Sabtu, 12 April 2014

Di Antara Dua Kebenaran

Sekitar awal Oktober lalu rakyat Indonesia sempat dibingungkan dengan pernyataan dua “presiden”; yang satunya mantan dan satunya lain masih aktif. Mereka adalah mantan Presiden PKS, Luthfi Hasan Ishaaq, yang saat ini terjerat kasus korupsi daging sapi impor, dan Presiden RI, Susilo Bambang Yudhoyono. Pusat permasalahan mereka adalah BUNDA PUTRI. Mantan Presiden PKS itu berkata bahwa Bunda Putri itu orang dekatnya SBY. Sementara Presiden SBY menyangkal dengan mengatakan bahwa Luthfi bohong.

Tentulah rakyat Indonesia bingung untuk menentukan siapa yang benar dan siapa yang bohong. Masing-masing pihak mengemukakan argumennya untuk menyatakan bahwa dirinya yang benar. (lebih lanjut masalah ini, lihat tulisan saya di sini). Rakyat berada di antara dua kebenaran.

Di antara kita pasti pernah mengalami situasi di atas. Tak jarang kita dihadapkan pada dua kebenaran sehingga kita sulit untuk menentukan pilihan. Apalagi kebenaran itu bukan saja didasarkan pada argumen-argumen verbal tetapi mengikutsertakan status jabatan. Misalnya, jika seseorang itu pastor atau ustadz, tentulah sulit bagi kita untuk mengatakannya berbohong. Kita dengan mudah mengatakan dialah yang benar, tanpa lagi menelaah argumennya.

Sebuah contoh kasus. Ada sebuah sekolah baru selesai pembangunan gedung aula. Kepala sekolahnya seorang imam. Gedung aula sudah selesai, tapi panitia belum juga dibubarkan. Ada konflik antara panitia di satu pihak dan pemborong (plus kepala sekolah) di pihak lain.

Kepala sekolah yang mempunyai kewenangan tidak mau membubarkan panitia karena ada kecurigaan penyalahgunaan dana, alias korupsi. Mungkin kepala sekolah ini mendapat masukan dari pemborong. Ia mengatakan bahwa ada banyak sumbangan yang tidak dia ketahui; juga soal pengadaan AC.

Sementara panitia pun tak mau tinggal diam. Mereka juga balik menuduh pemborong yang menyalahgunakan dana. Karena rasa hormatnya kepada imamat kepala sekolah, mereka tidak mau menyinggung kepala sekolah. Mereka mengatakan bahwa ada banyak material bangunan tidak sesuai dengan kesepakatan. Pemborong mengubahnya tanpa sepengetahuan panitia.

Ada banyak argumen lain dilontarkan. Intinya, tiap-tiap pihak menyatakan dirinya benar dan pihak lain salah. Para guru terbagi dua kubu. Murid-murid pun terbelah dua. Yang tidak memihak akhirnya terhimpit di antara dua kebenaran.

Bagaimana menyikapi hal ini? Awalnya saya membela sang kepala sekolah. Terus terang saja, pembelaan awal saya waktu itu semata-mata karena jabatannya: kepala sekolah dan imam. Saya berpikir bahwa kepala sekolah merupakan sosok mulia dan tak mungkinlah seorang imam berbohong.

Namun dalam perjalanan waktu pembelaan saya mulai bergeser. Saya coba menelaah argumen-argumen yang mereka lontarkan. Ada satu argumen menarik yang membuka pikiran sempit saya: audit. Saya mendengar dari pihak panitia bahwa jika memang ada kecurigaan korupsi, silahkan saja diaudit. Ini disuarakan oleh panitia dan mereka siap untuk itu. Yang menjadi persoalannya, kepala sekolah menolak audit tanpa memberikan alasan yang jelas.

Selama saya menelaah argumen-argumen kedua belah pihak, saya menemukan bahwa hanya dari pihak panitia yang memberikan solusi untuk mencari kebenaran, yaitu audit. Sementara dari pihak kepala sekolah sama sekali tidak ada. Ia hanya bertahan pada tuduhan-tuduhan tanpa bukti.

Nah, kenapa kepala sekolah tidak mau diadakan audit, jika memang dengan cara itu akan didapatkan kebenaran? Dugaan saya adalah kepala sekolah takut kebenaran yang sebenarnya akan terungkap.

Lebih aneh lagi, ketika diminta menghadirkan pemborong untuk pertemuan segitiga dengan pengurus yayasan selalu tak pernah terwujud. Kepala sekolah selalu punya 1001 alasan untuk menghindar. Kenapa kepala sekolah terkesan tidak mau mengadirkan pemborong itu? Ada dugaan bahwa kepala sekolah ada main dengan sang pemborong. Artinya, pemborong sudah menyalahgunakan dana anggaran pembangunan dan kepala sekolah turut menikmatinya.

Memang semua ini masih dugaan. Patut diduga bahwa kepala sekolah menikmati penyalahgunaan dana yang dilakukan pemborong. Patut diduga bahwa kepala sekolah-lah yang korupsi. Semuanya dugaan, yang masih harus dibuktikan. Salah satu pembuktiannya adalah dengan audit. Persoalannya, kepala sekolah menolak.

Akan tetapi, dengan dugaan ini, kita tidak lagi berada di antara dua kebenaran yang membuat kita hidup dalam kebingungan. Kita hidup dengan “kebenaran” kita yang memang masih harus dibuktikan. Namun setidak-tidaknya kita sudah mempunyai pegangan.

Kesimpulan dari kisah ini adalah hidup dalam dua kebenaran akan membuat kita bingung. Kita dapat menyitir dari pernyataan Yesus, “Tak seorangpun dapat mengabdi kepada dua tuan.” (Mat 6: 24). Jangan terbuai oleh status, pangkat dan jabatan. Kita harus menelaah argumen-argumen dua kebenaran sampai akhirnya kita menemukan satu kebenaran. Sekalipun kebenaran yang kita dapat belum teruji, namun kita sudah memiliki satu pegangan.
Jakarta, 25 Nov 2013
by: adrian

Orang Kudus 12 April: St. Yulius I

SANTO YULIUS I, PAUS
Hari kelahiran Yulius tidak diketahui dengan pasti. Ia memimpin Gereja sebagai Paus dari tahun 337 sampai wafatnya pada tahun 352 di Roma. Dalam masa kepemimpinannya, ia dikenal sebagai seorang Paus yang dengan keras menentang para pemimpin Gereja Timur yang memberhentikan uskup-uskup yang ditabhiskan secara sah. Kecuali hal itu, ia pun menentang bidaah Arianisme dan pengikut-pengikutnya, terutama uskup-uskup yang terpengaruh oleh ajaran itu.
 
Athanasius, Uskup Aleksandria, Mesir adalah salah seorang korban perlakuan para pemimpin Gereja Timur yang arianis itu, karena ia menentang ajaran sesat Arianisme. Ketika Athanasius berada di Konstantinopel untuk membela kebenaran iman di hadapan kaisar, taktha keuskupannya diambil alih oleh Gregorius dari Kapadokia, Turki, seorang penganut Arianisme. Setelah dengan gigih mempertahankan ajaran iman yang benar di hadapan kaisar, Athanasius berangkat ke Roma untuk melaporkan peristiwa itu kepada Paus Yulius.

Yulius, yang bertanggungjawab atas masalah itu, segera mengadakan suatu konsili di Roma pada tahun 340. Ia mengundang semua Uskup Timur untuk menghadiri konsili itu. Tetapi undangan Yulius ditolak. Semua Uskup Timur tetap bersikap keras terhadap Athanasius. Tanpa kehadiran uskup-uskup Timur, Yulius bersama Uskup-uskup lainnya meneguhkan hati Athanasius dan menyuruhnya kembali ke keuskupannya bersama Marcellus dari Ancyra, seorang uskup lain yang juga dipecat oleh penganut-penganut Arianisme. Untuk itu, Yulius mengirimkan sepucuk surat yang berisi penegasan konsili tentang sahnya kedudukan Athanasius sebagai Uskup Aleksandria, kepada Uskup-uskup pengikut Eusebius, Patriakh Konstantinopel yang Arianis.

Untuk mendamaikan Uskup-uskup Barat dengan Uskup-uskup Timur, Konstans (dari Barat) dan Konstansius (dari Timur) yang bersama-sama memangku suatu jabatan penting dalam kekaisaran Romawi mendesak para Uskup itu agar berkumpul di Sardica, Bulgaria, guna membicarakan masalah pemecatan uskup-uskup yang sah itu. Yulius menyambut baik ajakan itu dengan mengirimkan utusan-utusannya pada tahun 343. Tetapi uskup-uskup Arianis menolak menghadiri konsili Sardica. Mereka sebaliknya berkumpul di Philippolis, Thrasia (Yunani Utara). Di sana mereka mengeluarkan suatu keputusan yang menghukum baik Athanasius maupun Yulius dari Roma yang dianggap sebagai biang keladi semua kejahatan yang ada di sana. Sementara itu, para Uskup Barat tetap bersidang di Sardica untuk menegakkan kembali keabsahan jabatan uskup-uskup yang dipecat oleh kaum Arian. Mereka pun meneguhkan kembali isi syahadat Nicea tanpa mengubahnya, dan mengancam tipu muslihat dari Uskup-uskup Arian di pengadilan kekaisaran. Sementara itu masalah belum tuntas, Gregorius dari Kapadokia meninggal dunia. Peristiwa ini menjadi peluang emas bagi Athanasius untuk kembali menduduki taktha keuskupannya di Aleksandria pada tahun 346. Yulius mengirim surat kepada seluruh umat di Aleksandria agar dengan sepenuh hati menerima kembali Athanasius sebagai Uskup Aleksandria yang sah.

Renungan Hari Sabtu Prapaskah V - A

Renungan Hari Sabtu Prapaskah V, Thn A/II
Bac I   : Yeh 37: 21 – 28; Injil      : Yoh 11: 45 – 56

Bacaan pertama diambil dari Kitab Nabi Yehezkiel. Di sini Yehezkiel menyampaikan nubuat Allah. Saat nubuat ini disampaikan, situasi Israel sedang tercerai berai. Karena dosa-dosa mereka, bangsa Israel dijajah oleh kerajaan asing. Banyak orang Israel berada di pengungsian. Ada juga yang pergi ke tempat asing lainnya. Situasi ini jelas tidak menyenangkan. Orang Israel mengharapkan kembali ke negerinya. Mereka merindukan kejayaan Kerajaan Daud yang menyatukan semua suku Israel. Nabi Yehezkiel tampil dan menyampaikan sabda Allah yang berencana menyatukan kembali orang Israel. Allah akan mengumpulkan mereka dari segala penjuru.

Nubuat Nabi Yehezkiel secara tidak langsung terlihat dalam Injil hari ini. Dalam Injil dikisahkan bahwa Kayafas, sebagai Imam Besar, berencana mengorbankan Yesus demi keselamatan bangsanya. Bagi Kayafas, lebih baik “jika satu orang mati untuk bangsa kita daripada seluruh bangsa kita ini binasa.” (ay. 50). Ini mengacu kepada Yesus. Akan tetapi, penginjil melihat bahwa kematian Yesus akan “mempersatukan anak-anak Allah yang tercerai berai.” (ay. 52). Jadi, sama seperti Allah dalam Perjanjian Lama, mengumpulkan dan menyatukan umat, demikian pula Yesus.

Dosa membuat manusia menjauh dari Allah. Dosa juga membuat manusia terasing satu sama lain. Namun sabda Tuhan hari ini menyatakan bahwa Allah hendak menyatukan kita. Allah sendiri yang akan mencari dan mengumpulkan kita menjadi satu keluarga-Nya. Usaha Allah ini terlihat dalam diri Yesus, lewat kematian-Nya di kayu salib. Kematian Yesus merupakan penebusan atas dosa dan kesalahan kita. Karena dosa kita ditebus-Nya, maka kita dapat bersatu lagi dengan Tuhan. Kita menjadi anak-anak Allah. Karya penebusan Yesus ini hendaknya dijawab dengan pertobatan. Masa prapaskah merupakan masa tobat. Karena itu, masa ini merupakan kesempatan bagi kita untuk berkumpul dan bersatu lagi dengan Allah.

by: adrian