Senin, 11 Juli 2022

RENUNGAN TENTANG MENERIMA SESAMA APA ADANYA

 

Seorang frater mendapat bimbingan dari pembinanya bahwa sebagai murid Yesus, kita harus menerima sesama apa adanya. Kita jangan pilih-pilih atau menilai sesuai selera kita. Nasehat ini selalu diingat baik oleh sang frater. Setiap bangun pagi atau saat beranjak ke peraduan malam, ia selalu berguman, “Harus menerima sesama apa adanya.” Gumanan itu bukan cuma sekali saja tapi berkali-kali didaraskan sampai dirinya terlelap.

Setelah menyelesaikan skripsinya, sang frater pergi TOP di sebuah paroki. Pada suatu hari, ketika sedang mengunjungi umat, sang frater melihat seorang bapak sedang memarahi seorang anak kecil dan memukulnya. Anak itu menangis dan minta ampun, tapi bapak itu terus memarahinya sambil sesekali tangannya mencubiti tubuh anak itu.

Frater mendekat. “Bapak, tak baik memukuli anak bapak. Kan dia sudah minta maaf. Bapak harus menerima anak bapak apa adanya.”

“Oh frater,” ujar bapak itu sambil menoleh. “Kebetulan anak ini bukan anak saya.”

Suatu ketika, saat frater sedang duduk santai di pastoran, seorang ibu muda datang. Wajahnya sembab, karena habis menangis. Kepada sang frater, ibu muda ini bercerita, atau istilah kerennya curhat, tentang masalah keluarganya. Secara khusus masalahnya dengan sang suami. Ia baru 8 bulan menikah. Suami ibu ini sering mabuk dan pulang larut malam. Di rumah dia suka membentak-bentak. Tak jarang juga sang suami memukul dirinya. Padahal 3 bulan pertama hidup mereka bahagia. Apalagi waktu pacaran. Hidup terasa sangat indah. Tapi kini seperti neraka.

Dengan serius sang frater mendengarkan keluhan ibu itu. Sesekali ia mengangguk kepala. Setelah ibu itu selesai berkisah, mulailah frater ini berkata-kata. Nasehat biblis, filosofis, moral, etis, teologis serta psikologis mengalir begitu lancar. Terakhir, sebelum ibu itu pulang, sang frater berujar, “Ibu harus banyak berdoa. Dan jangan lupa, ibu harus menerima suami ibu apa adanya. Bukankah waktu mau menikah, ibu sudah menyatakan hal itu?”

Di lain waktu, seorang mudika datang curhat sama frater. Dengan jujur dia mengatakan kalau saat itu dia lagi musuhan dengan temannya. Dia sangat membenci temannya itu. Alasannya, sudah beberapa kali temannya ini menyakitinya. Di samping itu juga, temannya ini sering berlaku buruk terhadap orang lain sekalipun sudah sering dinasehati.

Frater langsung menasehati, “Kamu harus menerima dia apa adanya.”

“Sudah frater.” Ungkap mudika itu. “Saya sudah menerima dirinya apa adanya. Yang tidak saya terima kini itu bukan dirinya.”

“Maksudnya?” Tanya frater sedikit bingung.

“Yang saya benci dan saya musuhi itu bukan dirinya. Kalau yang dirinya saya terima. Yang baik dan juga yang tidak baik.”

Setelah selesai masa TOP, sang frater kembali ke seminari. Gaya hidup waktu TOP, tetap terbawa di seminari. Meski ia tahu di seminari seorang frater tidak diperbolehkan memiliki HP, sang frater ini tetap membawa HP kenang-kenang umat. Gaya hidup yang longgar di paroki pun terbawa di seminari. Sang frater sering keluar dari seminari tanpa pamit.

Karena sikap dan tingkah lakunya inilah, suatu ketika ia dipanggil pembimbing rohaninya. Sang pembimbing ini memberinya nasehat. Sang frater hanya mengangguk-angguk kepalanya. Setelah pembimbingnya ini selesai berbicara, sang frater balik berkomentar, “Romo. Inilah saya. Romo harus menerima saya apa adanya.”

“Betul sekali, frater!” Sang pembimbing membalas bijak. “Kita harus SALING menerima sesama kita apa adanya. Jadi, frater juga harus menerima saya apa adanya. Kebetulan, saya tidak bisa menerima orang apa adanya.”