Rabu, 03 April 2013

Patung Yesus Kerahiman Ilahi




Agar Anak Sehat dgn Televisi

AGAR ANAK “SEHAT” DENGAN TELEVISI

Sebagai orang tua, wajar bila Anda ingin memberikan yang terbaik untuk putra-putri tercinta, apalagi bagi suami istri yang bekerja. Pasangan ini kerap dihinggapi perasaan “bersalah” karena tidak meluangkan banyak waktu untuk berkumpul dengan si buah hati. Konsekuensinya,mereka kerap memberi kebebasan atas apa yang anaknya inginkan, termasuk ketika melihat acara televisi.

Alih-alih anak sering dianggap penurut bila mereka senang beraktivitas di rumah, tidak suka melayap keluar. Namun, jangan salah, meski di rumah pun, jika Anda kurang mengawasinya, akan ada saja bahaya mengintai.

Salah satu bahayanya berasal dari acara televisi yang bisa memberi dampak negatif (terutama tayangan sarat aksi kekerasan, kejahatan dan seksual) khususnya untuk anak-anak balita hingga usia sekolah dasar. Di usia inilah mereka sangat responsif dan mudah meniru apa yang dilihat di depan mata.

Sejumlah riset menunjukkan bahwa menonton televisi bisa mengganggu kesehatan fisik buah hati. Anak yang menonton televisi lebih dari dua jam diduga beresiko lebih tinggi menjadi perokok dan mengalami gangguan obesitas. Ketika mereka beranjak dewasa, kecenderungannya akan lebih beresiko untuk memiliki kolesterol tinggi.

Televisi pun bisa mencegah anak untuk mempunyai daya imajinasi yang tinggi. Menurut Dr Alicia Christine, dalam bukunya The Golden Rules to Raise Your Children, terdapat penelitian terhadap anak pencandu televisi (menonton lebih dari tiga jam sehari) cenderung kurang imajinatif ketimbang anak yang hanya menonton satu jam atau kurang setiap hari.

Sebenarnya tidak semua program televisi berdampak jelek pada anak karena ada banyak pula acara edukatif yang bisa dilihat. Akan tetapi, sebagai orang tua, Anda perlu mengawasi si kecil agar kenyamanannya terjamin penuh.

Ada beberapa resep praktis yang bisa dilakukan untuk mengontrol tontonan si buah hati. Pertama, paling tidak Anda perlu menonton satu atau lebih episode dari acara yang digemari anak Anda.

Cobalah diskusikan acara tersebut dan ajari anak untuk mempertanyakan pesan acara itu. Masalah-masalah yang sensitif pun bisa Anda bahas secara terbuka bersama anak seperti masalah stereotip, bias gender dan perilaku destruktif dengan suasana yang akrab.

Langkah lainnya adalah menetapkan batas jam dan durasi menonton. Misalnya, lewat pukul sembilan malam, anak harus sudah masuk kamar untuk bersiap tidur. Paling tidak berikan waktu maksimal dua jam sehari untuk menonton televisi dengan catatan anak sudah menyelesaikan tugas sekolah. Saat musim liburan, anak-anak bisa diberikan “bonus” tambahan waktu untuk menonton satu sampai dua jam (tidak sampai larut malam), asalkan Anda dapat menemani. Jika tontonan dirasa tidak tepat, Anda wajib melarang si kecil untuk melihatnya.

Catatan lain, jangan pernah terpikir untuk menyediakan televisi di kamar tidur anak. Apabila terwujud, hal ini justru akan menyusahkan Anda untuk mengontrol acara apa yang dilihat anak. Jika perlu, Anda dapat merekolasi televisi ke tempat yang kurang menarik bagi anak, misalnya di ruang bawah tangga tanpa dilengkapi karpet dan sofa di depannya.

Bila Anda melihat anak tertarik dengan sebuah program televisi yang menghibur dan mendidik, berikanlah “hadiah” dengan merekam episode favoritnya. Tak lupa, Anda dapat mengajarkan anak untuk membuat jadwal dan membuat pilihan tentang apa yang mereka tonton. Dengan cara ini, anak akan merasa diberikan kebebasan sekaligus belajar bertanggung jawab. Langkah terakhir biasakan untuk menghidupkan televisi jika acara yang terjadwal sudah dimulai dan matikan jika sudah selesai. (AJG)

sumber: KOMPAS, 17 Juli 2012, hlm 33

Bahaya Televisi

MATIKAN TELEVISIMU
KUMPULAN ARTIKEL YANG MEMBANTU ANDA BAHWA BANYAK ACARA TELEVISI YANG MERUSAK PRIBADI MANUSIA

Kamis, 2009 Januari 08

DIA OM ATAU TANTE SIH???

Sumber : Koran Sindo
Jum’at, 12 September 2008 - 09:30 wib

SUATU hari seorang bocah bertanya kepada ibunya.”Bu, dia itu sesungguhnya om atau tante, sih?” Pertanyaan itu muncul setelah anak tadi sering menonton acara televisi dan pembawa acaranya sering berganti peran, kadang sebagai sosok laki-laki, lain kali sebagai perempuan.

Sekali waktu tampil gagah, pada waktu yang lain tampil cantik. Kebetulan kedua peran itu memang mengesankan sempurna, sehingga bocah tadi-dan mungkin sekali dia mewakili sekian banyak penonton lain-menjadi bingung.

Tidak bisa membedakan, presenter tadi laki-laki ataukah perempuan? Cerita tadi saya terima dari putri saya yang kebetulan seorang psikolog yang kini aktif di Yayasan Buah Hati bersama Ibu Elly Risman, psikolog senior yang sangat peduli dengan program pelatihan parenting berdasarkan nilai-nilai spiritual.Dari sudut pandang psikologi, yang memprihatinkan sesungguhnya bukan saja anak yang bingung tadi, melainkan juga perkembangan kepribadian selebriti yang kerap memainkan peran ganda dan sering bertingkah laku layaknya seorang “waria”: jenis kelamin boleh pria, bertingkah laku layaknya wanita.

Bahkan tingkahnya lebih kenes ketimbang umumnya wanita. Menurut nasihat psikolog, bagaimanapun sebuah peran yang diulang-ulang akan memengaruhi kepribadian seseorang. Jika seorang aktor atau aktris, baik sinetron maupun film sering kali berperan sebagai sosok pahlawan, misalnya, pasti akan berpengaruh ke dalam dirinya.

Sebab, dia dituntut untuk menjiwai alur cerita agar permainannya total dan bagus. Jadi, dalam peran itu ada proses peniruan dan identifikasi diri. Konon, ceritanya beberapa aktor kawakan kelas Hollywood seperti Antony Quinn, pribadinya berubah setelah memerankan sosok semacam Hamzah dalam film kolosal The Message.

Begitu pun aktor lain yang memerankan Saladin, ataupun Mahatma Gandi. Mereka menjadi lebih bijak dalam menjalani dan memaknai kehidupan. Pandangannya terhadap dunia Timur juga berubah. Mungkin sekali hal itu dipengaruhi oleh pemahaman dan penghayatan terhadap peran yang dimainkan.

Hiburan Cerdas dan Edukatif
Berdasarkan survei yang dilakukan Elly Risman di tujuh provinsi, adegan “kebanci-bancian” dalam acara televisi itu lama-lama bisa diterima sebagai hal yang biasa, bahkan dinikmati penonton. Acara itu menjadi tontonan keluarga.

Maklum, menonton televisi sudah membudaya di masyarakat, telah menjadi bagian dari agenda hidup keseharian sebagaimana makan dan tidur. Namun, pertanyaan Elly Risman, sadarkah pihak orangtua dan pengelola televisi akan akibat psikologis yang ditimbulkan oleh acara itu, khususnya terhadap perkembangan anak? Anak-anak dan orangtua akan kehilangan kepekaan gender dan moral.

Bahkan potensial mengganggu proses identifikasi jati diri karena bagaimanapun para selebriti itu menjadi salah satu model bagi anak-anak. Adapun terhadap “gay” yang senang pada praktik homoseksual, di kalangan psikolog sendiri muncul sikap pro-kontra. Ada yang mengatakan hal itu disebabkan kelainan jiwa yang bersifat bawaan, sehingga keberadaan mereka pantas dikasihani.

Jiwa wanita tetapi berada dalam tubuh laki-laki. Ada juga yang berpendapat, perilaku menyimpang itu semata produk lingkungan dan pendidikan. Terlepas dari pro-kontra tadi, selebriti yang sengaja tampil dengan peran berganti-ganti kelamin pada dasarnya laki-laki tulen namun senang berpenampilan sebagai perempuan, pantas dipertanyakan.

Mereka tampil seperti itu semata untuk mengundang tawa pemirsa, namun kurang menyadari bahwa hal itu telah membuat orangtua resah karena efek negatif yang ditimbulkan terhadap anak-anak. Ada anak laki-laki yang minta mengenakan pakaian perempuan dengan segala aksesorinya, ingin meniru apa yang dilihat di televisi.

Jika ini berkelanjutan, maka baik selebriti yang melakukan maupun anak-anak yang jadi pemirsa, akan mengalami perkembangan pribadi yang tidak normal. Dari sisi jumlah, selebriti yang senang dengan peran ini mungkin tidak banyak. Pemirsa pun mungkin bisa menghitung dan hafal nama-nama mereka.

Tetapi bagaimana dengan pihak anak-anak yang jadi penonton? Jumlahnya pasti lebih banyak. Apakah para selebriti itu juga senang kalau anak-anaknya nanti tumbuh dengan kepribadian ganda? Menarik direnungkan, terdapat pendapat dari kalangan kritikus panggung, pelawak yang tidak kreatif dan tidak cerdas, jika kekurangan bahan lawakan maka cenderung menyajikan lawakan yang bersifat porno atau bertingkah yang paradoksal semacam laki-laki lalu jadi “wanita”.

Padahal pelawak yang memang berbakat dan cerdas, untuk menjadi lucu tidak mesti menyinggung hal-hal porno. Kalaupun menyinggung, caranya tidaklah vulgar. Para psikolog, pendidik dan ahli agama rasanya perlu duduk bersama menyikapi fenomena “waria” dalam acara televisi ini.

Diperlukan pendekatan yang bijak dan penuh empati, bukan dengan kebencian dan penghakiman. Ajak dialog baik-baik tanpa merendahkan pihak lain. Pasti banyak pelajaran dan penjelasan ilmiah mengapa mereka bertingkah seperti itu serta akibat negatif apa saja yang ditimbulkan.

Komaruddin HidayatRektor UIN Syarif Hidayatullah(//mbs)

***

 

AWAS SINETRON

HINDARI SINETRON..!!!

Tayangan televisi mempengaruhi tingkah laku anak-anak bukan hanya berasal dari acara yang terkait dengan kekerasan seperti Smack Down. Televisi menghasilkan ragam acara mempengaruhi tingkah laku anak-anak dari yang masih ingusan sampai yang beranjak remaja. Salah satu acara televisi mempengaruhi anak-anak adalah sinetron. Sinetron merupakan salah satu tayangan yang dominan mengisi tayangan di saluran stasiun televisi. Laporan departemen komunikasi dan informatika menyatakan 30% dari tayangan televisi berisi sinetron dan 39% iklan. Tayangan yang mengandung unsur pendidikan hanya 0,07% berbicara soal pendidikan. Sinetron cenderung merujuk pada ide yang sama.

Sinetron menampilkan judul dengan ide nama tokoh yang cenderung sama, misal Cinderella, Diva, Bunga. Dan bakal muncul nama-nama lainnya. Tokoh-tokoh diusahakan akrab di telinga agar ditonton oleh anal-anak dan remaja. Tokoh ditampilkan dengan karakter laki-laki ganteng dan pemimpin perusahaan atau laki-laki dari golongan menengah ke atas dengan gaya mentereng, sedangkan perempuan ditampilkan cewek cantik yang kurang mampu atau cewek cantik yang kaya dengan gaya yang manja. Gejala ini menurut Miftahussurur dkk (2007:12) menyatakan tayangan layar kaca sebenarnya lebih merupakan dunia ide atau dunia imajiner. Cerita sinetron bukan berdasarkan kenyataan sebenarnya, tetapi lebih mementingkan selera pasar dan iklan.

Berita di harian kompas membuat penulis tertarik membahas sinetron. Semua gejala yang terdapat pada sinetron sangat mempengaruhi apa yang dicerna oleh anak-anak dan remaja. Harian Kompas (15/01/08) memberitakan bahwa enam puluh persen tayangan televisi maupun media lainnya telah membangun dan menciptakan prilaku kekerasan. Penyimpangan prilaku tidak hanya berupa tindak kekerasan, tetapi juga kata-kata kasar dan tidak pantas. Rusdi Muchtar melakukan penelitian di Medan, Makasar, Palembang, dan Bandung tayangan berbau kekerasan cenderung mempengaruhi anak-anak remaja. So, perhatikan setiap tayangan TELEVISI, atau seperti kata kak Seto.... MATIKAN TV ANDA.

***


 JAUHKAN TV DARI BAYI

KapanLagi.com - Meski sudah banyak diciptakan acara khusus televisi dan rancangan film untuk bayi, tetap tak bisa mengubah pemikiran bahwa televisi bisa membawa dampak buruk bagi otak si kecil. Menurut sejumlah dokter spesialis yang dimuat dalam majalah kedokteran Jerman awal pekan ini secara tegas menyebutkan bahwa televisi secara mendasar tidak baik bagi otak bayi.

"Acara khusus televisi dan DVD rancangan khusus bagi bayi yang mengklaim dapat meningkatkan perkembangan otak secara nyata lebih membawa pengaruh buruk bagi perkembangan otak bayi," demikian pernyataan dokter ahli yang dimuat dalam majalah Neu-Isenburg.

Bayi belajar mengalami gangguan dari televisi, kata laporan ilmuwan yang mengacu kepada daya kerja otak yang merupakan penelitian Profesor Manfred Spitzer dari Ulm. Menurut Manfred Spitzer bayi tak dapat memproses rangkaian dari tampilan benda maupun suara dari televisi.

Spitzer mengatakan dalam satu penelitian di Amerika Serikat sekelompok bayi yang memiliki kisaran umur sembilan hingga 12 bulan dibacakan cerita dalam bahasa China sementara sekelompok bayi lainnya mendengarkan cerita yang sama dari sebuah televisi.
Bayi-bayi dari kelompok pertama dalam waktu dua bulan berselang dapat mengenali suara dalam bahasa China namun kelompok dua yang melulu hanya mendengarkan dan melihat tampilan layar di televisi tidak mempelajari apapun.

Para peneliti otak mengatakan bahwa letak televisi yang salah dapat berbahaya apabila seorang dewasa membacakan cerita bagi bayinya. Menurut satu penelitian lainnya yang melibatkan 1000 keluarga yang memiliki bayi dengan kisaran usia delapan hingga 16 bulan yang secara berkala dibacakan cerita, maka anak-anak tersebut mengenali atau mengetahui jumlah kata 8 persen lebih banyak dari rata-rata.

Jumlah perbendaharaan kata anak-anak yang banyak melihat acara Baby TV atau DVD yang khusus diperuntukkan bagi bayi adalah 20 persen lebih rendah dari jumlah kata yang dimiliki anak-anak secara rata-rata.

Matikan Televisimu!!

MATIKAN TV-MU SEKARANG!!!

Keselong 
Tuan-tuan. Suatu hari di kampung saya gempar. Anak-anak menghilang secara tiba-tiba. Tidak ada lagi yang berkeliaran di jalanan dengan teriakan-teriakan khas anak-anaknya. Tidak ada lagi yang berlarian di pematang sawah atau bersepeda di jalan-jalan kampung. Kampung jadi sepi dari rengekan mereka meminta uang pada ibunya atau ketika jatuh kesakitan. Semakin lama suasana pun semakin sepi akan suara dan tawa mereka, hanya suara orang tua mereka yang semakin panik dan riuh berdengung kerena anaknya hilang. Mereka kini berkumpul di rumah Pak Lurah.
“Tidak salah lagi, anak dikampung ini keselong!” Kata seorang tua yang berpakaian serba hitam di sepan rumah Pak Lurah. Ki Jenggot, begitu mereka menyebutnya. 
Tiba-tiba saja suasana menjadi semakin riuh seperti lebah yang bergerumun. Masyarakat semakin cemas akan anak-anaknya. Mereka tidak tahu apa yang harus mereka lakukan untuk menemukan anak-anak mereka.
Tulisan di atas saya kutip dari sebuah cerita pendek yang sempat saya baca beberapa hari lalu. Cerpen ”Keselong” karya Yons Ababil itu saya dapatkan dari sebuah majalah tengah bulanan nasional. Tiba-tiba, ketika sampai pada batas ini, saya tersentak. Lho! Bukannya ini memang benar-benar sedang terjadi? Ya, sedang terjadi di waktu kita bernafas dan di tempat kita berpijak. Tidak salah lagi, di sini. Anak-anak kita sedang menghilang. Entah siapa yang membawa mereka dari sini, pangkuan kita. Juga entah, mereka keselong (disembunyikan makhluk halus) atau tidak, seperti dalam cerpen ini. Yang jelas penulis di sini telah mengingatkan kita akan satu hal ini.
Bukankah mereka masih ada. Masih bisa kita lihat mereka bermain sepak bola dekat lapangan Pak Kepala Desa? Mereka juga masih ramai bersepeda di jalanan ketika pagi menuju ke sekolah? 
Jika itu pertanyaan yang tiba-tiba muncul dan berontak untuk segera keluar, maka jawabannya, tidak. Mereka memang masih bisa kita lihat dengan mata telanjang. Tapi coba rasakan, hawa mereka tidak lagi terasa. Hawa khas anak-anak ketika bergerak berloncatan ke sana kemari. Ketika berteriak meneriakkan keinginannya. Bisa dikatakan jiwa mereka yang telah hilang. Entah siapa yang telah mengambilnya diam-diam dari kita. Kemudian menukarnya dengan jiwa-jiwa misterius yang tidak pernah kita ketahui. Anak-anak bukan lagi anak-anak kita dulu. Mereka telah benar-benar berubah. 
Ingat-ingat saja tentang berita yang muncul setiap pagi di rubrik berita kriminal, hampir setiap hari kita akan melihat, beberapa kasus kejahatan yang sudah sering dilakukan anak-anak. Sebut saja seperti mencuri, mengedarkan sekaligus memakai narkoba, bahkan sampai berani berpesta seks di kelas. Semua pekerjaan yang sebenarnya juga tidak pantas untuk dilakukan orang dewasa. Tidak hanya itu anak-anak sekarang adalah anak yang kecanduan dengan sesuatu bernama hiburan, juga segala sesuatu yang bersifat konsumtif. Meskipun tidak semua mengalami kejadian seperti itu, tapi ini patut untuk kita khawatirkan. Karena melihat begitu pesatnya virus ini menyebar, rasanya tidak akan lama lagi seluruh anak-anak di negeri ini akan menjadi korban.  
Matikan TV-Mu
“Saudara-saudara, memang benar apa yang dikatakan Ki Jenggot. Anak-anak kita keselong. Tapi kita tidak akan pernah menemukan mereka di tempat-tempat yang kita cari sedari tadi. Tidak di pohon-pohon beringin atau batu-batu yang kita keramatkan. Makhluk-makhluk itu kini sudah mempunyai tempat baru yang lebih nyaman bagi mereka.” 
“Lalu dimana anak kami Wak?”
“Ayolah Wak tolong kami”
“Di mana anak kami Wak?”
“Ikuti saya ! “
Lalu seseorang yang biasa dipanggil Wak Haji Muksin itu masuk ke dalam rumah Pak Lurah. Sebagian masyarakat yang berada di luar ikut masuk menuruti keingintahuannya, sampai berdesak-desakan. Padahal masih banyak sekali orang lain yang masih berada di luar. Apa yang kira-kira akan dilakukan olehnya. Wak Haji Muksin lalu mendekati sebuah benda berwarna hitam berkaca dengan beberapa tombol di sisinya. Masyarakat yang melihatnya semakin bertanya-tanya apa yang sebenarnya terjadi.
“Di sinilah anak-anak kalian disembunyikan.” kata Wak Haji sambil mengangkat benda itu tinggi-tinggi.
“Lho, Wak Haji, bukankah itu televisi?”
“Siapa bilang ini gethuk”
“Jadi ada dimana sebenarnya mereka wak?”
“Ayolah wak buktikan kata-katamu.”
Lalu Wak Haji Muksin mengangkat lagi benda itu lebih tinggi dan membantingnya ke lantai. Pak Lurah mencoba menahannya, tapi sudah terlambat. Benda bernama televisi itu sudah hancur berkeping-keping. Kini semua memperhatikan pecahan televisi pak lurah di lantai tanpa ada suara.
Tiba-tiba muncul Ria dan Husein dari kepingan pecahan kaca televisi itu. Semua terperanjak. Bu Lurah dan suaminya, Pak Lurah, langsung memeluk kedua anaknya itu sambil menciumnya berkali-kali. Saluruh masyarakat yang mengetahuinya tersentak kaget.  
Sekali lagi saya tersentak, sebagaimana orang-orang di sana kaget kerena tidak pernah menyadarinya lebih dulu. Sekali lagi saya merasa kejadian pada kelanjutan cerpen tadi juga benar-benar terjadi di dunia kita. Ya, televisilah pelakunya. Penyebab dari kebingungan kita menemukan anak-anak kita yang telah ia bawa pelan-pelan dari rumah kita berkedok musuh dalam selimut. Televisi yang sengaja disediakan di rumah untuk membantu menyegarkan pikiran, sebagai media hiburan, menambah ilmu pengetahuan, fasilitas penambah pengetahuan tentang informasi dari seluruh dunia, ternyata malah menyembunyikan jiwa-jiwa original anak-anak kita. Lalu menukarnya dengan jiwa-jiwa bermental uang, baju bagus, kekuasaan, senang-senang tanpa memikirkan masa depan. 
Maka segera matikanlah televisimu. Matikan segera sebelum ia kembali dan meracuni anak-anak kita dengan berbagai macam racun mematikannya. Yang dengan dosis tingginya bisa dengan segera merasuk ke dalam pikiran anak dan merubahnya menjadi makhluk lain. Padahal, seperti yang sudah kita ketahui, merekalah calon-calon kuat pengganti generasi-generasi tua yang tidak lama lagi akan semakin rapuh dan berhenti bernafas dimakan usia. Mereka harus benar-benar dipersiapkan untuk itu. Dalam hal ini, Seto Mulyadi (Komnas Perlindungan Anak), juga mengakui bahwa tayangan televisi berpengaruh terhadap pola perilaku anak-anak atau remaja. 
Kalau masih belum percaya, coba saja ingat-ingat apa yang telah televisi sajikan kepada kita akhir-akhir ini. Tayangan berita-berita kriminal, yang semakin mengajari anak-anak kita untuk berani melakukan tindakan-tindakan kekerasan. Atau sinetron-sinetron dengan tema tetap, tanpa perubahan di setiap sinetronnya. Hanya tentang cinta, harta, kekuasaan, kemudian tokoh antagonis melakukan segala cara untuk menang, hingga akhirnya begini, begini dan begitu. Seakan sudah bisa ditebak. Dan parahnya lagi, hanya sedikit saja perilaku yang berbau edukatif. Karakter negatif lebih sering muncul daripada karakter positif. Juga banyak ditemukan unsur kental seksualitas. Tercatat dalam sebuah penelitian, sikap berpakaian tidak senonoh 49 % dari 196 pemunculan, merayu 14 %, merangkul 11 %, menatap penuh hasrat terhasap lawan jenis 11 % (Republika, 30 Desember 2005). Tidak seperti yang orang tua harapkan pada sebuah televisi ketika membelinya. Sehingga tayangan yang lebih banyak mendominasi tayangan-tayangan televisi tersebut mengajak anak untuk meniru apa yang ada di dalamnya. Dari cara berpakaian, menggunakan uang jajan, budaya konsumtif, juga dalam menghadapi sebuah masalah atau menjatuhkan lawan dengan segala cara. Apalagi, seperti yang ditulis oleh Ahmadun Yosi Herfanda, ada kira-kira 140 sinetron jiplakan yang beredar di Indonesia. Baik dari tema, cara bersikap, sampai alur cerita dan model tokohnya. Selain menunjukan bahwa itu adalah bukti kekurangkreativan SDM industri persinetronan kita, ini juga menyatakan bahwa kebanyakan unsur-unsur budaya yang menyebar lewat sinetron adalah bukan dari negeri sendiri. Melainkan budaya asing yang sangat jelas banyak berlawanan dengan budaya asli kita.
Juga reality show yang mulai menjamur akhir-akhir ini. Yang mengedepankan bagaimana mendapatkan uang dengan mudah tanpa harus berusaha keras. Hanya tinggal melakukan apa yang dikatakan oleh presenter. Jika bisa, maka dalam waktu sekejap uang yang cukup banyak bisa diperoleh. Memang itu akan membantu sang pemenang dalam kebutuhan hidupnya. Tapi, pelan-pelan sang pemirsa akan termakan doktrin bahwa mencari uang dan apa yang kita inginkan tidak perlu dengan bekerja keras, hanya cukup mempersiapkan diri mengikuti acara-acara semisal yang kini sudah bisa dijangkau dengan mudah di berbagai tempat, juga dengan berbagai media. Selain langsung, melewati HP misalnya, atau lewat E-mail. Menjadikan pemirsa yang terpancing untuk itu berhenti memprioritaskan bekerja keras untuk mencapai tujuan. Mematikan aktif mereka dan menghidupkan budaya pasif.
Televisi juga media yang cocok untuk menyebarkan virus pornografi dan pornoaksi yang semakin menebal saja di negara kita. Kita telah tahu sendiri bagaimana dampak keduanya bagi anak dan remaja-remaja kita.
Maka, kini kita semakin tahu akan bahaya yang mengancam. Segeralah matikan televisimu. Dan sebenarmya bukan hanya itu, masih ada film-film berbau klenik yang bertebaran di setiap stasiun televisi. Yang semakin menambah sosok aneh dalam dunia anak-anak. Juga ada tongkat-tongkat ibu peri yang bisa menolong siapa saja yang kesulitan. Tanpa berusaha lebih keras, hanya tinggal memanggilnya & meminta tolong untuk mengerjakan ini dan itu. Maka ia mendapatkan segalanya.
Intinya, menonton televisi membuat kita menjadi pasif, juga anak-anak. Seorang penonton televisi hanya tinggal diam dan memikirkan, apa yang akan masuk ke pikiran hari ini? Sekali lagi matikan televisimu sekarang juga.
Kemudian, ada satu hal yang mengganjal di benak saya. Sebuah pertanyaan yang mungkin akan muncul pada setiap orang dewasa maupun anak-anak. Yaitu, bagaimana kita bisa hidup tanpa televisi? Bagaimana kita bisa langsung mamatikan televisi begitu saja? Benda yang menghiasi hari-hari kita di rumah. Hidup akan sangat tidak berwarna. Akan terasa tawar jam-jam yang kita lalui setiap harinya. Kita tidak akan bisa lagi menikmati acara-acara hiburan ketika lelah dan capek, tidak bisa lagi memenuhi otak kita dengan beragam informasi yang tersaji begitu rapi, kita hanya tinggal duduk dan bersiap menonton dan mendengarkannya dengan seksama. Saya juga seorang anak. Saya juga tahu rasa tentang bagaimana hidup tanpa televisi. Pasti akan sangat sulit sekali dan memberatkan. Saya tidak akan lagi bisa menonton acara-acara favorit saya yang menghiasi hari libur, tidak bisa lagi berdiskusi dengan teman-teman tentang film yang ditayangkan di sebuah stasiun televisi tadi malam. 
Tidak terasa memang, televisi telah begitu dekat dengan kita. Seakan-akan telah menjadi kebutuhan primer. Ya, kebutuhan pokok manusia ketika hidup. Sejajar dengan pakaian yang kita pakai, makanan dan tempat tinggal. Televisi telah menjadi bagian hidup kita yang tidak bisa kita tinggalkan begitu saja.
Kemudian Bagaimana?
Setelah beberapa minggu, penduduk kampung ini sudah bisa hidup normal tanpa televisi. Anak-anak kini sudah kembali mewarnai kehidupan kami. Mereka juga mulai rajin mengaji di musholla menjelang maghrib. Para orang-orang tua juga mulai meramaikan majlis-majlis taklim. Tidak ada lagi keributan yang berarti semenjak kejadian dulu.
Sekarang aku sedang berada di pasar melanjutkan usahaku sebagai penjual. Tiba-tiba  ada kabar yang menggemparkan seluruh pasar. Anak-anak di kecamatan menghilang tanpa jejak. Ah tidak! Ternyata bukan cuma di kecamatan, tapi juga di kabupaten, juga provinsi, bahkan seluruh negeri. Negeri ini menjadi sepi dari suara anak-anak. 
Akhirnya seluruh warga kampung aman dari suara-suara bising televisi. Tapi, kejadian hilangnya anak-anak ternyata malah meluas. Bukan hanya di kampung itu saja. Tapi ke daerah-daerah lain di seluruh pelosok negeri. Dan akhirnya, kabar bahwa anak-anak disekap di dalam televisi menyebar. Bisa dipastikan setelah itu, jika seluruh orang tua masih menginginkan anaknya, maka ia harus rela mengorbankan televisi yang sudah menjadi bagian hidupnya demi kehadiran anaknya kembali.
Mungkin di sinilah seharusnya saya, dan mungkin kita, tidak sependapat dengan si penulis cerpen. Biar bagaimanapun, televisi adalah bagian hidup kita. Dan tidak mungkin untuk dihilangkan begitu saja. Saya yakin, penciptaan televisi dilakukan untuk bisa diambil manfaat sebesar-besarnya darinya. Bukan dengan sengaja menghancurkan generasi yang nantinya akan menggantikannya. Jadi pasti ada masalah di dalam perantara antara penyelenggara penyiaran televisi dengan pemirsa televisi di rumah-rumah. 
Banyak sekali yang berhubungan dengan sebuah kotak mungil berkaca bernama televisi ini. Yang biasa kita singkat dengan TV saja. Yang pertama yang tidak mungkin bisa lepas darinya adalah organisasi penyiaran itu sendiri. Karena merekalah yang memegang kendali jalannya TV. 
Ini juga ada hubungannya dengan pemerintah, selaku wakil-wakil rakyat yang diutus untuk memberikan manfaat yang sebaik-baiknya dan sebesar-besarnya, mereka harus memberi kebijakan yang jelas dan aplikasinya yang riil dan nyata di lapangan. Tentang mereka yang melanggar peraturan penyiaran, maka harus ada sanksi tersendiri. Dan jika ada sebuah stasiun televisi atau acara yang terbukti mengamalkannya dan berhasil untuk bermanfaat bagi penontonnya, maka penghargaanlah yang mereka peroleh. Dalam hal ini Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) menampakkan dirinya. Mereka memperingatkan stasiun-stasiun televisi untuk tidak melanggar Pedoman Perilaku Penyiaran Dan Standar Program Siaran (P3SPS), jika masih saja belum di respon, maka jalur hukum akan ditempuh, dengan konsekuensi, izin tayang akan dicabut. Tapi ini tentu saja masih belum cukup.
Yang kedua, harus ada pengawasan terhadap anak-anak itu sendiri. Akan percuma saja jika anak tidak diawasi dalam kesehariannya. Pisau dapur yang sebenarnya digunakan untuk mengupas buah bisa saja digunakan untuk membunuh kucing tetangga, atau juga bisa adik kecil anak kita yang sedang tidur di dalam kamar. Begitu juga dengan televisi, ia memang bisa bermanfaat bagi kita, tapi jika tanpa pengawasan, sama saja bohong. Semua bisa saja melakukan apa-apa yang melenceng dari ketentuan sebenarnya, apalagi anak-anak yang kondisinya memang masih sangat mudah untuk menerima dan memasukkan apa saja dalam pikirannya untuk segera dilakukan.
Cara ini bisa dilakukan dengan mencari tahu, acara apa saja yang ditonton anak kita. Kalau sekiranya itu pantas dan bermanfaat baginya maka itulah yang terbaik baginya. Dan kalau jelas-jelas yang ditonton adalah tayangan kekerasan misalnya, atau acara-acara lain yang akan berakibat buruk baginya, segera saja alihkan perhatiannya ke hal lain. Tidak hanya itu, seorang ayah atau ibu hendaknya tidak bosan untuk memberi pengertian tentang apa yang pernah masuk dalam pikiran anak atau tentang apa yang dia tanyakan tentang kejanggalan-kejanggalan yang didapatinya. Juga lebih baik orang tua harus aktif menanyai si anak tentang apa yang di dapat anak sehari itu, bisa dilakukan malam hari sebelum tidur. Ditakutkan ada hal-hal yang dapat berdampak negatif jika kita tidak memberinya pengertian.
Sebenarnya segala sesuatu yang ada dunia ini seperti halnya dua mata pedang, pasti mempunyai manfaat dan kebalikannya, yatiu mudlarat. Semua. Nuklir saja, sebenarnya bukan hanya berfungsi sebagai bom yang bisa meledak dengan efek yang luar biasa. Pada dasarnya nuklir diciptakan untuk pembangkit listrik yang efisien. Kemudian tentang bagaimana efek negatif dan positif ini bisa terjadi adalah karena pemakainya. Dia berniat baik atau tidak. Atau jika si pemakai salah dalam menggunakannya, orang-orang di sekitarnya akan mengingatkan atau tidak.
Begitu juga dengan televisi, jika kita bisa mengambil manfaatnya dan menggunakannya seoptimal mungkin, maka akan sangat banyak sekali yang kita dapatkan. Jika seseorang pernah mengatakan bahwa buku adalah jendela dunia, maka menurut saya, ‘televisi adalah buku lain yang lebih besar yang berada di dinding yang lain pula’. Ya, adalah jendela yang lebih besar. Sebagai salah satu komponen globalisasi yang membuat besarnya jarak menjadi kian tak berarti. Kejadian di belahan bumi sana akan bisa seseorang ketahui di belahan bumi yang lain dalam waktu sekejap. Ya, salah satunya adalah melalui benda ini. Juga, media audio visual ini mempunyai pengaruh yang sangat besar terhadap pemirsanya. Maka akan sangat bermanfaat sekali jika menggunakannya untuk meningkatkan taraf pendidikan di Negara kita.
Dengan begitu, diharapkan akan muncul acara-acara televisi yang baik bagi pemirsanya, terutama anak-anak. Yaitu acara yang menyajikan kebaikan dan tentunya yang berdampak positif bagi anak-anak kita untuk menciptakan lingkungan yang baik pula. 
Marilah kita mengambil manfaat sebesar-besarnya darinya. Saya berharap RUU APP akan segera disahkan, mekipun 30 % di antara kita menolaknya (Repubilka, 11 Maret 2005), juga pengawasan acara-acara yang akan tayang di televisi untuk segera kembali digalakkan, kekhawatiran orang tua terhadap perkembangan anaknya, terutama yang berhubungan dengan televisi, dengan mengurangi menyeleksi porsi menonton segera ditingkatkan. Juga yang paling penting, agar energi potensi positif televisi dapat segera kita nikmati bersama. Tentunya itu semua tidak bisa ditangani oleh hanya satu orang saja, tapi dengan uluran tangan kita semua. Akhirnya, ada satu harapan lagi yang ingin saya sampaikan pada mereka yang bertanggung jawab atas ini. Mengertilah, saya, juga seluruh anak-anak di negeri ini, kelak akan menjadi pelaku regenerasi pelaku negeri ini. Bukan hanya dalam pemerintahan, tapi dalam segala bidang. Juga yang paling penting adalah membentuk sejarah kebaikan untuk masa depan.  

Lalu apa yang harus kita lakukan sekarang? Matikan TV-mu. Ya, matikanlah televisimu untuk sementara ini. Lebih cepat lebih baik. Jangan biarkan ia menguasai waktu kita. Cukup sediakan sedikit saja waktu untuknya. Itu juga untuk acara-acara yang jelas-jelas bermanfaat. Terutama untuk anak-anak kita. Kita telah tahu, akan jadi apa mereka nanti. 

* Luthfi Andi Z, alumni TMI Al-Amien Prenduan tahun 2007, asal Lumajang. Kini, sedang menyelesaikan S-1nya di IDIA Prenduan.