Sabtu, 12 Oktober 2013

Jangan Menilai Buku dari Sampulnya

Abid Ghoffar bin Aboe Dja'far, atau yang lebih dikenal dengan nama Ebiet G Ade, pernah menulis syair lagu dengan judul “Dengarkanlah Kata-Kataku”.  Penggalan bait refreinnya, yang cukup menyentuh hati, berbunyi:
“Dengarkanlah dengan hatimu
Jangan engkau dengar dengan jiwa buta
Dengarkanlah kata-kataku
Jangan engkau melihat siapa aku”

Di sini Ebiet mau mengajak kita, para pendengar, untuk mengubah pola pikir dalam melihat sesuatu yang ada di luar diri kita. Misalnya soal kebenaran atau juga kebaikan. Bagi Ebiet, kebenaran atau kebaikan itu bukan soal rasa: saya suka dan/atau tidak suka; bukan juga soal kepentingan: di pihak saya dan/atau musuh saya.

Ebiet G Ade menghendaki agar kita menilai sesuatu itu bukan dengan jiwa buta. Artinya, menilai sesuatu itu bukan didasari pada diri sendiri: saya suka maka itu benar, baik dan bagus, sedangkan jika saya tidak suka maka sesuatu itu tidak benar, tidak baik dan tidak bagus; jika sesuatu itu ada di pihak saya maka ia itu benar, baik dan bagus, sedangkan jika sesuatu itu “anti” saya maka ia itu tidak benar, tidak baik dan tidak bagus.

Ebiet G Ade menghendaki agar kita melihat isinya, bukan pada kulitnya. “Dengarkanlah kata-kataku, jangan engkau melihat siapa aku.” Dengan kata lain Ebiet G Ade ingin agar kita “jangan menilai buku itu dari kulitnya.” Sekalipun kulit buku atau sampul buku itu tidak bagus dan tidak menarik, belum tentu isinya juga tidak bagus dan tidak menarik. Sebaliknya, belum menjadi jaminan bahwa sampul atau kulit yang menarik menentukan isi buku yang menarik juga.

Legenda Rawa Pening
Ada seorang ada kecil bernama Baru Klinting. Ia seorang bocah yang buruk rupa dan kudisan, akan tetapi ia memiliki kesaktian. Suatu ketika ia memasuki sebuah perkampungan untuk meminta sedekah. Melihat rupa dan tubuhnya, orang merasa jijik dan langsung mengusirnya.

Tak ada keluarga yang mau menerima dirinya dan memberinya makan. Ia sampai pada rumah seorang janda sederhana bernama Mbok Randa. Janda itu menerimanya dan memberinya makan. Beberapa hari ia tinggal di rumah janda itu. Selama tinggal di rumah janda itu, ia coba bersosialisasi dengan anak-anak lainnya. Namun penolakanlah yang selalu didapatinya, baik dari anak-anak itu sendiri maupun dari orang tua anak-anak itu.

Suatu hari ia pergi ke pusat kampung untuk menyaksikan pertunjukan. Di sana ia mendapat perlakuan yang tidak menyenangkan. Semuanya hanya karena rupanya yang buruk dan penuh kudisan pada tubuhnya.

Kepada penduduk itu ia memperingati bahwa mala petaka akan terjadi di kampung ini. wujudnya banjir besar. Namun penduduk tidak percaya. Ketidak-percayaan mereka tentulah dikaitkan juga dengan keadaan fisiknya, apalagi dia itu seorang bocah kecil. Hanya janda miskin itu saja yang percaya. Ia mempersiapkan perlengkapan yang dibutuhkan.

Baru Klinting membuat sayembara. Ia menancapkan sebatang lidi di tanah, lalu menantang siapa saja yang bisa mencabutnya. Awalnya anak-anak sebayanya maju mencoba. Namun tak satu pun dari mereka yang berhasil. Kemudian muncullah yang dewasa dan para orang tua. Dan mereka juga tidak berhasil. Akhirnya Baru Klinting maju dan mencabut lidi itu. Dari lubang bekas tancapan lidi itu keluarlah air yang sangat deras. Air itu tak mau berhenti sampai seluruh kampung tertutup oleh air. Semua penduduk kampung itu mati tenggelap, karena mereka tidak mendengarkan peringatan Baru Klinting. Hanya Mbok Randa saja yang selamat.

Jadilah Orang Arif nan Bijaksana
Nasehat Ebiet G Ade di atas bisa dipahami sebagai ajakan untuk menjadi arif dan bijaksana. Orang yang arif dan bijaksana adalah orang yang melihat suatu masalah tanpa berat sebelah atau memihak. Orang yang bijaksana dapat mengambil sumber kebijaksanaannya dari mana dan dari siapa saja, tanpa melihat latar belakang agama, ras, suku, status sosial dan status lainnya.

Bagi orang yang arif dan bijaksana, kebenaran dan kebaikan itu bisa datang dari mana saja dan dari siapa saja. Kebenaran dan kebaikan itu dapat datang dari seorang tua nan bijak, bisa juga dari seorang bocah ingusan; dari pejabat tinggi juga dari pengemis jalanan; dari ulama juga dari penjahat atau bahkan pelacur; dari sahabat dan juga dari yang bukan sahabat, bahkan musuh sekalipun.

Berkaitan dengan anak kecil, cerita di atas mau menegaskan akan hal itu. Penduduk kampung itu tidak mau melihat kebenaran atau nasehat baik dari Baru Klinting hanya karena dia itu seorang bocah dan juga mukanya yang buruk serta kudisan. Orang-orang pada menyepelekannya. Oleh karena itu, Yesus pernah menasehati para muridnya, “Ingatlah, jangan menganggap rendah seorang dari anak-anak kecil ini.” (Matius 18: 10). Karena, bisa saja kebenaran dan kebaikan itu lahir dari mulut seorang anak kecil.

Untuk itulah, dibutuhkan sikap dan kemampuan menilai isi, bukan kulit. Kita diajak untuk lebih memprioritaskan pada isinya dulu. Apakah isinya benar, baik dan berguna buat saya. Jika isinya baik, benar dan berguna, maka sesuatu itu baik, sekalipun itu berasal dari seorang anak kecil, kelompok musuh kita atau orang pendosa.

Suatu Keprihatinan
Masih ada banyak manusia di dunia ini yang memiliki sikap lebih mementingkan sampul-kulit daripada isinya. Ketika ada suatu pernyataan, sekalipun pernyataan itu baik dan benar, orang akan menyelidiki sumbernya atau orang yang mengeluarkan pernyataan itu. Jika sumbernya itu berasal dari orang atau kelompok yang anti dengan kelompok saya, maka saya menolak pernyataannya itu.

Ada orang yang memang mengutamakan sampul. Berkaitan dengan suatu pernyataan, yang dimaksudkan dengan sampul di sini adalah siapa orangnya, apa pangkat dan statusnya, apakah orang itu sealiran dengan saya atau tidak (jika tidak, sudah pasti ditolak), dll. Orang-orang yang lebih mengutamakan sampul akan berusaha melacak sumber dari pernyataan itu. Mereka tidak melihat nilai kebenaran dan kebaikan dari pernyataan itu. Dan jika dari hasil pelacakan terbukti bahwa pernyataan itu berasal dari orang yang tidak sealiran dengannya dan sumbernya juga berasal dari kelompok yang tidak sepaham dengan saya, maka pernyataan itu ditolak, sekalipun ada kebanaran dan kebaikan di sana.

Jika kita perhatikan baik-baik, sebenarnya yang ditolak adalah sumber atau orang yang mengeluarkan pernyataan itu. Dan karena pernyataan itu melekat pada sumber atau orangnya, maka pernyataan itu juga ditolak. Artinya, orang-orang ini menilai buku dari sampulnya. Jika sampulnya bagus dan menarik maka kesimpulannya isi buku itu bagus dan menarik.

Berkaitan dengan sikap seperti ini, Yesus menasehati para muridnya untuk tidak seperti itu. Artinya, jangan melihat dan menilai segala sesuatu itu dari sampulnyanya. Injil Lukas menceritakan kisah itu: “Yohanes berkata: ‘Guru, kami lihat seorang mengusir setan demi nama-Mu, lalu kami cegah orang itu, karena ia bukan pengikut kita.’ Yesus berkata kepadanya: ‘Jangan kamu cegah, sebab barangsiapa tidak melawan kamu, ia ada di pihak kamu.’"

Nasehat Bijak
Menutup tulisan sederhana ini, saya mau menyampaikan sebuah pernyataan bijak: “Emas adalah tetap emas sekalipun keluar dari mulut babi.”

by: adrian

Orang Kudus 12 Oktober: St Wilfridus

Santo wilfridus, uskup & pengaku iman
Wilfridus lahir di Ripon, Northumbria, Inggris pada tahun 643. Pada usia 13 tahun ia tinggal di istana Oswy, Raja Northumbria. Eanfleda, permaisuri Raja Oswy, menerima dia dengan senang hati dan mengangap dia sebagai anaknya sendiri. Eanfleda kemudian mengirim dia ke biara Lindisfarne untuk mempelajari ilmu-ilmu suci dan berbagai ilmu pengetahuan lainnya. Di biara itu Wilfridus dididik dalam tata cara liturgi Keltik. Tetapi kemudian ia meninggalkan biara itu dan pergi ke Centerbury karena apa yang didapatinya di Lindisfarne tidak memuaskan hatinya. Dari Centerbury ia pergi ke Lyon, Perancis, pada tahun 652 dan dari Lyon ia pergi ke Roma. Di sana ia menjadi sekretaris pribadi Paus Martinus I (649 – 655), sambil belajar hokum dan tata cara liturgi Romawi. Setelah menyelesaikan pendidikannya di Roma, ia kembali ke Lyon. Ia menetap di sana selama tiga tahun lebih sambil melancarkan perlawanannya terhadap adat istiadat dan liturgi Keltik.

Pada tahun 660 ia memberanikan diri kembali ke Inggris untuk menyapu bersih adat istiadat kafir yang ada di sana. Karena pandai dalam hokum dan tata cara liturgi Romawi, Raja Alcfridus dari Deira memberinya dana untuk mendirikan sebuah biara baru di Rippon. Dari biara inilah ia menerapkan aturan hidup membiara Santo Benediktus yang dikenalnya ketika belajar di Roma. Tak lama kemudian ia ditahbiskan menjadi imam oleh Santo Agilbertus, seorang uskup berkebangsaan Perancis yang bekerja di wilayah Saxon Barat.

Di Inggris bintang Wilfridus semakin bersinar terang. Situasi Gereja pada masa itu kacau balau karena perpecahan di kalangan umat. Oleh karena itu sebuah sinode diselenggarakan di Whitby, tepatnya di biara Santa Hilda, untuk menyelesaikan pertikaian pendapat antara kelompok yang mengikuti kebiasaan Keltik dan kelompok yang mau mengikuti tata cara liturgi Romawi. Kebiasaan liturgi Keltik telah menyebarluas dan dipraktekkan di semua wilayah Inggris dan berbeda sekali dengan tata cara liturgi Romawi dalam hal-hal seperti: tanggal hari raya Paskah, Upacara Permandian dan upacara-upacara lainnya. Wilfridus dengan gigih memperjuangkan penerimaan dan pemakaian tata cara liturgi Romawi. Ia berhasil mempengaruhi Raja Oswy dan mendesak dia untuk mengakui dan menerapkan di seluruh Inggris aturan liturgi yang berlaku di seluruh Gereja Latin.

Pada tahun yang sama (664) Wilfridus ditahbiskan menjadi uskup untuk dioses York di Compiegne, Perancis, oleh Santo Agilbertus. Tetapi karena ia terlambat datang ke York setelah pentahbisannya, Raja Oswy mempercayakan keuskupan York kepada Chad. Wilfridus tidak mau mempermasalahkan hal itu; sebaliknya ia pergi ke biara Rippon, sampai Santo Theodor, Uskup Centerbury, mendesak Chad turun dari tahkta pada tahun 669. Sejak itu, Wilfridus menduduki tahkta keuskupan York dan giat melaksanakan tugas kegembalaanya. Ia giat memperkenalkan dan menerapkan tata cara liturgi Romawi di seluruh keuskupannya.

Tetapi dalam usahanya itu, ia terus menerus menghadapi berbagai masalah. Theodor, didukung oleh Raja Egfridus, pengganti Oswy, berusaha membagi wilayah keuskupan York sebagai protes terhadap kebijakan Wilfridus menerapkan tata cara liturgi Roma di keuskupan York. Wilfridus berangkat ke Roma untuk melaporkan langsung masalah itu kepada Paus Agatho (678 – 681). Paus mendukung Wilfridus dan mempersalahkan Theodor dan Raja Egfridus. Namun Egfridus tidak menerima apa yang diputuskan Paus Agatho. Oleh karena itu, Wilfridus pergi ke Inggris Selatan dan selama 5 tahun bekerja di sama di antara orang-orang Saxon. Baru pada tahun 686 ia didamaikan dengan Theodor dengan bantuan Raja Aldfridus, pengganti Egfridus. Namun pada tahun 691 Wilfridus sekali lagi dibuang karena tidak menyetujui pembagian wilayah keuskupan York. Karena itu pada tahun 704 Wilfridus sekali lagi pergi ke Roma untuk melaporkan masalah itu kepada Paus Yohanes VI (701 – 705). Paus menganjurkan agar segera diadakan suatu sinode di Yorkshire untuk mencari jalan terbaik bagi masalah itu. Sinode akhirnya mencapai kesepakatan yaitu bahwa Rippon dan Hexham dipercayakan kepada pelayanan Wilfridus.

Wilfridus meninggal dunia sementara dalam suatu kunjungan pastoral di biara Santo Andreas di Oundle, Northamtonshire pad atahun 709.

sumber: Orang Kudus Sepanjang Tahun

Renungan Hari Sabtu Biasa XXVII-C

Renungan Hari Sabtu Biasa XXVII, Thn C/I
Bac I   : Yl 3: 12 – 21;  Injil           : Luk 11: 2728

Bacaan Injil hari ini sangat singkat. Akan tetapi pesannya amat tegas. Ada satu persoalan yang dibahas dalam Injil hari ini, yaitu sial kebahagiaan. Kebanyakan orang melihat kebahagiaan sejati itu dari kaca mata duniawi. Kebahagiaan itu terlihat dari prestasi dan prestise. Dalam Injil, Yesus memperlihatkan hal yang lain, yaitu kebahagiaan spiritual. Kebahagiaan itu terletak pada “mendengarkan firman Allah dan memeliharanya.” (ay. 28).

Kebahagiaan spiritual ini juga yang menjadi pesan dalam bacaan pertama. Melalui mulut nabi Yoel, umat Israel disadarkan bahwa Allah senantiasa memperhatikan mereka. Allah akan memberikan kebahagiaan pada mereka asalkan mereka senantiasa melaksanakan kehendak Allah dan setia pada-Nya. Gambaran kebahagiaan itu terlihat dari ungkapan-ungkapan anggur baru, susu dan air (ay. 18).

Dewasa ini banyak manusia meletakkan kebahagiaan pada hal-hal duniawi, pada kepemilikan benda-benda, prestasi dan prestise. Tuhan bukannya anti terhadap semuanya itu. Tuhan tidak menghendaki supaya kita menjadikan semuanya menjadi prioritas dalam hidup sehingga kita melupakan kehendak-Nya. Melalui sabda-Nya hari ini, Tuhan mengajak kita untuk senantiasa melakukan apa yang dikehendaki-Nya dalam hidup kita. Melaksanakan kehendak Allah akan mendatangkan kebahagiaan.

by: adrian