Kamis, 22 November 2012

Pesan Pastoral KWI 2012

PESAN PASTORAL SIDANG KWI 2012 
TENTANG EKOPASTORAL
“Keterlibatan Gereja dalam melestarikan keutuhan ciptaan
Pendahuluan                                    
1. Engkau yang menumbuhkan rumput bagi hewan dan tumbuh-tumbuhan untuk diusahakan manusia, yang mengeluarkan makanan dari tanah” (Mzm. 104:14). Yang dikutip untuk mengawali Pesan Pastoral ini adalah Mazmur Pujian atas keagungan Tuhan yang tampak dalam segala ciptaan-Nya. Pujian itu mengandung kesadaran iman pemazmur akan tanggungjawab dan  panggilannya untuk menjaga dan melestarikan keutuhan ciptaan, dengan mengusahakan keselarasan dan perkembangan seluruh ciptaan (Kej 2:15). Inilah kesadaran Gereja juga.  Sadar akan pentingnya tanggungjawab dan panggilan tersebut, para Uskup yang tergabung dalam Konferensi Waligereja Indonesia menyampaikan Pesan Pastoral sebagai buah dari sidang yang diselenggarakan pada tanggal 5 – 15 November 2012.

Kondisi yang memprihatinkan
2.  Alam semesta  dan manusia  sama-sama diciptakan oleh Allah karena kasih-Nya, sehingga manusia tidak bisa tidak menyadari kesatuannya dengan alam. Itulah sebabnya manusia harus memperlakukan alam sebagai sesama ciptaan dan mengolahnya secara bertanggung jawab. Bumi sendiri merupakan rumah bagi manusia dan seluruh makhluk yang lain. Hal ini mengharuskan manusia melihat lingkungan hidup sebagai tempat kediaman dan sumber kehidupan. Oleh karena itu, sejak awal Allah menciptakan langit dan bumi serta isinya baik adanya (Kej 1:10.12.18.21.25.31) dan Allah mempercayakan alam kepada manusia untuk diusahakan dan dipelihara.

3. Alam semesta bukanlah obyek yang dapat dieksploitasi sesuka hati tetapi  merupakan bagian yang tidak dapat dipisahkan  dari kehidupan manusia. Sumber daya alam yang diciptakan Allah untuk memenuhi kebutuhan manusia di bumi ini diperuntukkan bagi siapa saja tanpa memandang suku, agama dan  status sosial. Sumber daya itu akan cukup apabila dikelola secara bertanggung jawab, baik untuk kebutuhan generasi saat ini maupun generasi yang akan datang.  Oleh karena itu, alam harus diperlakukan dengan adil,  dikelola dan digarap dengan penuh rasa hormat dan tanggung jawab.

4. Tetapi kenyataannya, lingkungan yang adalah anugerah Allah itu,  dieksploitasi oleh manusia secara serakah dan ceroboh serta tidak memperhitungan kebaikan bersama, misalnya penebangan hutan, pembukaan lahan untuk perkebunan dan pertambangan yang kurang bertanggung jawab.  Lingkungan menjadi rusak, terjadi bencana alam, lahir konflik sosial, akses pada sumber daya alam hilang dan terjadi marginalisasi masyarakat lokal/adat, perempuan dan anak-anak. Keadaan itu diperparah oleh kebijakan-kebijakan yang didasarkan pada kepentingan politik sesaat dan pola pikir jangka pendek yang mengabaikan keadilan lingkungan. Akibatnya antara lain pemanasan bumi, bertumpuknya sampah, pencemaran air tanah, laut, udara serta tanah, pengurasan sumber daya alam yang menyebabkan kerusakan lingkungan dalam skala besar.

Gereja peduli
5. Gereja telah lama menaruh keprihatinan atas masalah lingkungan yang berakibat buruk pada manusia. Paus Paulus VI dalam Ensiklik Populorum Progressio (1967, No. 12) mengingatkan kita bahwa masyarakat setempat  harus dilindungi dari kerakusan pendatang. Hal ini diperjelas oleh Paus Yohanes II dalam Ensiklik Sollicitudo Rei Socialis (1987, No. 34) yang menekankan bahwa alam ciptaan sebagai kosmos tidak boleh digunakan semaunya dan pengelolaannya harus tunduk pada tuntunan moral karena dampak pengelolaan yang tidak bermoral tidak hanya dirasakan oleh manusia saat ini tetapi juga generasi mendatang. Paus Benediktus XVI dalam Ensiklik Caritas in Veritate (2009, No. 48) menyadarkan kita bahwa alam adalah anugerah Allah untuk semua orang sehingga harus dikelola secara bertanggungjawab bagi seluruh umat manusia.

6. Gereja Katolik Indonesia pun telah menaruh perhatian besar pada masalah lingkungan. Hal ini ditegaskan dalam Pesan SAGKI 2005 berjudul “Bangkit dan Bergeraklah” yang mengajak kita untuk segera mengatasi berbagai ketidakadaban publik yang paling mendesak, khususnya yang berhubungan dengan lingkungan hidup dan keutuhan ciptaan. Gereja juga telah melakukan banyak usaha seperti edukasi, advokasi dan negosiasi dalam mengatasi pengrusakan lingkungan yang masih berlangsung terus bahkan kian meningkat kualitas dan kuantitasnya.

Gereja meningkatkan kepedulian
7. Kami mengajak seluruh umat untuk  meneruskan langkah dan meningkatkan kepedulian dalam pelestarian keutuhan ciptaan dalam semangat pertobatan ekologis dan gerak ekopastoral. Kita menyadari bahwa perjuangan ekopastoral untuk melestarikan keutuhan ciptaan tak mungkin dilakukan sendiri. Oleh karenanya, komitmen ini hendaknya diwujudkan dalam bentuk kemitraan dan gerakan bersama, baik dalam Gereja sendiri maupun dengan semua pihak yang terlibat dalam pelestarian keutuhan ciptaan.
  
8.Pada akhir Pesan Pastoral ini, kami akan menyampaikan  beberapa pesan:
8.1.Kepada saudara-saudari kami yang berada pada posisi pengambil kebijakan publik : kebijakan terhadap pemanfaatan sumber daya alam dan Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) hendaknya membawa peningkatan kesejahteraan hidup masyarakat dan kelestarian lingkungan hidup. Undang-undang yang mengabaikan kepentingan masyarakat perlu ditinjau ulang dan pengawasan terhadap pelaksanaannya haruslah lebih diperketat.

8.2. Kepada saudara-saudari kami yang bekerja di dunia bisnis : pemanfaatan sumber daya alam hendaknya tidak hanya mengejar keuntungan ekonomis, tetapi juga keuntungan sosial yaitu tetap terpenuhinya hak hidup masyarakat setempat dan adanya jaminan bahwa sumber daya alam  akan tetap cukup tersedia untuk generasi yang akan datang. Di samping itu, usaha-usaha produksi di kalangan masyarakat kecil dan terpinggirkan, terutama masyarakat adat, petani dan nelayan, serta mereka yang rentan terhadap perubahan iklim dan bencana lingkungan, perlu lebih didukung.
  
8.3. Kepada umat kristiani sekalian : umat kristiani hendaknya mengembangkan habitus baru, khususnya hidup selaras dengan alam berdasarkan  kesadaran dan perilaku yang peduli lingkungan sebagai bagian perwujudan iman dan pewartaan dalam bentuk tindakan pemulihan keutuhan ciptaan. Untuk itu, perlu dicari usaha bersama misalnya pengolahan sampah, penghematan listrik dan air, penanaman pohon, gerakan percontohan di bidang ekologi, advokasi persuasif di bidang hukum terkait dengan hak hidup dan keberlanjutan alam serta lingkungan. Secara khusus lembaga-lembaga pendidikan diharapkan dapat mengambil peranan yang besar  dalam gerakan penyadaran akan masalah lingkungan dan pentingnya kearifan lokal.

9. Tahun Iman yang dibuka oleh Paus Benediktus XVI pada tanggal 11 Oktober 2012, antara lain mengingatkan kita untuk mewujudkan iman kita pada Tuhan secara nyata dalam tindakan kasih (bdk. Mat 25: 31-40). Dengan demikian tanggungjawab dan panggilan kita untuk memulihkan keutuhan ciptaan sebagai wujud iman makin dikuatkan dan komitmen ekopastoral kita untuk peduli pada lingkungan kian diteguhkan. Kita semua berharap agar sikap dan gerakan ekopastoral kita menjadi kesaksian kasih nyata dan “pintu kepada iman” yang “mengantar kita pada hidup dalam persekutuan dengan Allah” (Porta Fidei, No.1). Kita yakin bahwa karya mulia di bidang ekopastoral ini diberkati Tuhan dan mendapat dukungan semua pihak yang berkehendak baik.

Penutup
10. Akhirnya kami mengucapkan terima kasih kepada saudara-saudari yang telah setia menekuni, mengusahakan dan memperjuangkan kelestarian keutuhan ciptaan dengan caranya masing-masing. Semoga Allah yang telah mencipta segala sesuatu, senantiasa memberkati rencana dan usaha kita bersama ini.
Jakarta,  15 November 2012

P R E S I D I U M
KONFERENSI WALIGEREJA INDONESIA,


Mgr. Ignatius Suharyo
K e t u a
Mgr. Johannes Pujasumarta
Sekretaris Jenderal

Dilema UU Perlindungan Anak

Dahulu.....
Saya orang Flores. Ketika saya masih SMP, saya beberapa kali mendapat hukuman dari guru. Hukuman itu, kalau dilihat pada masa kini, bisa merupakan bentuk penganiayaan. Hukuman diberikan karena memang saya salah atau lalai. Apapun kesalahan, pasti akan mendapatkan hukuman.

Pernah sekali, ketika pelajaran menggambar, saya bersama beberapa murid lainnya lupa membawa pengaris. Kami yang lupa ini disuruh maju ke depan kelas, menyodorkan tangan, lalu guru menghantamkan penggaris kayu besar (panjang sekitar 1 meter dengan ketebalan sekitar 1 cm). Penggaris itu mendarat persis di punggung telapak tangan. Penggaris kayu itu sampai hancur. Ada murid perempuan sampai menangis, sedangkan kami yang cowok hanya bisa meringis. Hasil hukuman hari itu bukan hanya tangan memar, tapi hari itu kami tak bisa menulis.

Untuk jenis hukuman tempeleng itu sudah menjadi makanan ringan. Disebut makanan ringan karena seringkali guru menempeleng murid untuk kategori pelanggaran ringan. Saya pernaah ditempeleng dan jari guru itu mengenai mata saya sehingga mata terasa perih. Kalau pelanggaran berat, ya seperti yang di atas tadi. Saya pernah dipukul di betis dengan menggunakan kayu rotan.

Sekalipun kami sering mendapatkan penganiayaan dari guru, kami tak berani melaporkan peristiwa itu kepada orang tua. Bukan lantaran diancam oleh guru, melainkan karena kami takut mendapat hukuman tambahan dari orang tua. Di kampung saya dan di Flores pada umumnya, jika di sekolah kita dihukum dan diketahui oleh orang tua, berarti kita akan mendapatkan lagi hukuman dari orang tua.

Akan tetapi justru karena hukuman itu banyak orang Flores yang sukses dan berhasil. Mereka-mereka ini berhasil menghadapi hukuman karena ia bagian dari proses pendidikan dan pembinaan. Dengan hukuman itu kami belajar mengetahui kesalahan dan menemukan kebenaran dan kebaikan. Orang yang tidak berani menghadapi hukuman dengan cara lari meninggalkan sekolah, orang-orang ini yang gagal dalam hidupnya.

Sekarang ....
Pada tanggal 22 Oktober 2002, Pemerintah Republik Indonesia, mengundangkan UU Perlindungan Anak (UU No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak). Praktis, sejak saat itu adanya hukuman terhadap anak di sekolah akan menjadi sensasi berita yang hangat.

UU Perlindungan anak, khususnya pasal 13 ayat (1), menyatakan bahwa setiap anak selama dalam pengasuhan orang tua, wali, atau pihak lain mana pun yang bertanggung jawab atas pengasuhan, berhak mendapat perlindungan dari perlakuan:
a.       diskriminasi;
b.       eksploitasi, baik ekonomi maupun seksual;
c.       penelantaran;
d.       kekejaman, kekerasan, dan penganiayaan;
e.       ketidakadilan; dan
f.       perlakuan salah lainnya.

Apa yang diungkapkan dalam pasal 13 ayat (1) di atas kembali ditegaskan dalam pasal 16 ayat (1) dan (2) yang berbunyi:
(1)   Setiap anak berhak memperoleh perlindungan dari sasaran penganiayaan, penyiksaan, atau penjatuhan hukuman yang tidak manusiawi.
(2)   Setiap anak berhak untuk memperoleh kebebasan sesuai dengan hukum.

Dengan adanya UU Perlindungan Anak, guru di sekolah tidak lagi berani memberikan hukuman kepada anak. Guru takut karena sanksi hukumannya tidak main-main. Mengenai sanksi hukuman terhadap tindakan penganiayaan anak tertuang dalam pasal 80. Di sana dinyatakan:
(1) Setiap orang yang melakukan kekejaman, kekerasan atau ancaman kekerasan, atau penganiayaan terhadap anak, dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun 6 (enam) bulan dan/atau denda paling banyak Rp 72.000.000,00 (tujuh puluh dua juta rupiah).
(2) Dalam hal anak sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) luka berat, maka pelaku dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan/atau denda paling banyak Rp 100.000.000,00 (seratus juta rupiah).

Ternyata bukan cuma UU Perlindungan Anak saja yang menjadi instrumen perlindungan anak, Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) juga mengatur soal penganiayaan. Hal itu terdapat dalam pasal Pasal 351 jo. 352 KUHP.

“Penganiayaan” Masih Ada
Sekalipun UU Perlindungan Anak sudah diundangkan, ternyata tindakan memberi hukuman, yang masuk kategori penganiayaan, masih kerap terjadi. Kasus terakhir adalah kasus penamparan oleh oknum guru terhadap siswi SD Harmoni di Batam. Dikatakan bahwa bekas tamparan itu meninggalkan luka lebam di pipi anak kecil itu sehingga dia jadi trauma ke sekolah. Orang tua sudah melaporkan kasus itu ke polisi.

Satu contoh kasus lain saya kutip dari http://www.solopos.com/2011/02/09/aniaya-murid-guru-smk-gm-1-terancam-hukuman-35-tahun-85302:

“Sebagaimana diberitakan, M dilaporkan ke Polsek Wuryantoro, Senin (7/2) malam lalu karena dugaan penganiayaan terhadap salah satu muridnya. Murid tersebut, Dias Ganang Fardian mengaku ditampar satu kali oleh gurunya itu sehingga mengalami luka lebam di bawah mata kirinya.

Alasan pemukulan itu, sebagaimana tertulis dalam laporan resmi orangtua korban ke Mapolsek Wuryantoro, karena korban melanggar disiplin saat upacara bendera, Senin pagi. Guru tersebut, belum bisa ditemui maupun dihubungi untuk konfirmasi.

Sedangkan Kepala SMK Gajah Mungkur 1 Wuryantoro, Saryanto membantah perlakuan guru terhadap muridnya itu sebagai tindakan penganiayaan. “Itu cuma pembinaan karena murid ini ramai bercanda dengan temannya saat upacara berlangsung,” jelasnya. Saryanto mengakui pembinaan dan penegakan disiplin siswa di sekolahnya memang cukup ketat.”

Kalau kita perhatikan baik-baik, apa yang dilakukan para guru dengan menghukum muridnya tidaklah salah 100 %. Apa yang dilakukan mereka masih dalam taraf wajar, sekalipun menimbulkan luka memar. Yang dilakukan guru adalah juga demi kebaikan murid itu. Guru memegang prinsip: yang salah harus dihukum. Tak mungkinlah guru menghukum murid yang baik dan benar. Yang salahlah yang dihukum. Dengan hukuman anak disadarkan akan kesalahannya.

UU Perlindungan Anak dapat membuat anak tidak menemukan kesalahan dirinya. Dia merasa dirinya benar. Buktinya, dia dibela dan sang guru dihukum. Karena itu, konsep benar-salah menjadi hilang dengan adanya UU Perlindungan Anak.

Derita Guru: Sebuah Dilema Pendidikan
Keberadaan UU Perlindungan Anak ini, bagi saya, menjadi sebuah penderitaan guru. Mereka dihadapkan pada sebuah masalah yang dilematis dalam proses pendidikan dan pembinaan anak muridnya. Situasi mereka berhadapan dengan UU Perlindungan Anak sama seperti “maju kena mundur pun kena”.

Kita bisa perhatikan contoh kasus di SMK Gajah Mungkur di atas. Demi pembinaan dan penegakan disiplin kepada siswa, guru terpaksa menampar siswanya. Akan tetapi guru tersebut dihadapkan pada jerat hukum. Maksud baik sang guru justru berakibat buruk. Bukankah guru itu ingin menyadarkan murid itu. Ada banyak cara penyadaran. Tempeleng merupakan salah satu cara.

Mungkin orang akan berpikir, kan bisa pakai cara lain yang tanpa kekerasan. UU Perlindungan Anak tidak membolehkan cara kekerasan, padahal cara itu bisa menjadi sarana paling efektif. Tingkat penyadarannya lebih kuat ketimbang hanya menegur dan menasehati. Tempeleng (dan itu hanya sekali) bisa merupakan bentuk shock therapy.

Oleh karena itu, saya katakan bahwa UU Perlindungan Anak menjadi penderitaan para guru di sekolah. Mereka tidak berani bertindak tegas kepada murid karena takut akan sanksi dari UU Perlindungan Anak. Bayangkan saja, kena pasal 80 ayat (1) saja sudah merupakan penderitaan yang amat sangat bagi guru yang berpenghasilan pas-pasan. Mau masuk penjara, asalkan tiap bulan gajinya jalan terus sih tak akan jadi masalah. Tetap mengajar dengan ganti rugi sebesar 72 juta rupiah, jelas akan memberatkan keluarganya.

Saya punya satu contoh kasus. Di sebuah sekolah menengah pertama, ada siswa sedang berkelahi. Datang seorang guru melerai. Eh, malah dia dicaci maki oleh seorang siswa yang berkelahi tadi, karena tidak terima acara duelnya dipisahkan. Karena emosi, maklum sang guru juga masih muda dan caci maki itu terjadi di muka umum, diketahui murid lain, dan demi harga diri, guru itu menampar siswa itu. Cuma sekali saja. Ujung ceritanya sang guru dilaporkan ke polisi dan sempat beberapa hari ditahan di penjara sebelum akhirnya dibebaskan dengan tebusan.

Apa yang terjadi setelah peristiwa itu? Para guru lain tidak berani bertindak tegas kepada siswa dan para siswa berbuat seenaknya saja. Anak-anak tumbuh “liar” dan para guru tak berani menegur. Yang terjadi adalah proses pembiaran. Ketika guru mau bertindak tegas, anak dapat mengancam dengan UU Perlindungan Anak. Anak akan dengan mudah mengejek gurunya bahkan menghina guru dan guru tidak bisa berbuat apa-apa karena takut dengan UU Perlindungan Anak.

Saya pernah berdiskusi dengan seorang mantan kepala sekolah di dua sekolah ternama di tempat saya, yang sekarang sudah menjadi sepuh. Dia mengatakan bahwa UU Perlindungan Anak merusak dunia pendidikan. Dia sangat tidak setuju dengan UU Perlindungan Anak, karena UU itu bisa digunakan anak untuk merendahkan martabat guru. Dia sangat prihatin dengan nasib para guru.

Hukuman Bukan Penganiayaan
Saya melihat ada sedikit kekeliruan dalam masalah UU Perlindungan Anak. Kekeliruan itu berkaitan dengan kata “penganiayaan”. Bagi saya yang masuk kategori penganiayaan adalah kekerasan yang bertubi-tubi. Ia mirip dengan penyiksaan. Misalnya, memukul atau menempeleng berkali-kali, sekalipun murid sudah minta ampun. Tapi jika cuma sekali, itu bukan penganiayaan. Kalau dikatakan kekerasan baru bisa. Kalau kasus seperti IPDN saya baru setuju jika itu dikatakan penganiayaan dan memang kejam, karena kekerasan yang dilakukan bertubi-tubi. Misalnya, dipukul lalu ditendang berkali-kali. Karena itu wajar jika ada yang cacat dan bahkan sampai tewas.

Saya tidak setuju jika menempeleng yang hanya sekali saja masuk kategori kekejaman (pasal 13 ayat 1) atau hukuman yang tidak manusiawi (pasal 16 ayat 1). Dalam kasus-kasus penganiayaan yang terjadi di sekolah yang dilakukan oknum guru selama ini, bagi saya masih masuk kategori kekerasan, bukan kekejaman, penganiayaan apalagi hukuman yang tidak manusiawi.

Yang menjadi persoalan, haruskan kekerasan itu dihukum, jika kekerasan itu bertujuan baik, yaitu menyadarkan orang akan kesalahannya. Untuk bisa sampai pada tingkat sadar itu memang sering menyakitkan. Kekerasan itu ibarat shock therapy bagi pasien.

Selain itu harus juga diperhatikan soal kewajiban sang anak. Dalam UU Perlindungan Anak, khususnya bab yang berbicara soal hak dan kewajiban anak, ada begitu banyak pasal berkaitan dengan hak anak (18 pasal), sementara kewajiban hanya satu pasal saja (pasal 19). Cukup menarik kalau kita perhatikan bunyi pasal 19 UU Perlindungan Anak ini:

Setiap anak berkewajiban untuk :
1.      menghormati orang tua, wali, dan guru;
2.      mencintai keluarga, masyarakat, dan menyayangi teman;
3.      mencintai tanah air, bangsa, dan negara;
4.      menunaikan ibadah sesuai dengan ajaran agamanya; dan
5.      melaksanakan etika dan akhlak yang mulia.

Muncul pertanyaan, jika anak tidak melaksanakan kewajibannya, adakah sanksi yang dapat diberikan kepada anak? Selama ini tidak ada yang melihat hal ini. Orang hanya disibukkan untuk melihat hak anak, sehingga pelanggaran terhadap hak anak yang selalu ditindak. Apakah berkaitan dengan nominal uang yang cukup banyak sehingga menjadi daya tarik bagi polisi dan pengacara? Namun, bagaimana dengan kewajiban anak? Apakah anak yang tidak melakukan kewajibannya, seperti yang tertera dalam UU Perlindungan Anak, juga dapat ditindak?

Seperti contoh kasus di atas. Anak SD Harmoni itu diberitakan mengganggu temannya yang sedang latihan menari. Artinya, ia tidak melakukan kewajiban no. 2 dalam pasal (19) UU Perlindungan Anak. Atau dalam kasus SMK Gajah Mungkur, siswa tersebut tidak melaksanakan kewajiban no. 3 dan 5. Apakah guru punya wewenang melaporkan siswa yang tidak melaksanakan kewajibannya ke polisi? Dan apa sanksi buat anak tersebut?

Harus diingat bahwa dalam hukum itu, hak dan kewajiban itu mesti seimbang. Orang tidak bisa hanya menuntut haknya saja tanpa melaksanakan kewajibannya. Oleh karena itu, berkaitan dengan UU Perlindungan Anak, perlu juga ditinjau soal keseimbangan antara hak dan kewajiban bagi anak itu sendiri. Jangan hanya membebani kesalahan pada guru.

by: adrian

Orang Kudus 22 November: St. Sesilia

Santa Sesilia, perawan & martir
Cerita-cerita mengenai Sesilia kurang pasti dan jelas. Dalam buku ‘Acta’ (Cerita Kuno) yang berbau legenda, diceritakan bahwa Sesilia adalah seorang gadis Roma yang telah menjadi kristen. Ia puteri bangsawan dari suku bangsa Coesilis, suku terkenal yang menghasilkan banyak pemimpin serta delapan belas orang konsul untuk Republik Roma pada masa itu. Konon semenjak kecil ia telah berikrar kepada Allah untuk hidup suci-murni dan tidak menikah. Namun ketika sudah dewasa orang tuanya mempertunangkan dia dengan Valerianus, seorang pemuda yang berhati mulia, jujur tetapi masih kafir.

Sebagai anak yang sudah menjelang dewasa, ia cukup bijaksana menghadapi ulah orang tuanya. Ia tidak menolak kehendak orang tuanya, kendatipun dalam hatinya ia terus berupaya mencari jalan bagaimana cara ia tetap mempertahankan ikrar kemurniannya. Ia yakin bahwa Tuhan yang mahakuasa akan membantunya dalam niatnya yang baik itu. Dengan keyakinan itu, imannya tidak goyah sambil tetap menghormati kedua orang tuanya. Ketika hari perkawinannya tiba, maka Sesilia mengikuti upacara sambil berdoa dan menyanyikan lagu-lagu rohani; sementara itu para tamu sudah datang dan bunyi musik pun sudah ramai terdengar. Seusai pesta perkawinan itu, ia bersama Valerianus memasuki kamar mereka sebagai suami istri.

Dengan berani Sesilia berkata kepada suaminya, "Valerianus! Aku mau menceritakan kepadamu suatu rahasia pribadi. Aku mohon engkau mendengarkannya dengan sepenuh hati dan tetap menerima aku sebagai istrimu. Engkau harus tahu bahwa aku mempunyai seorang malaikat yang selalu menjaga aku. Jika engkau berani menyentuh aku sebagaimana biasanya dilakukan oleh suami istri yang sudah menikah secara resmi, maka malaikat itu akan marah dan engkau akan menanggung banyak penderitaan. Tetapi jika engkau menghormati keperawananku, maka malaikat pelindungku itu akan mencintai engkau sebagaimana dia mencintai aku." 

Kata Valerianus, "Tunjukkanlah malaikat itu kepadaku. Jika ia berasal dari Tuhan maka aku akan mengikuti kemauanmu."

Sesilia menjawab, "Jika engkau percaya dan mau dibaptis menjadi kristen, engkau akan melihat malaikat itu."

Valerianus menyetujui usul Sesilia, isterinya. Ia disuruh menghadap Paus Urbanus, yang tinggal di Jalan Apia. Di sana ia mengalami suatu penampakan ajaib dan mendapat pengetahuan iman; lalu ia bertobat dan dipermandikan oleh Paus Urbanus. Ketika ia kembali ke rumah, didapatinya Sesilia sedang berdoa didampingi seorang malaikat yang membawa 2 mahkota bunga: untuk Sesilia dan untuk dirinya. Valerianus sangat terharu menyaksikan peristiwa itu. Dengan itu apa yang dikehendakinya terpenuhi: ia melihat sendiri malaikat pelindung Sesilia.

Pada waktu itu Kaisar Roma Diokletianus sedang giat mengejar dan menganiaya umat kristen. Dengan rajin Sesilia dan Valerianus setiap hari menguburkan jenazah orang-orang kristen yang dibunuh. Valerianus kemudian tertangkap dan dihukum mati bersama adiknya dan seorang tentara Romawi yang bertobat. Tak lama kemudian Sesilia juga ditangkap dan diadili. Ia menolak dengan tegas bujukan para penguasa. Maka ia disiksa dengan bermacam-macam cara, tetapi semuanya itu sia-sia saja. Akhirnya dia dipenggal lehernya dan wafat sebagai martir Kristus pada tahun 230.

Keberaniannya menghadapi kemartirannya membuat Sesilia tampil sebagai contoh gadis kristen sejati yang menjadikan hidupnya suatu madah pujian bagi Tuhan; ia dengan tegas dan gembira memilih keperawanan dan lebih senang mati daripada menyangkal cinta setianya kepada Kristus. Kemartirannya membuat banyak orang Roma bertobat dan mengimani Kristus. Dalam abad V di roma didirikan sebuah gereja basilik untuk menghormatinya dan devosi-devosi rakyat segera mengangkatnya sebagai pelindung paduan suara dan musik gerejawi.

Sumber: Orang Kudus Sepanjang Tahun

Renungan Hari Kamis Biasa XXXIII - Thn II

Renungan Hari Kamis Pekan Biasa XXXIII B/II
Bac I  Why 5: 1 – 10; Injil        Luk 19: 41 – 44

Injil hari ini mengisahkan bahwa Yesus menangis. Kesedihan Yesus lantaran umat Yahudi di Yerusalem yang angkuh. Keangkuhan mereka membuat mereka tidak melihat dan mendengarkan apa yang dikatakan oleh Yesus.

Yesus sudah melihat apa yang bakal terjadi dengan kota Yerusalem beserta penduduknya di mana depan. "Sebab akan datang harinya, bahwa musuhmu akan mengelilingi engkau dengan kubu, lalu mengepung engkau dan menghimpit engkau dari segala jurusan, dan mereka akan membinasakan engkau beserta dengan pendudukmu dan pada tembokmu mereka tidak akan membiarkan satu batu pun tinggal terletak di atas batu yang lain..." (ay. 44-45).

Yesus sebenarnya menghendaki agar hal itu tidak terjadi. Oleh karena itulah Ia ingin agar penduduk kota itu mau mendengarkan Dia. Mendengarkan Yesus berarti menuntut adanya perubahan total dalam hidup. Perubahan itu akan mendatangkan damai sejahtera. Salah satu wujud perubahan itu adalah sikap terhadap musuh.

Injil hari ini memberi kita pelajaran bagaimana kita menyikapi masa depan, baik di dunia maupun di surga. Bahwa masa depan itu sudah mulai dibangun dari saat ini. Tanpa disadari ada banyak "Yesus-Yesus" lain dalam hidup kita yang memberi peringatan. Misalnya ada yang mengatakan jika kamu malas belajar, kamu akan gagal nanti. Atau kalau kamu terus menerus makan makanan yang enak-enak dan mengandung lemak, maka kamu akan kena penyakit kolestrol. Dan lain sebagainya.

Lewat Injil hari ini Tuhan menghendaki agar kita mau mendengarkan suara-Nya dalam diri sesama kita. Kita diajak untuk mampu mendengarkan dan menemukan apa yang benar, baik dan berguna bagi diri kita dan sesama.

by: adrian