Tak disangka kalau acara
kuda lumping yang dibawakan oleh anak-anak tingkat tiga akan membawa diskusi
yang menjurus pada perdebatan banyak kalangan. Malam itu kampus Samir
mengadakan acara Dies Natalis. Banyak pertunjukan digelar. Masing-masing
tingkat tampil dengan bawaannya. Ada yang serius, ada pula yang sempat mengocok
perut. Tak ketinggalan pula para karyawan turut unjuk kebolehannya. Dan pada
acara puncak tampillah anggota tingkat tiga dengan kuda lumpingnya.
Awalnya sih sebenarnya
pertunjukan itu tidak serius. Rada lawak. Bagaimana mau dibilang serius kalau
personilnya saja sudah dikenal sebagai pelawak harian di kampus. Makanya saat
mereka masuk penonton sudah pada tertawa; ditambah lagi dengan tingkah gerakan
mereka. Belum lagi bila dilihat latar belakang etnis pemainnya. Ada Flores,
Batak, Jawa dan Karo. Atau juga alat musiknya yang cuma mengandalkan empat
potong bambu kering dengan ukurannya masing-masing dan dua ember yang disatukan
sebagai gendang.
Yang pertama muncul adalah
Marten, si Flores hitam yang seharian dikenal suka guyon. Ia mengenakan pakaian
hitam-hitam (bayangkan, kulit sudah hitam, pakaianpun hitam. Kalau listrik
padam, jelas susah mencarinya.) Ia bertindak sebagai dukun yang memperkenalkan
acara disertai ‘ancaman’ kepada para penonton agar tidak macam-macam. (Ancaman
itu bukannya membuat penonton takut, tapi justru malah tertawa.) Ia menaburkan
serbuk putih di arena pentas membentuk lingkaran. Lalu ia bersemedi di tempat
yang ditentukan di mana sudah ada semacam sesajian lengkap dengan asap
menyannya. Acarapun digelar. Enam orang pemain masuk dan bermain seperti biasa.
Lucu.
Namun memasuki menit kesepuluh
tiga orang mulai kesurupan. (Atau pura-pura kesurupan?) Pertunjukan terus
berlangsung. Tiba-tiba dari arah penonton seorang mahasiswa tingkat satu
berteriak histeris dan kesurupan. Beberapa orang menggotongnya ke arena pentas
dan membiarkannya menari sesuka hati. Penonton mulai tegang. Tak lama kemudian
seorang lagi dan lagi. Mereka kesurupan. Mereka sama-sama berstatus penonton.
Ketiganya dibiarkan menari di pentas. Penonton makin tegang. Beberapa staf
dosen yang duduk di depanpun ada yang mulai cemas dan takut.
Akhirnya pertunjukkan berubah
menjadi serius, malah bisa dikatakan sedikit kacau. Setidaknya itulah
pendapat beberapa penonton. Ini tentu didasari adanya tiga mahasiswa dari
tingkat lain yang ikut menari. Yah kesurupanlah istilahnya
atau trance. Padahal mereka mulanya sebagai penonton. Ada pula
penonton yang masih menganggap itu hanyalah sebuah permainan. Sebuah lelucon.
“Yang semalam itu
sungguhan, kan?” Ungkap Poltak. “Mereka benar-benar kesurupan.”
“Cuma main-mainnya itu.” Samir
coba menyangkal. Memang malam itu ia banyak mengejek teman-temannya yang
terlihat takut. Umumnya mereka dari Flores. Mungkin ini kali pertama mereka
menyaksikan pertunjukkan kuda lumping
“Apa alasanmu bahwa itu cuma
main-main saja?”
“Sudah banyak kali saya nonton
kuda lumping. Dari semua itu, aku bisa ambil kesimpulan bahwa yang mempengaruhi
orang mengalami trance adalah musik dan juga dukun dengan
mantranya. Nah, apa yang saya liat malam itu sungguh jauh
beda. Jauh sekali. Lha, dukunnya saja si Marten, orang Flores,
sementara kuda lumping itu budaya Jawa. Mana ngerti dia soal mantra-mantra
Jawa. Belum lagi musiknya.”
“Kau jangan cuma liat musiknya,
“ bela Poltak. “Memang harus diakui alat musik mereka sederhana. Jauh dari
resminya. Tapi musik dengan irama tetap, konstan bisa membuat orang hanyut dan
akhirnya mengalami trance. Nggak peduli apapun jenisnya.”
“Betul. Saya setuju!”
“Dengan botol saja, kalo
melahirkan bebunyian yang konstan, orang bisa trance. Aku pernah
menyaksikan.”
“Saya nggak nolak itu.”
“Lalu?”
”Yang semalam itu tidak
demikian. Kita mesti mengerti dulu arti kata tetap di sini.
Irama yang berubah-ubah, dari keras ke rendah atau kencang menjadi pelan, juga
bisa dikategorikan tetap. Tetap berubah. Bahwa adanya perubahan itulah yang
tetap. Tetap yang lain adalah tanpa perubahan. Sama terus,”
jelas Samir sedikit berfilosofis. “Yang saya alami selama ini, orang trance saat
tempo musik meninggi dan makin cepat, meski iramanya tetap. Hal ini tidak
terjadi malam itu. Iramanya saja berubah-ubah. Gimana orang
bisa trance?”
“Tapi kenapa Basuki sibuk
ngurusi mereka yang kena? Dia kan orang Jawa tentu tau benar
akan hal ini. Demikian pula si Wiro dan Pendi.”
“Saya pun bisa sebut beberapa
orang Jawa lain. Si Kentul atau Pak Budi dan Pak Antono. Kok mereka
tenang-tenang saja? Malah kulihat mereka tertawa saat orang lain panik.”
Poltak terdiam. Mungkin lagi
menyusun strategi untuk mematahkan argumen Samir sekaligus memenangkan diskusi
(emangnya perang, nih?). Samir pun terlihat demikian. Tapi ia tidak
kelihatan tegang seperti si Poltak. Ia malah tersenyum memperhatikan si Poltak
lagi menguras pikiran. Dahinya berkerut. Samir yakin dan sungguh yakin bahwa
kuda lumping semalam sekedar main-main.
“Begini,” ungkap Poltak memecah
kebisuan mereka. “Secara psikologis, kita mengakui setiap manusia punya alam
bawah sadar. “ Poltak mulai berteori. “Alam bawah sadar ini tempat pembuangan
atau penampungan energi yang berasal dari perasaan-perasaan yang ditekan. Ada
benci, senang, marah, jengkel, cinta, dendam, sayang, iri, dan lain-lain. Emosi
atau perasaan ini terkadang tak mampu diungkapkan keluar tapi ditahan, ditekan
dan dipendam di alam bawah sadar. Ini suatu saat bisa menjadi energi kekuatan
yang dahsyat.
“Pada waktu orang sedang rileks
atau persisnya rilaksasi, tutup alam bawah sadar itu terbuka sehingga energi
tadi keluar. Itulah yang dinamakan saat trance. Musik dengan irama
yang tetap, mampu menciptakan saat rilaksasi.”
“So?”
“So what?”
“Penjelasanmu benar. Saya
sependapat.”
“Jadi, benarkan kalo mereka itu
serius. Kena.”
“Tidak!”
Poltak terperanjat. Dia
menyangka omongan Samir berarti mengakui kebenaran pendapatnya. Poltak berpikir
sudah memenangkan “perang” mulut dia dengan Samir.
“Kenapa tidak?”
“Karena mereka main-main saja.
Itulah yang dinamakan acting. Sama seperti kalo kita nonton
film. Kita merasa itu sungguh-sungguh terjadi, padahal cuma acting saja.”
“Kalo main-main, kenapa si
Marten yang berperan sebagi dukun kebingungan. Cemas. Rekan-rekan setingkatnya
pun pada ketakutan. Si Basuki juga cemas sampai ia marah-marah. ‘Siapa yang
bertanggung jawab atas semuanya ini?’ katanya malam itu. Marten
dan rekan-rekannya melihat bahwa pertunjukkan itu sudah diluar skenario.”
“Itulah taktik si Giman, otak
dari pertunjukan itu. Dialah yang mengatur semuanya. Dia sudah menghubungi
orang lain yang bukan anggota tingkatnya untuk menyusup di acara mereka. Kita
bisa bertanya kenapa Giman nggak kesurupan. Dia kan orang Jawa, ngerti betul
masalah Kuda Lumping.”
“Jadi, skenario dalam skenario?”
“Begitulah kira-kira. Dugaanku,
Giman mau menampilkan ketegangan pada penonton selain aspek seni. Dan menurutku
dia berhasil. Dan bisa dibilang sangat luar biasa. It’s suprise,
bukan saja buat penonton tetapi juga rekan-rekan setingkatnya yang juga ikut
main.”
“Nggak mungkin!” Poltak tetap
pada keyakinannya. “Kita kenal baik si Eko dan Joko. Dua orang ini terkenal
pendiam dan alim. Tapi malam itu mereka terlihat ganas. Ini karena mereka
sedang trance. Trance membuat orang lupa akan jati
dirinya.”
“Lagi-lagi Giman berhasil
dengan taktiknya membuat orang tegang. Seandainya ia pilih orang-orang liar,
pasti penonton akan berpikir sudah biasa. Lumrah dan wajar. Demikian pula
tampilnya Basuki di arena pentas. Dia sudah masuk dalam permainan Giman.
Singkatnya begini. Giman mau agar pertunjukannya bisa membuat penonton jadi
tegang. Karena itu, setelah buat skenario permainan untuk tingkatnya, ia
membuat juga skenario lain tanpa sepengetahuan anggota tingkatnya. Ia menghubungi
Eko dan Joko dari tingkat satu dan Tomo dari tingkat empat untuk menyusup di
sela-sela acara. Sebelumnya mereka bertindak sebagai penonton. Lalu tiba-tiba
mereka satu per satu pura-pura histeris dan trance sehingga
digotong ke arena pentas. Giman juga menghibungi Pendi dan Wiro untuk nanti
masuk sebagai penolong. Menenangkan mereka yang kesurupan. Semuanya persis
seperti yang kau saksikan malam itu.
“Saya sebenarnya punya rencana
lain. Saya ingin menyuruh Basuki dan dua orang lain untuk menyusup. Ikut-ikutan trance. Saya
yakin Giman pasti kebingungan. Ia pasti kaget dan otomatis jadi tegang sendiri.
Ini di luar skenarionya. Dia pikir, jangan-jangan mereka benar-benar trance.”
“Apa Giman sudah bilang sama
kau kalo ia sudah hubungi orang lain?”
“Saat ini ia harus jaga
wibawanya di hadapan rektor dan para staf. Soalnya pertunjukan malam itu kan rada
kacau. Kalo rektor tau ini cuma main-main, dia bisa dipanggil. Bisa-bisa kena
sanksi atau malah De-O. Jadi, untuk selamatkan diri dia mesti
katakan bahwa pertunjukan itu sungguh-sungguh. Bahwa anak-anak benar-benar
kesurupan atau trance.”
Poltak tetap belum yakin. Hati
kecilnya masih mengatakan bahwa para pemain kuda lumping malam itu benar-benar
mengalami trance. Sementara Samir cengar-cengir saja
memperhatikan temannya. Ia juga tetap pada pendiriannya. Inilah resiko dua
orang lain suku berbicara tentang budaya dari suku lain, pikir Samir.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar