Minggu, 23 Juni 2013

Pendupaan dalam Misa

TENTANG WIRUK & PENDUPAAN
Misdinar pasti tahu yang namanya wiruk atau pedupaan. Nama wiruk itu dari bahasa Belanda wierooksvat. Dalam bahasa Latin namanya turibulum, bahasa Inggrisnya jadi thurible atau censer. Yang nggak pernah jadi misdinar mungkin nggak tahu peranti itu namanya wiruk, tapi saya yakin semua pernah melihat pedupaan itu dipakai dalam misa. Di tulisan ini saya akan bahas beberapa poin penting dan beberapa kesalahan yang seringkali terjadi berkaitan dengan penggunaan wiruk dalam misa.

Kenapa sih harus pakai wangi-wangian dalam liturgi? Jawabnya, untuk menciptakan suasana atau atmosfir liturgis. Berikut ini penjelasan yang bagus sekali, saya kutip dari buku “Rupa dan Citra” karangan pakar liturgi C.H. Suryanugraha, OSC. "Suasana atau atmosfir liturgis diciptakan sedemikian rupa agar perayaan liturgi sungguh mengantar jemaat kepada pertemuan yang Ilahi. Penggunaan unsur-unsur 'cahaya, warna, dan aroma' dalam Perayaan Ekaristi tentunya perlu diberi perhatian khusus pula. Unsur-unsur itu tidak layak diabaikan jika kita peduli akan perlunya lebih mengaktifkan indera (setidaknya indera penglihatan/mata, penciuman/hidung, dan pendengaran/telinga) kita untuk terlibat dan dapat menangkap sisi-sisi keindahan dan kesakralan dalam Perayaan Ekaristi." Aturan liturgi dari Vatikan menyebut, "Pendupaan merupakan ungkapan hormat dan doa sebagaimana dijelaskan dalam Alkitab (bdk. Mzm 141:2; Why 8:3)." (PUMR 276 dan Caeremoniale Episcoporum-Tata Upacara Para Uskup CE 84).

Lalu, kapan kita pakai wangi-wangian dupa ini? Apa hanya untuk misa agung di hari-hari raya? Jawabnya tidak. PUMR 276 mengatakan bahwa dupa boleh digunakan dalam setiap bentuk misa. Misa biasa di hari Minggu pun boleh pakai dupa, kalau mau. Dalam misa, dupa digunakan waktu perarakan masuk, di awal misa untuk menghormati salib altar dan altar, waktu perarakan Injil (saat imam atau diakon membawa Injil dari altar ke mimbar, untuk dibacakan) dan waktu pembacaan Injil. Berikutnya, ada pendupaan roti dan anggur yang disiapkan di altar, lalu pendupaan imam selebran dan konselebran plus semua petugas liturgi di panti imam dan terakhir umat. Juga, dupa digunakan waktu hosti dan piala diperlihatkan kepada umat. Itu ringkasnya.

Mari kita bahas satu persatu. Waktu perarakan masuk dalam misa, fungsi dupa adalah untuk membuka dan menyucikan jalur yang dilalui arak-arakan plus sekalian menyucikan peserta arak-arakan yang jalan di belakangnya. Itu sebabnya pembawa wiruk jalannya di paling depan, bukannya di belakang pembawa salib. Nah, saya pernah melihat pembawa wiruk jalan di paling depan, mendupai salib sambil berjalan mundur. Yang ini kurang pas. Sekali lagi, yang disucikan adalah jalan yang dilalui plus seluruh peserta arak-arakan, bukan cuma salibnya yang diapit dua lilin. Oh ya, wiruk tidak digunakan waktu perarakan keluar dalam misa. Saat ini, pembawa wiruk tentunya jalan di belakang pembawa salib, bersama misdinar lainnya. Aneh juga kalau ia jalan di depan pembawa salib tapi nggak bawa apa-apa.

Berikutnya, cara membawa wiruk yang saya lihat di banyak tempat di Indonesia juga kurang tepat. Dalam perarakan atau saat berjalan dari satu tempat ke tempat yang lain, pembawa wiruk memegang pangkal rantai dengan tangan. Dalam perarakan, wiruk (yang sudah diisi dupa dan berasap tebal) diayunkan ke depan dan belakang, supaya asap dupa menyebar. Ayunan ini bisa sampai 30 derajat ke depan dan ke belakang. Di beberapa tempat di luar negeri saya bahkan melihat ayunan sampai 90 derajat. Makanya, kalau jalan dalam prosesi jangan mepet-mepet dengan yang di depan. Selain kurang bagus, juga ada resiko kena ayunan wiruk. Pembawa wiruk yang menyucikan jalanan sebaiknya memang cuman satu aja, idealnya berjalan di tengah-tengah. Di Indonesia seringkali ia berpasangan dengan pembawa tempat dupa dan berjalan bersama-sama. Ini agak melemahkan fungsinya sebagai pembuka jalan. Cara membawa wiruk yang benar, tanpa didampingi pembawa tempat dupa, adalah dengan membawa tempat dupa sendiri dengan tangan kiri dan ditempelkan ke dada, sambil tangan kanan mengayunkan wiruknya.

Setelah arak-arakan sampai di panti imam, pembawa wiruk menghampiri selebran utama. Dupa ditambahkan lagi, lalu selebran utama mendupai salib altar dan altar. Nah, selama proses ini pembawa wiruk nggak perlu memegangi kasula selebran utama. Tradisinya bukan begitu. Seringkali ia malahan terlihat menarik-narik kasula dan mengganggu gerak selebran utama. Oh ya, satu kesalahan yang sering terjadi di awal misa ini, selebran tidak perlu didupai sehabis ia mendupai altar. Selebran hanya didupai waktu persembahan.

Tadi kita sudah betulkan cara memegang wiruk dalam prosesi. Sekarang kita betulkan cara mengayunkan wiruk. Yang benar bukan crik crik crik (tiga ayunan), tapi hanya crik crik (dua ayunan). Jangan keliru dengan banyaknya ya. Hal banyaknya memang bisa tiga kali atau dua kali. Tiga kali pendupaan masing-masing dua ayunan (tribus ductibus, three double-swings: crik crik, turunkan, crik crik, turunkan dan crik crik, turunkan) digunakan untuk: sakramen mahakudus, relikui salib suci dan patung Tuhan yang dipajang untuk dihormati secara publik; bahan persembahan; salib altar, Kitab Injil, lilin paskah, imam dan jemaat (PUMR 277) dan juga jenazah (CE 92). Dua kali pendupaan masing-masing dua ayunan (duobus ductibus, two double-swings, crik crik, turunkan, crik crik, turunkan) digunakan untuk relikui dan patung orang kudus yang dipajang untuk dihormati secara publik. Yang terakhir adalah serangkaian ayunan tunggal (singulis ictibus, series of single-swings) yang dipakai untuk mendupai altar.

Ikhwal pendupaan dan banyaknya ayunan ini diatur dalam PUMR 276-277 dan CE 84-98. Memang, dalam terjemahan bahasa Indonesia dan bahasa Inggrisnya, soal dua ayunan ini kurang disebut jelas. Hanya versi asli dalam bahasa Latin yang jelas menyebutkan bedanya tribus ductibus, duobus ductibus dan singulis ictibus. Pakar liturgi Uskup Peter Elliott menegaskan ini dalam bukunya Ceremonies of the Modern Roman Rite (Hal 78-81). Pakar rubrik yang lain J.B. O'Connell membahas hal ini juga dalam bukunya The Celebration of Mass (Hal 410-428). Kalau mau gampangnya, lihat aja siaran langsung misa paskah atau misa natal Paus dari Vatikan. Di situ nggak ada tiga ayunan, semuanya dua ayunan. Ada kawan saya imam yang becanda, nggak apa-apa lah tiga kali, supaya mantap. Saya nggak mau kalah, wah kalau gitu, sekalian aja imam kalau memberi berkat pakai tiga tanda salib seperti uskup. Supaya mantap, he3. Maaf, becanda. Liturgis memang susah diajak negosiasi.


Yang terakhir, di penghujung Misa Kamis Putih yang paling malam, selalu ada upacara pemindahan Sakramen Mahakudus. Saat prosesi pemindahan ini, (para) pembawa wiruk pun nggak perlu mendupai Sakramen Mahakudus dengan jalan mundur, nanti malahan jatuh atau nabrak. Di Vatikan nggak ada pendupaan dengan jalan mundur. Khusus untuk prosesi ini Missale Romanum memang menyebut bahwa pembawa wiruk jalannya di belakang pembawa salib dan lilin, persis di depan selebran yang membawa Sakramen Mahakudus dalam sibori (bukan monstrans) dengan mengenakan velum. Saya pikir ini agar asap dupa lebih dekat dan melingkupi sakramen mahakudus. Tetap bukan untuk mendupai Sakramen Mahakudus ya. Sesekali prosesi ini berhenti, nah saat itulah dilakukan pendupaan terhadap Sakramen Mahakudus, yang harus dilakukan sambil berlutut di hadapannya. Memang, Sakramen Mahakudus hanya didupai sambil berlutut (CE 94), oleh Paus sekalipun.

Sumber: http://tradisikatolik.blogspot.com/search/label/Piranti%20Liturgi

Orang Kudus 23 Juni: St. Yosef Kafasso

Santo yosef kafasso, pengaku iman
Yosef Kafasso lahir di Kastenuovo d’Asti di Piemonte pada tanggal 15 Januari 1811. Pendidikan sekolah menengahnya berlangsung di Chieri. Pada mulanya dia diolok-olok oleh kawan-kawannya karena badannya bungkuk dan kecil. Tetapi ia baik hati dan ramah kepada semua kawannya. Maka lama kelamaan ia mulai dicintai oleh mereka.

Pada umur 20 tahun Kafasso ditahbiskan menjadi imam. Untuk melanjutkan studinya, ia tinggal di kediaman pastor-pastor di Torino. Di sini ia diangkat menjadi pemimpin rumah dan menjadi Pastor Kepala. Semboyannya yang terkenal ialah: “Membantu sebanyak mungkin orang untuk masuk surga.”

Salah satu muridnya yang terkenal ialah Santo Yohanes Don Bosco. Bersama Don Bosco ia mengunjungi rumah-rumah piatu dan merawat anak-anak itu dengan penuh cinta. Ia menaruh perhatian besar terhadap pelayanan sakramen pengakuan bagi para tahanan, khususnya mereka yang dijatuhi hukuman mati. Kepada orang-orang ini ia memberikan bimbingan rohani yang sungguh meneguhkan hati, sehingga mereka menjalani hukuman mati itu dengan iman yang teguh. Oleh bimbingannya pun para tahanan merasakan suatu ketenangan batin yang membahagiakan sehingga mereka dapat mati dengan tenang.

Tentang sifat Kafasso Don Bosco member kesaksian bahwa sebagai pemimpin para imam dan penasehat kawan-kawannya, Kafasso memadukan dalam dirinya sifat-sifat unggul Santo Aloysius Gonzaga, Vincentius a Paulo, Karolus Borromeus dan Alfonsus Ligouri. Setelah lama berkarya sebagai abdi Allah dan sesamanya, ia meninggal dunia pada tanggal 23 Juni 1860.

sumber: Orang Kudus Sepanjang Tahun

Renungan Hari Minggu Biasa XII-C

Renungan Hari Minggu Biasa XII, Thn C/I
Bac I   : Za 12: 10 – 11; 13: 1; Bac II      : Gal 3: 26 – 29;
Injil     : Luk 9: 18 – 24

Sabda Tuhan hari ini mau berbicara kepada kita tentang Yesus Kristus. Berawal dari bacaan pertama, yang diambil dari Kitab Zakharia, sang nabi sudah meramalkan kehadiran Tuhan Yesus yang berasal dari keluarga Daud. Mendengar nubuat Zakharia ini kita langsung teringat akan kisah pembantaian anak-anak kecil usia dua tahun ke bawah oleh Raja Herodes dalam Matius 2: 16 – 18. Dalam nubuatnya, Zakharia sudah mengatakan bahwa Yesus ini berperan sebagai penyelamat dan penebus dosa (13: 1).
Siapa Yesus itu? Inilah yang dijawab dalam Injil. Dalam Injil Yesus menanyakan kepada para murid-Nya siapa diri-Nya. Pertanyaan itu bukan hanya sebatas identitas tetapi juga peran-Nya. Dari Injil kita dapat mengetahui bahwa Yesus adalah Mesias, sang penyelamat (ay. 20). Ada kesesuaian dengan nubuat Zakharia tadi, seakan pernyataan Petrus menegaskan kembali nubuat Zakharia. Akan tetapi, Yesus tidak hanya memperkenalkan diri-Nya, melainkan juga konsekuensi dari perkenalan itu, yaitu mengikuti Dia. Mengenal Yesus berarti mengikuti Dia.
Mengikuti Yesus merupakan akibat dari perkenalan. Hal ini sedikit dibahas dalam bacaan kedua. Dalam dalam suratnya kepada jemaat di Galatia, Paulus mengartikan mengenal Yesus itu dengan istilah baptisan, yang membuat kita menjadi anak-anak Allah (ay.26). Mengikuti Yesus berarti menyangkal diri. Salah satu bentuk penyangkalan diri adalah menerima sesama tanpa pandang bulu. Paulus mengungkapkan bahwa dengan mengikuti Yesus berarti tidak ada lagi semangat pengkotak-kotakan sosial (ay. 28).
Sabda Tuhan hari ini seakan menyadarkan kita akan konsekuensi mengikuti Kristus Yesus. Orang Kristen, lewat sakramen baptis yang diterimanya, sudah mengenal Yesus. Mengenal Yesus berarti harus juga memikul salib, menyangkal diri dan mengikuti Dia. Semangat yang harus dibangun adalah semangat kasih persaudaraan, yang melihat sesama sebagai saudara, karena lewat baptisan kita semua adalah anak-anak Allah. Melalui sabda-Nya, Tuhan menghendaki agar kita menyingkirkan sekat-sekat pemisah dalam kehidupan sehingga terjalin dan terciptalah persaudaraan itu.

by: adrian