Jumat, 22 November 2013

Orang Kudus 22 Novermber: St. Filemon

SANTO FILEMON, REKAN SEKERJA PAULUS
Filemon yang berarti 'yang mengasihi' adalah kawan dan teman sekerja Santo Paulus di Kolose, Turki. Ia seorang Kristen yang kaya raya di dalam jemaat Kolose. Rumahnya sering digunakan untuk merayakan Ekaristi Kudus.

Ia mempunyai seorang budak, bernama Onesimus. Karena sesuatu masalah Onesimus lari ke Roma. Di sana ia ditobatkan oleh Paulus. Setelah itu ia dikirim kembali kepada Filemon dengan sepucuk surat pengantar dari Paulus. Surat itulah 'Surat Filemon' yang diakui juga sebagai salah satu surat pastoral dalam Kitab Perjanjian Baru. Surat Filemon digolongkan ke dalam kelompok 'surat dari penjara'. Di dalamnya Paulus meminta kepada Filemon agar menerima kembali Onesimus. Paulus berharap untuk mempertahankan Onesimus selaku pengantar. Konon, Filemon yang dikenal dermawan ini menjadi uskup dan mati sebagai martir.

Dasar Lugu

Pada suatu hari Thomas pergi ke Jakarta. Di Jakarta ia membeli sebuah HP Nokia 105 yang bisa menangkap siaran radio. Kepada penjual, ia bertanya apakah HP tersebut dapat menangkap siaran radio. Si penjual langsung menunjukkan bahwa ada fitur radio di HP itu. Jadi, bisa menangkap siaran radio.

Dasar si Thomas yang selalu kurang percaya, ia ingin bukti. Karena itu, si penjual mengambil HP itu lalu mencari pemancar radio di Jakarta, melalui mesin pencari manual. Dalam sekejap, muncul 30 pemancar radio FM. Penjual itu menyerahkan headset ke Thomas untuk didengarkan. Thomas merasa senang. Dia pindah dari satu pemancar ke pemancar lain. Semuanya berfungsi. 30 pemancar. Favoritnya adalah Jak.FM.

Keesokan harinya ia pulang ke Bangka. Kepada Yosep ia menyombongkan diri dengan HP barunya.

Thomas          : Bro, HP-ku canggih. Bisa menangkap 30 pemancar radio FM. Kau punya cuma 5.

Yosep              : Ahk masak. Mana buktinya?

Thomas mengambil HP-nya. Dipasangnya headset ke HP dan telinganya, lalu menyetel radio. Ternyata siaran-siaran radio yang waktu didengarnya di Jakarta tak satupun muncul. Dicarinya Jak.FM, yang sudah diberi nomor 24. Tetap tak ada. Dia kebingungan. Yosep hanya senyum-senyum saja.

Yosep              : Coba aku dengar.

Thomas          : Tunggu dulu. Antenanya ketinggalan di rumah.

Thomas pulang ke rumah. Besoknya dia kembali ke Jakarta, ke tempat ia membeli HP itu. Dia marah-marah kepada penjual HP itu. Ia merasa ditipu.

Thomas          : Kau bilang ada 30 pemancar. Kemarin, ketika aku buka di Bangka, tak satupun pemancar yang aku dengar di Jakarta muncul.

Penjual           : Ya jelas donk. Ia hanya menangkap pemancar di mana dia berada.

Thomas          : Ooo, gitu toh!
Jakarta, 16 Nov 2013

Transparansi Keuangan Paroki = Do ut Des?

Gereja adalah bagian dari dunia. Karena itu prinsip-prinsip keduniaan, meski tidak semuanya, dapat diadopsi oleh Gereja. Salah satunya adalah soal transparansi laporan keuangan. Sudah saatnya pengelolaan harta benda Gereja, termasuk keuangan, dilakukan secara transparan agar umat mengetahuinya.
Ada beberapa alasan kenapa Gereja, dalam hal ini paroki, harus transparan dalam pengelolaan keuangan. Pertama, sumber keuangan paroki adalah dari umat (kolekte, intensi, stipendium, donasi, dll). Oleh karena itu, adalah hak umat untuk mengetahui pengelolaan keuangan paroki: berapa yang masuk, bagaimana dikelola, bagaimana pemakaiannya, berapa keluar, berapa hasil akhirnya, dll. Dapatlah dikatakan bahwa transparansi merupakan bentuk akuntabilitas.
Kedua, dengan adanya transparansi keuangan berarti umat dilibatkan; umat menjadi berpartisipasi aktif. Di sini umat akan merasa memiliki Gereja (cinta akan parokinya), melalui kontrolnya atas laporan keuangan yang dibuat secara transparan.
Ketiga, semua manusia memiliki kelemahan, terlebih dalam hal uang. Manusia, sekalipun imam, sangat rentan terhadap penyalahgunaan uang. Karena itu benar kata orang bahwa korupsi tidak pandang bulu. Korupsi bukan hanya milik para pejabat negara, tetapi juga bisa melanda pejabat Gereja (baca: hirarki): uskup, imam dan suster. Dengan adanya transparansi maka bahaya penyelewengan keuangan bisa diminimalisir.
Akan tetapi ada saja orang, bahkan dari hirarki, yang tidak setuju adanya transparansi keuangan. Mereka menilai bahwa di balik transparansi ada prinsip do ut des: saya memberi, maka saya menerima. Artinya, pemberian itu ada pamrih. Jadi, umat yang memberi kolekte, intensi, stipendium, dll, disinyalir memiliki pamrih pribadi, bukan murni persembahan kepada Tuhan, Gereja dan karya pastoral. Pemberian tersebut tidak seperti persembahan janda miskin (bdk. Lukas 21: 1 – 4).
Malahan orang-orang yang menentang transparansi keuangan menggunakan dasar Kitab Suci untuk menguatkan argumennya. Mereka memakai teks “Tetapi jika engkau memberi sedekah, janganlah diketahui tangan kirimu apa yang diperbuat tangan kananmu.” (Matius 6: 3). Teks ini menjadi prinsip dasar kristiani dalam memberi persembahan (kolekte, intensi, stipendium, dll).
Benarkah transparansi keuangan bertentangan dengan prinsip kristiani dalam hal memberi? Pertama-tama perlu dilihat konteks Injil Matius berkaitan dengan persembahan secara keseluruhan. Matius 6: 3 itu berkaitan dengan tradisi memberi sedekah yang merupakan kewajiban bagi orang Yahudi. Keluarnya pernyataan Yesus agar tangan kiri tidak mengetahui apa yang dilakukan tangan kanan, harus dikaitkan dengan kebiasaan orang yang suka pamer dalam memberi sedekah. Sikap pamer ini membuat orang jatuh ke dalam keangkuhan dan kesombongan. Sikap pamer, yang berdampak pada kesombongan diri, inilah yang dikritik oleh Yesus. Untuk menghindari hal ini, Yesus mengajarkan agar persembahan atau sedekah itu diberikan dengan sembunyi, tidak ada orang lain yang tahu. Artinya, sedekah atau pemberian itu bukan untuk pamer.
Transparansi bukanlah bertujuan untuk pamer, apalagi menyombongkan diri. Transparansi, seperti yang diuraikan di atas bertujuan untuk pertanggungjawaban dan menumbuhkan rasa memiliki dalam diri umat. Dengan mengetahui ke mana dan bagaimana penggunaan keuangan paroki, para imam di paroki dapat dihindari dari bahaya penyalahgunaan keuangan paroki.

Karena itu, tidak beralasan tudingan bahwa transparansi keuangan melanggar prinsip dasar kristiani dalam memberi persembahan. Memang, kecenderungan pada ajang pamer dan menyombongkan diri itu ada. Semua itu tergantung pada hati dan motivasi memberinya. Dan janganlah kecenderungan itu menjadi alasan untuk meniadakan transparansi.
Tanjung Batu, 6 Maret 2013
by: adrian

Renungan Hari Jumat Biasa XXXIII - Thn I

Renungan Hari Jumat Biasa XXXIII, Thn C/I
Bac I   : 1Mak 4: 36 – 37, 52 – 59; Injil            : Luk 19: 45 – 48

Sabda Tuhan hari ini berbicara soal tindakan pentahiran atau pembersihan Bait Allah. Dalam bacaan pertama dikisahkan Yudas mengajak saudara-saudaranya untuk membersihkan Bait Allah setelah mereka mengalahkan musuh mereka. Pembersihan ini bukan cuma sekedar dalam arti fisik, membersihkan dari kotoran dan sampah, melainkan juga, dan ini yang utama, membersihkan dari kenajisan. Dengan ini, Bait Allah siap digunakan sebagaimana fungsinya.

Demikian pula dalam Injil. Dikisahkan dalam Injil bahwa Yesus membersihkan Bait Allah. Tindakan membersihkan ini tampak dalam kalimat “mulailah Ia mengusir semua pedagang di situ.” (ay. 45). Sama seperti dalam bacaan pertama, tindakan pembersihan ini bukan hanya dalam arti fisik, melainkan juga batiniah. Para pedagang telah menyalahgunakan fungsi Bait Allah. Karena itu, Yesus berusaha mengembalikan fungsi itu. “Rumah-Ku adalah rumah doa. Tetapi kamu menjadikannya sarang penyamun.” (ay. 46).

Lewat sabda-Nya hari ini, Tuhan menghendaki agar kita senantiasa menjadikan Bait Allah (gereja) sebagaimana seharusnya. Di sanalah kita bisa berjumpa dengan Tuhan dan sesama (lewat perjamuan). Gereja bukan menjadi sarana ajang pamer kemewahan atau talk show fashion. Namun perlu juga diingat adalah bahwa diri kita juga merupakan Bait Allah yang hidup (1Kor 3: 16). Oleh karena itu, hendaklah kita menjaga kebersihan diri kita dari kekotoran dosa.

by: adrian