redegundis dari Turingia

Renungan Hari Selasa Biasa XIX - Thn II

Renungan Hari Selasa Biasa XIX, Thn A/II
Bac I    Yeh 2: 8 – 3: 4; Injil              Mat18: 1 – 5, 10, 12 – 14;

Sabda Tuhan hari ini mau berbicara tentang sikap hidup yang bergantung kepada Tuhan. Artinya, manusia tidak mengandalkan kekuatannya sendiri, melainkan menyerahkan diri kepada Tuhan dan mengandalkan-Nya. Sikap ini terlihat dalam bacaan pertama dalam sosok Yehezkiel. Dalam kitabnya, Yehezkiel diminta Tuhan untuk menyampaikan pesan-Nya kepada umat Israel supaya bangsa itu memperbaiki sikapnya kepada Allah. Dikatakan bahwa untuk melaksanakan tugas itu Yehezkiel tidak mengandalkan kekuatannya sendiri, melainkan mengambil sikap seperti anak kecil yang disuap. Pesan Allah dalam Kitab Suci disuapkan Allah ke dalam mulutnya.

Sikap seperti anak kecil ini juga yang diangkat Tuhan Yesus dalam Injil. Dikisahkan bahwa para murid bertengkar untuk menentukan siapa yang terbesar dalam Kerajaan Sorga. Ada pertentangan yang terbesar dan anak kecil. Yang terbesar di sini mengacu pada kesombongan dan mengandalkan kemampuan sendiri tanpa peduli pada orang lain apalagi Tuhan. Ini bertentangan dengan anak kecil, yang rendah hati dan menggantungkan hidupnya kepada orang tuanya. Tuhan Yesus meminta para murid-Nya untuk memiliki sikap seperti anak kecil, bukan saja sikap rendah hati melainkan juga sikap berserah diri kepada Tuhan.

Salah satu kecenderungan manusia adalah ingin berkuasa. Di balik keinginan berkuasa ini ada keinginan memerintah dan ingin dilayani. Kekuasaan itu dapat dilihat dari jabatan dan kekayaan. Dan kekuasaan yang dimiliki ini membuat manusia tidak membutuhkan siapa lagi, termasuk Tuhan. Sikap inilah yang dikecam Tuhan melalui sabda-Nya hari ini. Tuhan menghendaki supaya kita membangun sikap rendah hati dan tetap mengandalkan Tuhan dalam kehidupan kita. Sikap rendah hati dapat berimplikasi dalam kehidupan sosial kita, di mana kita dapat saling mengharga satu sama lain tanpa melihat status seseorang.

by: adrian