Senin, 25 Juni 2012

(Inspirasi Hidup) Belajar dari Kisah Seorang Akrobat


BELAJAR BERSERAH DIRI
Ada seorang pria bernama Mark, seorang ahli akrobatik. Ia ingin melakukan suatu pertunjukan yang tidak pernah dilakukan sebelumnya, menyeberangi air terjun Niagara di atas seutas tali! Banyak orang berpikir bahwa ini adalah ide yang gila karena jika ia terjatuh, ia sama saja sudah mati. Mark membahayakan nyawanya dengan melakukan pertunjukan itu. Tetapi ia tetap tenang. 

Di hari pertunjukan itu, ribuan orang menonton dari daratan di samping air terjun Niagara saat Mark bersiap untuk menyeberanginya. Orang-orang yang menonton sangat was-was, kemudian Mark berkata "Tenang, aku bisa melakukannya". Sekali lagi, ia sangat yakin pada kemampuannya dan tetap tenang. Setelah persiapan selesai, Mark mulai berjalan di atas tali itu. Dengan penuh percaya diri, ia berhasil menyeberangi air terjun selama 15 menit. Orang-orang memberikannya tepuk tangan, mereka sangat kagum.


Mark tersenyum, ia tidak berhenti sampai disitu. Ia bertanya pada penonton, "Terima kasih atas tepuk tangannya. Kamu tahu bahwa aku tidak pernah melukai diriku sebelumnya dan aku selalu sukses dalam setiap pertunjukanku. Jadi, aku cukup percaya diri untuk melakukan pertunjukan berikutnya. Aku ingin, sekali lagi, menyeberangi air terjun Niagara ini tetapi kali ini aku akan melakukannya sambil mendorong troli ini. Apakah ada dari kalian yang mau untuk duduk di dalam troli ini?". Penonton terdiam. Tidak ada seorangpun yang mau membahayakan nyawanya. Tiba-tiba, ada tangan terangkat, satu-satunya tangan yang terangkat di antara ribuan orang. Ia seorang gadis kecil. "Aku akan melakukannya", katanya. Kemudian, gadis itu duduk di dalam troli. Mark memulai pertunjukannya, menyeberangi air terjun dan mendorong troli. Sekali lagi, ia berhasil! Ia dan gadis itu menyeberang dengan sukses. Orang-orang memberikan tepuk tangan selama 5 menit, mereka tidak pernah membayangkan ia dapat melakukannya.

Setelah pertunjukan, seorang wartawan mendatangi gadis kecil itu dan bertanya "Apa kamu tidak takut melakukan itu, nak? Apa kamu tidak takut jatuh?"

Gadis itu tersenyum, ia menjawab "Aku tidak takut. Aku mau melakukan itu karena aku mengenal ia dengan baik. Aku percaya pada kemampuannya dan ia tidak akan membiarkan aku jatuh. Ia adalah ayahku."

 Jika dalam hidupmu, kamu menghadapi sesuatu yang menakutkan, sesuatu seperti air terjun Niagara, jangan takut!! Percayalah pada Tuhan, percaya pada kemampuan-Nya, dan berjalannya bersama-Nya. Kamu tahu bahwa Ia tidak akan membiarkan kamu jatuh karena Ia adalah Ayahmu. Ia akan membantumu menyeberangi Niagara!

Renungan Hari Senin Biasa XII - Thn II

Renungan Hari Senin Biasa XII B/II
Bac I    2Raj 17: 5 – 8, 13 – 15a, 18 ; Injil    Mat 7: 1 –5

Dari penelitian ternyata otak manusia lebih kuat mengingat hal negatif daripada hal positif atau yang netral pada diri orang lain. Karena itulah, manusia cenderung memberi penilaian yang buruk pada orang lain. Dengan kata lain, manusia memiliki kecenderungan suka menghakimi orang lain; melihat kesalahan dan keburukan pada orang lain.

Pada hari ini Yesus mengajak kita untuk meninggalkan kecenderungan tersebut.  "Janganlah kamu menghakimi supaya kamu tidak dihakimi." Demikian sabda Yesus mengawali pengajaran-Nya hari ini. Dalam sabda-Nya itu ada sesuatu pesan yang mau disampaikan Yesus. Bukan cuma sekedar larangan untuk tidak menghakimi sebagai wujud mengubah kecenderungan itu, melainkan Yesus memberi penyadaran.

Lewat penyataan-Nya tadi, Yesus mau memberi penyadaran kepada kita bahwa kritik (bentuk lain dari menghakimi) itu ibarat pisau bermata dua. Sisi tajam satunya terarah kepada orang lain, namun sisi tajam yang lain (masih pisau yang sama) tertuju kepada diri sendiri. Kritik yang kita sampaikan kepada orang lain merupakan juga kritik bagi diri kita sendiri.

Di sini Yesus mau mengajak kita untuk tahu diri. Sebelum menilai orang lain, alangkah baiknya kita menilai diri sendiri. Jadi, bukan cuma mau melarang untuk tidak kritik, tapi justru kritikan itu bisa menjadi sarana kita untuk pemberesan diri. Karena kita diajak untuk berbenah diri dulu, baru bisa menyampaikan kritik.

Yesus menyadarkan kita bahwa setiap manusia pasti punya kesalahan dan keburukan. Tak ada manusia yang sempurna. Oleh karena itu, hendaknya kita harus tahu diri, sehingga sebelum mengkritik orang lain, kita kritik dulu diri sendiri. 

Dengan demikian, kita tak perlu takut akan kritik, baik mengkritik ataupun dikritik. Karena kritik bisa menjadi sarana yang membuat kita menjadi sempurna.

by: adrian

Minggu, 24 Juni 2012

Orang Kudus 24 Juni: St. Yohanes Pembaptis


St. Yohanes pembaptis
Yohanes pembaptis berasal dari keluarga imam. Ayahnya, Zakaria, adalah seorang imam. Sedangkan ibunya, Elisabet, berasal dari keturunan Harun. Keluarganya termasuk terpandang, bukan hanya dari sisi sosial, melainkan juga dari sisi rohani.

Pada mulanya keluarga ini tidak mempunyai harapan untuk mempunyai anak. Elisabet mandul. Selain itu, usia mereka sudah sangat tua. Dari kaca mata manusiawi tak mungkin lagi mereka memiliki anak. Akan tetapi, yang bagi manusia tak mungkin, menjadi mungkin bagi Allah

Kisah kelahiran Yohanes bermula ketika ayahnya bertugas membakar ukupan di Bait Suci. Saat itu memang gilirannya. Pada waktu pembakaran ukupan, malaikat Tuhan, yaitu Gabriel, menampakkan diri kepada Zakaria. Malaikat itu menyampaikan sebuah kabar gembira, bahwa doa-doa Zakaria dan Elisabet didengar oleh Allah. Elisabet akan hamil dan melahirkan seorang putera yang harus dinamai Yohanes. Selanjutnya malaikat Tuhan itu memberi gambaran tentang peran Yohanes itu.

Zakaria meragukan hal itu. Akibatnya ia menjadi bisu. Kebisuan itu akan hilang saat kebenaran menjadi nyata.

Setelah peristiwa itu, beberapa minggu kemudian Elisabet hamil. Sampai pada waktunya, Elisabet pun bersalin. Ia melahirkan seorang anak laki-laki. Peristiwa itu sungguh menjadi kegembiraan, bukan saja bagi keluarga Zakaria, melainkan juga para tetangga dan sanak saudaranya.

Pada hari yang kedelapan, saat hendak menyunatkan anak itu, mereka menamai anak itu dengan nama Yohanes, sesuai dengan nama yang disebut malaikat Tuhan. Pada waktu itu juga Zakaria menjadi sembuh dari bisunya.

Yohanes tetap dalam pengawasan orang tuanya sampai beranjak dewasa. Sekitar umur 27 – 30 tahun, Yohanes pergi ke padang gurun dan tinggal di sana sampai kepada hari ia harus menampakkan diri kepada Israel. Di padang gurun Yohanes hidup dengan sederhana dan bermati raga. Makanannya adalah belalang dan madu hutan.

Penampilan Yohanes setelah dari padang gurun adalah di sungai Yordan. Di sana ia menyerukan pertobatan sebagai langkah persiapan menyambut sang Mesias. Di sungai Yordan itu Yohanes banyak membaptis orang sebagai tanda pertobatan. Mungkin karena itulah namanya dikenal dengan Yohanes Pembaptis. Di sana juga ia membaptis Yesus, yang adalah saudara sepupunya.

Setelah sadar akan kehadiran Yesus, akhirnya Yohanes mengundurkan diri. Namun ia tetap menyuarakan kebenaran dan keadilan. Salah satu seruannya ini kena kepada Raja Herodes. Ia mengkritik tindakan Herodes yang memperistri istri saudaranya. Herodes dan isterinya itu tersinggung dan menangkap Yohanes. Akhirnya Yohanes dibunuh dengan cara dipenggal kepadanya.

by: adrian

Renungan HR Kelahiran Yohanes Pembaptis

Renungan HR Kelahiran Yohanes Pembaptis, B/II
Bac I       : Yes 49: 1 – 6 ; Bac I   : Kis 13: 22 – 26
Injil            : Luk 1: 57 – 66, 80

Sabda Tuhan hari ini berbicara soal kelahiran Yohanes Pembaptis. Oleh karena itulah fokus renungan ini ada pada peristiwa kelahiran Yohanes Pembaptis ini.
Yang menarik untuk direnungkan adalah pernyataan tegas dari Elisabet, "Jangan, ia harus dinamai Yohanes." Mengapa pernyataan ini menarik untuk direnungkan?
Pernyataan ini mau menggambarkan keberanian seorang perempuan untuk bersuara. Dia menyuarakan kebenaran. Tentulah hal ini unik, mengingat Bangsa Israel memandang rendah kaum perempuan. Suara kaum Hawa ini kurang sekali didengar. Dan karena itu mereka jarang bersuara.
Namun di sini Elisabet bersuara. Ia menyatakan kebenaran, walau harus melawan tradisi yang ada. Anak itu harus diberi nama Yohanes, meski tak ada di antara sanak saudaranya yang bernama demikian. Itulah tradisinya. Tapi tradisi itu dilawan demi sebuah kebenaran dan tanggung jawab. Elisabet merasa bertanggung jawab atas kelahiran anaknya. Tanggung jawab itu bukan ada pada orang lain, baik keluarga dekat atau keluarga jauh atau instansi tertentu, melainkan dirinya sendiri. Ini anaknya. Pada titik inilah terlihat bahwa Elisabet merupakan seorang pemberani dalam usaha membaharui tradisi.
Tak kalah menarik adalah pernyataan Zakaria, suami Elisabet. Dia yang sebelumnya bisu kini bisa berkata-kata, "Namanya adalah Yohanes." Dia mendukung keputusan istrinya.
Zakaria dan Elisabet merupakan orang-orang yang berani bertanggung jawab. Mereka tahu kepada siapa mereka harus bertanggung jawab. Tanggung jawab itu bukan dialamatkan kepada orang lain melainkan kepada Allah, sang Pemberi. Karena anak itu memang berasal dari Allah. Bahkan nama anak itu pun berasal dari Allah. Artinya, anak itu merupakan titipan Allah pada keluarga Zakaria dan Elisabet, karena anak itu adalah alat Tuhan untuk "membuat banyak orang Israel berbalik kepada Tuhan Allah mereka." Jadi, Tuhan memberi kepercayaan kepada mereka untuk merawat, membesarkan dan mengasuh anaknya.
Apa pesan dari peristiwa ini?
Pada hari raya kelahiran Yohanes Pembaptis ini kita mendapat teladan dari Elisabet dan juga dari pasutri ini. Dari Elisabet kita diajak untuk berani menyuarakan kebenaran, sekalipun suara kita itu bertentangan dengan tradisi kebiasaan lama. Alangkah lebih baik kita membuat sejarah baru demi kebaikan dan kemajuan daripada mempertahankan sejarah lama tapi menghambat kemajuan dan kebaikan. Kita manusia adalah makhluk sejarah.
Bagi pasangan suami isteri, teladan pasangan Elisabet dan Zakaria dapat dijadikan contoh hidup. Mereka berdua seiya sekata dalam menyuarakan kebenaran. Mereka berdua sama-sama berjuang melawan tradisi kebiasaan lama. Mereka sadar bahwa anak itu adalah tanggung jawab mereka berdua, bukan siapa-siapa.
by: adrian


Sabtu, 23 Juni 2012

(Inspirasi Hidup) Anak Kecil Pemarah


ANAK  KECIL  PEMARAH
Suatu hari ada anak kecil yang mudah sekali naik darah. Ayahnya memberikannya sekantung paku dan mengatakan padanya bahwa setiap kali ia kehilangan kendali terhadap emosinya, ia harus memalu sebuah paku di pagar.

Hari pertama, anak itu memalu 37 buah paku di pagar itu. Setelah beberapa minggu, ketika ia belajar untuk mengontrol amarahnya, jumlah paku yang dipalu pun semakin menurun. Ia menemukan bahwa lebih mudah untuk menahan amarahnya daripada harus memalu paku-paku itu ke pagar.

Akhirnya tiba harinya saat anak laki-laki itu tidak kehilangan kontrol emosinya sama sekali. Ia menceritakan itu pada ayahnya dan ayahnya menyarankan anak tersebut untuk mencoba mencabut paku tersebut satu per satu setiap hari, setiap kali ia dapat menahan amarahnya. Hari demi hari berlalu dan anak tersebut akhirnya dapat mengatakan pada ayahnya bahwa paku-paku tersebut sudah hilang.

Sang ayah memegang tangan anaknya dan membawanya ke pagar. Ia berkata, "Kamu sudah melakukannya dengan baik, anakku, tetapi lihatlah lubang-lubang di pagar. Pagar itu tidak akan pernah sama lagi. Saat kamu mengatakan sesuatu dalam kemarahan, itu akan meninggalkan sebuah luka seperti lubang ini. Kamu dapat menusukkan pisau ke seseorang dan menariknya. Tidak peduli seberapa banyak kau berkata 'maafkan aku' , luka tersebut masih ada di sana. Kata-kata yang menyakitkan sama buruknya dengan menyakiti seseorang secara fisik"
Baca juga refleksi lainnya: