Minggu, 10 Agustus 2014

(Refleksi) Bunda Maria dan Kesederhanaan Para Imam

BUNDA ORANG PALING MISKIN
Pengantar

Pesan Bunda Maria ini diambil dari wawancara batin antara Don Stefano Gobbi dan Bunda Maria. Wawancara batin adalah suatu gejala mistik yang ada dalam kehidupan Gereja. Ia bukanlah komunikasi inderawi, dimana orang dapat mendengar dengan telinga atau melihat dengan mata dan tidak ada sesuatu yang bisa disentuh. Jadi, wawancara batin merupakan anugerah dalam bentuk pesan yang disampaikan Allah supaya kita laksanakan dengan bantuan-Nya.

Dalam wawancara batin di sini, Don Stefano menjadi alat komunikasi; dengan tetap menjaga kebebasannya, ia mengungkapkan persetujuan terhadap kegiatan Roh Kudus. Artinya, ia tidak mencari-cari gagasan atau cara pengungkapannya. Ia murni sebagai penyalur pesan.

Wawancara batin antara Bunda Maria dan Don Stefano Gobbi ini memuat pesan Bunda Maria untuk para imam. Pesan yang disampaikan dalam wawancara batin ini, meski terjadi pada tahun 1980, namun nilai dan maknanya masih relevan hingga saat ini. Pesan Bunda Maria ini, secara khusus ditujukan kepada para imam, akan tetapi peruntukkannya bisa juga untuk umat katolik dan umat manusia pada umumnya. Jadi, dalam pesan Bunda Maria yang disampaikan masa lalu, terdapat butir-butir pencerahan untuk masa kini.

Semuanya tergantung sejauh mana mata hati kita mencerapnya.

Bunda Maria Berpesan
“Aku ini Ibu dari orang yang paling malang dari antara orang miskin, yang paling malang dari antara orang celaka, dan Hatiku yang Tak Bernoda ingin memberikan bantuan yang mereka butuhkan: bantuan untuk mencapai Yesus dan menerima Injil Keselamatan-Nya, yang dibawa oleh begitu banyak putra-putri misionarisku. Untuk tujuan ini mereka telah menghabiskan seluruh hidupnya di sini; aku sedang membantu mereka untuk hidup selaras dengan martabat putra-putra Allah, dengan hidup lebih layak dan manusiawi.

Kini aku menjadikan diriku suara anak-anakku yang miskin ini, yang tidak memiliki suara, untuk berseru lagi kepada semua orang: perhatikanlah saudara-saudaramu ini, perhatikanlah mereka yang bahkan hari ini mati kelaparan. Berikanlah kepada anak-anakku yang malang ini apa yang kamu miliki secara berlimpah! Jangan menyibukkan dirimu dengan menghimpun kekayaan, karena harta yang disediakan Penciptamu bagi semua orang itu harus dibagi-bagikan kepada semua orang.

Aku ini Ibu semua orang, tetapi teristimewa Ibu mereka yang paling miskin. Aku menghimpun dan memberkati penderitaan mereka, serta memadukannya dalam doa orang-orang yang berjuang demi datangnya Kerajaan Yesus, lewat kemenangan Hatiku yang Tak Bernoda. Kerajaan itu adalah kerajaan kebenaran dan rahmat, Kerajaan kasih dan keadilan; di dalamnya anak-anakku yang malang ini, akan memiliki tempat yang terbaik.”
Calcuta, 3 November 1980
diedit dari: Marian Centre Indonesia, Kepada Para Imam: Putra-putra Terkasih Bunda Maria. (hlm 477)
Baca juga:

Kebenaran yang Membebaskan

Kebenaran adalah sesuatu yang paradoksal, selalu dirindukan bahkan diperjuangkan siapa pun, kapan dan di mana pun. Orang dapat mempertaruhkan segalanya asal menemukan kebenaran. Debat hukum di ruang pengadilan, entah dengan argumentasi yang rasional maupun bukan, semuanya bermuara ke upaya penemuan kebenaran.
Namun, ketika kebenaran tersingkap, apakah semua pihak menyukainya? Di situlah paradoksnya! Kebenaran menyembuhkan, juga melukai. Ia ibarat buah simalakama. Pihak yang yakin kebenaran akan menyembuhkan tak akan pantang mundur berupaya menemukannya.
Pihak yang takut bahwa kebenaran akan melukai akan berjuang dengan segala macam cara untuk mengurung kebenaran dalam ruang gelap, agar tersembunyi dan tidak tersingkap.

“Aletheia”
Ada hal yang menarik dari analisis semantik yang dilakukan Martin Heidegger tentang kebenaran. Ia menjelaskan, kebenaran dalam bahasa Yunani adalah aletheia – a (tidak) dan theia (tersembunyi). Kebenaran berarti tidak tersembunyi, apa adanya, tanpa embel-embel. Sesuatu dalam dirinya sebagaimana adanya (das Ding an sich).
Sesuatu itu benar kalau tampil apa adanya, tanpa pemalsuan, rekayasa, embel-embel yang malah menutup atau menyembunyikan kesejatian (autensitas) dari sesuatu itu. Sesuatu dalam kesejatiannya menjadi sesuatu yang objektif. Siapa pun akan melihat dan menemukannya sebagaimana dalam keadaannya yang sebenarnya.
Karena itu bagi Heidegger, kebenaran berarti tidak tersembunyi. Menyingkapkan kebenaran berarti berupaya membongkar unsur-unsur palsu yang tidak autentik, yang menyebabkan tertutup atau tersembunyinya kebenaran.
Kebenaran tak akan pernah sirna. Ia hanya “ditutup” dan “disembunyikan”. Kebenaran itu abadi karena objektif dan pengakuan akan keberadaan serta autentisitasnya tidak bergantung kepentingan atau selera subjektif.
Kebenaran menyatakan dirinya. Kebenaran tidak dapat dihilangkan. Kebenaran dapat dipalsukan menjadi kebenaran palsu, tapi itu bukan kebenaran itu sendiri. Kebenaran tidak bisa ditiadakan. Kebenaran dapat disembunyikan dalam kegelapan, namun tak akan sirna. Sebaliknya, kebenaran akan ”diwartakan dari atas atap rumah”.
Ketika kebenaran tersingkap, ia dapat melukai mereka yang tidak menyukainya. Tetapi, luka itu tersembuhkan ketika si terluka menerima dan mengakuinya.
Kebenaran lantas membebaskan, sedangkan kepalsuan membelenggu. Sebagai contoh, seseorang yang berbohong akan selalu berusaha agar kebenaran tidak menyatakan diri. Ia berjuang dengan segala macam cara agar “kebohongannya” dipercayai seolah-olah benar.
Selama berbohong, ia tidak mengalami kebebasan karena selalu takut dan waswas, jangan-jangan ada yang mengetahui bahwa ia sedang berbohong. Ia bisa menggunakan apa saja, trik dan manipulasi, agar kebohongannya dipercayai sebagai kebenaran.
Sebaliknya, kalau seseorang jujur, menyingkapkan apa adanya, ia terbebaskan dari rasa curiga dan waswas. Ia tidak takut risiko karena menyatakan yang benar. Ia bebas dan tidak terbelenggu. Baginya, kebebasan benar-benar membebaskan.

“Gnothi Seauton”
Adalah Socrates, yang memopulerkan ungkapan gnothi seauton, yang dapat diterjemahkan “kenalilah dirimu”. Pengembangan diri menuju pribadi autentik, matang, dan dewasa selalu bermula dari pengenalan diri.
Pengenalan diri merupakan perjalanan panjang menuju diri sendiri, tetapi perjalanan itu bukan individual semata, lepas dari sesama. Sebaliknya, proses itu merupakan suatu dialektika antara aku dan pribadi lain.
Contoh klasik tentang hal itu dapat ditemukan dalam tulisan suci, Kitab Kejadian. Ketika berjumpa dengan pribadi lain, manusia pertama itu berseru, “Inilah dia, tulang dari tulangku dan daging dari dagingku (2:23),”.
Ia mengenal siapa dirinya dalam perjumpaan (dialektika) dengan pribadi lain. Seseorang yang sungguh mengenal dirinya sendiri atau terbuka berdialektika dengan orang lain adalah seseorang yang mengakui dan menerima siapa dirinya, serta mengakui dan menerima sesamanya sebagai diri yang lain.
Cikal bakal menjadi manusia bijak adalah mengenal, menerima, dan mengakui diri serta sesama. Menerima dan mengakui kebenaran tentang dirinya, serta menerima dan mengakui kebenaran tentang yang lain merupakan karakter kuat dari pribadi yang bijaksana.
Mengenal diri bukan pertama-pertama menyangkut pengetahuan biologis tentang diri, melainkan mengenal inti diri terdalam, yakni jiwa.
Jiwa menjadi basis keberadaan yang paling dalam dari setiap manusia. Kemurnian, kejujuran, dan ketulusan bertakhta dalam jiwa. Karena itu, Socrates menyerukan setiap orang merawat jiwanya tetap suci, murni, dan tidak bercela.
Kemurnian jiwa tersingkap dalam kejujuran, ketulusan, penerimaan diri apa adanya, serta pencapaian dan kegagalannya. Orang bijak tidak sibuk mempersalahkan orang lain ketika gagal.
Orang bijak merendahkan diri, rendah hati, dan tidak arogan. Acuan sikap dan perilaku sosialnya bersumber kebenaran tentang dirinya, maupun kebenaran objektif yang dihadapkan kepadanya.
Berbohong, angkuh, dan arogan adalah sinyal kuat kegagalan mengenal, menerima, dan mengakui diri. Dari sikap seperti itu, amat sulit muncul spirit kesatria untuk mengakui dan menghormati pribadi lain dengan segala keunggulannya, yang melampaui dirinya.
Manusia bijak mencintai kebenaran kendati itu melukainya. Itu karena ia percaya, ketika menerima kebenaran, jiwanya tersembuhkan. Ia pun menjadi bebas. Bukankah kebenaran sungguh-sungguh membebaskan, mengapa kita mengingkarinya?

Renungan HR SP Maria Diangkat ke Surga

HR SP Maria Diangkat ke Surga, Thn A/II
Bac I    Why 11: 19a; 12: 1, 3 – 6a, 10; Bac II       1Kor 15: 20 – 26;
Injil      Luk 1: 39 – 56;

Hari ini Gereja Universal mengajak umatnya untuk merayakan hari raya Santa Perawan Maria diangkat ke surga. Bacaan-bacaan liturgi hari ini memang tidak ada yang menyinggung kisah pengangkatan ini. Malah peristiwa pengangkatan Bunda Maria ke surga tidak terungkap secara eksplisit dalam Kitab Suci. Pengangkatan ke surga dapat dilihat sebagai bentuk penghormatan. Dan itulah yang terjadi pada Bunda Maria. Ada dua bacaan liturgi yang menyinggung tentang Maria, yaitu bacaan pertama dan Injil. Dalam bacaan pertama, yang diambil dari Kitab Wahyu, umumnya orang melihat perempuan dalam bacaan itu mengacu kepada Maria. Dialah yang berselubungkan matahari dan melahirkan Anak laki-laki, yang kita kenal dengan nama Yesus. Dia sangat istimewa sehingga tempat yang pantas baginya adalah surga.

Injil hari ini memuat kisah Maria mengunjungi Elisabeth, yang saat itu sedang masa akhir kehamilannya. Kisah ini bukan sekedar kunjungan biasa saja, karena dikatakan bahwa Maria tinggal bersama Elisabeth sekitar tiga bulan. Ini artinya, Maria turut terlibat dalam proses kelahiran Elisabeth. Dia membantu Elisabeth dan Zakaria. Maria, yang adalah Ibu Tuhan, datang melayani sesamanya. Di balik tindakan Maria ini terungkap keutamaan-keutamaan hidupnya yang berkenan di hati Allah. Keutamaan-keutamaan inilah yang membuat Bunda Maria sangat istimewa sehingga pantas kalau ia diangkat ke surga.

Bacaan kedua sama sekali tidak menyinggung Maria, namun dapat diterapkan kepada Maria dalam kaitan pengangkatannya ke surga. Paulus, dalam suratnya yang pertama kepada jemaat di Korintus, merefleksikan kemuliaan Yesus Kristus. Bagi Paulus, kemuliaan itu didapat, karena Tuhan Yesus sudah mengalahkan musah-musuh-Nya; dan musuh terakhir adalah maut. Paulus pernah berkata bahwa sengat maut adalah dosa (1Kor 15: 56). Jadi, kemuliaan didapat dengan mengalahkan dosa. Dan inilah yang terjadi juga dengan Maria. Dia telah mengalahkan dosa sehingga ia layak mendapat mahkota kemuliaan dengan diangkat ke surga.

Sabda Tuhan hari ini, untuk menjawab tema perayaan kita, mau menyadarkan kita bahwa Bunda Maria adalah pribadi yang sangat istimewa. Keistimewaannya itulah yang membuat dirinya diangkat ke surga. Keistimewaan Bunda Maria terlihat dari sikap hidupnya yang berkenan di hadirat Allah dan berusaha untuk mengalahkan dosa. Melalui sabda-Nya, dan ditunjang dengan tema hari raya ini, Tuhan menghendaki supaya kita berusaha meniru teladan Bunda Maria. Tuhan hendak mengajak kita untuk menjadi pribadi-pribadi yang istimewa dengan hidup sesuai kehendak Allah serta berusaha mengalahkan dosa. Dengan menjadi pribadi yang istimewa, bukan tidak mungkin suatu saat kita pun diangkat ke surga.

by: adrian