Sabtu, 29 April 2017

KBG: KARYA ALLAH ATAU IBLIS


Pada 1 – 5 November 2000, bertempat di Wisma Kinasih, Caringin, Bogor, Gereja Katolik Indonesia menyelenggarakan sidang agung dengan tema “Memberdayakan Komunitas Basis Menuju Indonesia Baru”. Sejak itu, Komunitas Basis Gerejawi (KBG) menjadi salah satu cara hidup dan model menggereja. Semangat KBG ini ternyata tidak hanya populer dalam Gereja Katolik saja, melainkan juga Gereja Protestan. Ini terlihat dalam tulisan Rionaldo Sianturi, “Pengembangan Jemaat Melalui Komunitas Basis”.
Salah satu keuskupan di Indonesia, dalam sinode keuskupannya, memutuskan bahwa Komunitas Basis Gerejawi menjadi satu-satunya misi untuk mewujudkan visi keuskupan, yaitu Menjadi Gereja Partisipasi. Komunitas Basis Gerejawi (KBG) merupakan cara hidup menggereja, yang mengacu pada jemaat perdana (Kis 2: 41 – 47). Oleh sinode, KBG dijadikan locus dan mode pastoral di keuskupan tersebut.
Akan tetapi, hingga kini konsep KBG selalu berbeda dari satu Gereja ke Gereja yang lain, dari satu keuskupan ke keuskupan lain. Bahkan dalam satu keuskupan pun terjadi perbedaan dalam aplikasi atau penerapan KBG-nya. Perbedaan-perbedaan ini bukannya menjadi kekayaan, melainkan justru menjadi konflik. Menjadi pertanyaan, apakah KBG itu karya Allah atau iblis.
Perbedaan adalah sebuah keniscayaan. Perbedaan sendiri bukanlah sesuatu yang buruk, melainkan sesuatu yang netral. Baik dan buruknya perbedaan tergantung pada nilai yang terkandung di dalamnya. Perbedaan menjadi baik jika itu melahirkan kekayaan, sedangkan buruk jika ia melahirkan konflik. Jika perbedaan itu menjadi kekayaan, maka di sana ada kasih, karena kasih itu menghargai dan menghormati perbedaan. Konflik dalam perbedaan menunjukkan tidak adanya kasih, karena yang ada adalah kepentingan dan kesombongan (bdk. 1Kor 13: 4 – 5).

PAUS FRANSISKUS: HATI TERTUTUP SULIT TEMUKAN ARTI KEBANGKITAN

Iman kristiani adalah rahmat, dan hanya dapat dirasakan dalam hati oleh mereka yang ingin disentuh oleh kebangkitan. “Hati yang tertutup, yang terlalu rasionalisik, tidak bisa memahami pesan Paskah, yakni cinta Tuhan yang terwujud dalam kemenangan Kristus atas kematian,” kata Paus Fransiskus pada audensi 19 April 2017. “Betapa indahnya untuk mengetahui bahwa esensi dari iman kristiani adalah bukan tentang kita mencari Tuhan, tetapi Tuhan yang mencari kita.”
Dalam renungannya tentang harapan, Paus ke-266 ini mengambil Surat Paulus kepada Jemaat di Korintus, dimana Paulus menekankan kebangkitan sebagai “inti dari iman kristen.” Paus Fransiskus mengungkapkan, “Kristianitas lahir dari sini. Ini bukan sebuah sistem ideologi atau falsafah tapi jalan iman yang berawal dari sebuah kejadian yang disaksikan oleh para murid Yesus.”
Santo Paulus yang mengisahkan tentang mereka yang menyaksikan kebangkitan Kristus pada akhirnya menganggap dirinya sebagai orang yang tidak pantas mengingat bahwa dirinya pernah menjadi musuh bagi orang-orang kristen awal. Paulus bukan seorang anggota paduan suara. Dia seorang pembunuh pengikut Kristus yang bangga dengan keyakinannya. Tapi suatu hari sesuatu yang tidak pernah dibayangkan terjadi, yaitu pertemuan dengan Yesus yang bangkit dalam perjalanan ke Damaskus.
Kejutan dari pertemuan dengan Yesus inilah yang semua orang kristen harus alami, bahkan orang berdosa sekalipun. Seperti para murid yag melihat makan Yesus terbuka, semua orang – baik pria maupun wanita – dapat menemukan kebahagiaan, sukacita dan kehidupan, dimana sebelumnya mereka berpikir hanya ada kesedihan, kekalahan dan kegelapan.