Senin, 18 Desember 2017

INDONESIA HARUS BERTERIMA KASIH KEPADA TRUMP

Keputusan Presiden AS, Donald Trump, yang akan memindahkan kedutaannya ke Yerusalem, membuat dunia bergejolak. Pemindahan tersebut secara langsung berarti mengakui Yerusalen sebagai ibukota Negara Israel. Kritikan dan kecaman mewarnai aksi demo menentang keputusan tersebut. Umat islam se-dunia marah. Ada yang membakar foto gambar Trump. Kedutaan-kedutaan besar Amerika di seluruh dunia dijaga ketat.
Jika dicermati pidato Trump (Rabu, 6 Desember) tentang pengakuan Yerusalem sebagai ibukota Israel, terlihat jelas bahwa keputusan itu hanya sekedar memenuhi janji politik yang sudah disuarakan pada waktu kampanye. Konon, janji itu sudah pernah disuarakan oleh presiden-presiden lainnya, namun hanya Trump yang berani merealisasikan janjinya. Memenuhi janji kampanye adalah lumrah dalam dunia politik, sama seperti mengingkarnya. Hal ini tak jauh beda dengan apa yang dilakukan oleh Anies Baswedan, Gubernur DKI Jakarta, ketika menutup Alexis. Penutupan itu merupakan bentuk pemenuhan atas janji kampanye Anies, yang dilontarkannya pada waktu debat publik.
Menghadapi keputusan Trump tersebut, Organisasi Kerjasama Islam (OKI) menggelar sidang darurat di Turki. Dalam sidang itu dihasilkan keputusan, bukan hanya sekedar mengutuk keputusan Trump, melainkan juga menetapkan Yerusalem sebagai ibukota Palestina. Keputusan OKI yang mengakui Yerusalem sebagai ibukota Palestina, jelas membuat OKI tak jauh beda dengan Trump, yang mereka kutuk. OKI sama buruknya dengan Trump. Keputusan OKI seperti aksi balas dendam atas apa yang dilakukan oleh Trump. Inilah hukum rimba: mata ganti mata, gigi ganti gigi.
Di sela-sela aksi kecam terhadap keputusan Trump tersebut, muncul berita yang menarik, yaitu sebuah buku pelajaran SD kelas VI, yang di dalamnya menyatakan bahwa Yerusalem adalah ibukota Israel. Konon buku itu sudah ada sejak tahun 2008, nyaris satu dekade sebelum pernyataan Trump. Artinya, jauh sebelum pengakuan Trump, sebagian pelajar Indonesia sudah mengetahui bahwa Yerusalem adalah ibukota Israel. Dengan kata lain, Trump terlambat mengakui ibukota Israel adalah Yerusalem.
Pengakuan Yerusalem sebagai ibukota Israel, yang sudah ada sejak tahun 2008, sama sekali tidak menimbulkan gejolak. Jangankan di dunia, publik islam Indonesia pun tenang-tenang saja. Padahal, pusat penerbit Yudhistira itu ada di Ciawi, Bogor, dimana islam merupakan mayoritas. Namun, pengakuan penerbit Yudhistira sama sekali tidak dikecam atau dikutuk. Akankah ada penerbit islam yang akan menerbitkan buku pelajaran dan mencantumkan bahwa Yerusalem itu ibukota Palestina, seperti aksi OKI?
Tidak ada aksi demo ke penerbit Yudhistira. Tidak ada aksi anarki. Semua hanya menyayangkannya saja. Beda dengan yang dialami oleh Trump. Mungkin perbedaan ini disebabkan karena Trump itu kafir, sedangkan Yudhistira bukan.
Akan tetapi, dengan adanya pengakuan Trump (Rabu, 6/12), pelajar SD Indonesia, khususnya yang menggunakan buku-buku terbitan Yudhistira, akhirnya tahu fakta sebenarnya. Yerusalem bukan ibukota Israel. Dengan kata lain, Trump telah membuka wawasan anak-anak SD dan juga pemerintah Indonesia. Jika tidak ada Trump, dengan keputusannya mengakui Yerusalem sebagai ibukota Israel, anak-anak kita selamanya tahu bahwa ibukota Israel adalah Yerusalem. Karena itu, Indonesia harus berterima kasih kepada Trump.
Koba, 16 Desember 2017
by: adrian

HALANGAN NIKAH GEREJAWI (2)

Halangan nikah dibuat Gereja karena Gereja berkewajiban untuk melindungi umatnya dari bahaya yang mengancam hidup iman dan kesejahteraan hidup umatnya. Beberapa halangan nikah gerejawi sudah dibahas, kini yang lainnya, yaitu:
Halangan penculikan. Halangan ini hanya berlaku jika wanita menjadi korban penculikan. Jadi, pria menculik wanita dan memaksanya untuk menikah dengan dia. Tindakan ini dihalang oleh hukum, karena telah menghilangkan kebebasan pihak wanita. Kawin lari tidak termasuk halangan, karena pihak wanita memang menghendaki demikian sebagai cara untuk bisa menikah. Halangan ini terhapus jika pihak wanitanya sungguh memperoleh kebebasan untuk menentukan kehendaknya.
Halangan hubungan semenda. Kematian memang membawa status liber, sehingga orang bisa menikah lagi. Namun hak itu bisa dihalangi oleh hubungan semenda. Halangan ini dikenakan pada pernikahan (1) antara menantu dan mertua, (2) antara ibu dan anak tiri, yakni anak yang dibawa suami dari pernikahan sebelumnya, (3) antara ayah dan anak tiri, yakni anak yang dibawa ibu dari pernikahan sebelumnya. Halangan ini bisa dihapus dengan dispensasi yang dikeluarkan oleh Ordinaris Wilayah.
Halangan usia. Hukum Gereja menetapkan pria yang belum genap 16 tahun, dan wanita yang belum genap 14 tahun tak bisa menikah dengan sah. Artinya, yang belum berusia itu dihalang haknya untuk menikah. Dasar halangan ini adalah bahwa pernikahan pertama-tama menuntut adanya kematangan biologis-seksual untuk melakukan tugas pernikahan. Namun Gereja juga melihat bahwa relasi seksual mengabdi kepada tujuan yang lebih besar, yaitu membangun keharmonisan suami isteri. Karena itu, kematangan psikologis jauh lebih penting dan esensial daripada kematangan fisik-biologis.
by: adrian