Kamis, 09 Agustus 2012

Orang Kudus 9 Agustus: St. Teresa Benedikta

SANTA TERESA BENEDIKTA, PENGAKU IMAN
Edith Stein adalah bungsu dari 11 anak pasangan Yahudi-Ortodoks Siegfried Stein dan Auguste Courant Stein. Ia dilahirkan di Breslau pada 12 Oktober 1891, tepat saat keluarganya merayakan Yom Kippur, perayaan terpenting bangsa Yahudi, Hari Pendamaian Agung.  Lebih dari segalanya, hal ini menjadikan si bungsu “Jitschel” amat berharga di mata ibunya. Dilahirkan pada hari istimewa pendamaian ini bagai suatu nubuat bagi Jitschel kecil, yang kelak menjadi seorang biarawati Karmelit.

Ayah Edith, seorang pengusaha kayu, meninggal dunia mendadak ketika Edith beranjak dua tahun. Ibunya, seorang yang amat saleh, pekerja keras, berkemauan kuat dan sungguh seorang perempuan yang mengangumkan, sekarang harus menghidupi dirinya sendiri, mengurus keluarga serta mengelola perusahaan kayu suaminya. Kesemuanya itu ditunaikannya dengan berhasil, namun demikian, ia tidak berhasil dalam memelihara iman yang hidup dalam diri anak-anaknya. Edith kehilangan imannya akan Tuhan. “Aku secara sadar memutuskan, atas kemauanku sendiri, untuk berhenti berdoa,” katanya.
MAHASISWI
Sejak masih amat muda usianya, Edith menunjukkan antusiasme dan kecemerlangan dalam belajar. Pada tahun 1911 Edith lulus cum laude dari ujian akhir sekolah. Ia melanjutkan kuliah di Universitas Breslau untuk belajar bahasa Jerman dan sejarah, meski ini hanya sekedar pilihan ‘sampingan’. Minatnya yang sesungguhnya adalah dalam bidang filsafat dan peran perempuan. Ia menjadi anggota Serikat Prussian untuk Hak Perempuan. Ia berjuang keras demi memperbaiki nasib perempuan. “Semasa di sekolah dan semasa tahun-tahun pertamaku di universitas,” tulisanya kemudian, “aku seorang aktivis yang radikal. Kemudian minatku hilang dalam segala urusan itu. Sekarang aku mencari solusi-solusi pragmatis yang murni.”
Pada tahun 1913 Edith pindah ke Universitas Gottingen dan belajar filsafat di bawah bimbingan Profesor Edmund Husserl, seorang filsuf tersohor dan penggagas Fenomenologi. Edith menjadi murid dan asisten pengajarnya, dan Husserl membimbingnya untuk meraih doktorat. Pada masa itu siapapun yang tertarik pada filsafat akan terpikat oleh pandangan realitas baru Husserl, dimana dunia seperti yang kita rasakan tidak hanya ada di jalan Kantian, dalam persepsi subyektif kita. Murid-muridnya melihat filsafat Husserl sebagai kembali ke obyek, “back to thing”. Fenomenologi Husserl tanpa disadari menghantar banyak muridnya ke iman kristiani. Di Gottingen, Edith juga bertemu dengan filsuf Max Scheler, yang mengarahkan perhatiannya ke katolik Roma.

Edith tidak melalaikan kuliah-kuliah ‘sampingan’-nya dan lulus cum laude pada Januari 1915, meski ia mengikutinya tanpa bimbingan dosen. “Aku tak lagi memiliki hidupku sendiri,” tulisnya di awal Perang Dunia I, setelah menamatkan kursus perawat dan pergi melayani di sebuah rumah sakit lapangan Austria. Ini adalah masa yang sulit baginya, dimana ia merawat mereka yang sakit di bangsal tifus dan melihat orang-orang muda mati. Walau demikian, Edith bekerja sepenuh hati dan mendapatkan medali penghargaan atas keberanian dan pelayanannya yang tanpa pamrih. Ketika rumah sakit dibubarkan pada tahun 1816, Edith mengikuti Husserl sebagai asistennya ke Freiburg, dimana ia lulus dari doktoratnya dengan summa cum laude pada tahun 1917 dalam usia 25 tahun dan menerima gelar Doktor Filsafat setelah menyelesaikan tesis “Problem Empati.”
Pada masa ini Edith pergi ke Katedral Frankurt dan melihat seorang perempuan dengan keranjang belanja masuk ke dalam gereja untuk berlutut memanjatkan doa singkat. "Ini sesuatu yang sama sekali baru bagiku. DI sinagoga-sinagoga dan di gereja-gereja protestan yang telah aku kunjungi, orang hanya pergi menghadiri kebaktian. Tetapi di sini, aku melihat seorang yang datang tepat dari keramaian pasar ke dalam gereja kosong ini, seolah ia hendak mengadakan suatu percakapan yang mesra. Ini sesuatu yang tak akan pernah aku lupakan." Di akhir disertasinya, ia menulis, "Ada orang-orang yang percaya bahwa suatu perubahan yang sekonyong-konyong terjadi atas diri mereka dan bahwa ini adalah karena rahmat Allah."
Edith bersahabat baik dengan asisten Husserl di Gottingen, Adolf Reinach, dan isterinya. Ketika Reinach gugur pada November 1917, Edith pergi ke Gottingen untuk mengunjungi jandanya. Suami isteri Reinach telah memeluk agama protestan. Pada awalnya Edith merasa canggung menemui janda muda ini, tetapi ia terkejut ketika sesungguhnya ia menjumpai seorang perempuan penuh iman. "Inilah perempuan pertamaku dengan salib dan kuasa ilahi yang diberikan kepada mereka yang menanggungnya ... Itulah saat ketika ketidak-percayaanku hancur dan Kristus mulai menyinarkan terang-Nya atasku - Kristus dalam misteri salib."
Di kemudian hari Edith menulis, “Apapun yang tidak sesuai dengan rencanaku sendiri sungguh berada dalam rencana Allah. Aku bahkan memiliki keyakinan yang terlebih mendalam dan terlebih teguh lagi bahwa tak suatu pun yang sekedar kebetulan belaka apabila dilihat dalam terang Tuhan, bahwa seluruh hidupku hingga ke hal-hal yang paling detil sekalipun telah dirancangkan bagiku dalam rencana Penyelenggaraan Ilahi dan memiliki makna yang sepenuhnya dan logis dalam pandangan Tuhan yang melihat semuanya. Jadi, aku mulai bersukacita dalam terang kemuliaan dimana makna ini akan disingkap bagiku.”
pada musim gugur 1918 Edith mengundurkan diri dari pekerjaannya sebagai asisten pengajar Husserl. Ia ingin bekerja mandiri. Baru pada tahun 1930 Edith bertemu kembali dengan Husserl setelah pertobatannya, dan ia berbagi iman dengannya, sebab ia ingin Husserl menjadi seorang kristiani. Lalu Edith menuliskan kata-kata nubuat ini, “Setiap saat aku merasakan ketakberdayaanku dan ketakmampuanku untuk mempengaruhi orang secara langsung, aku menjadi semakin sadar akan perlunya holocaust-ku sendiri.”
edith mendambakan gelar professor, suatu impian yang mustahil bagi seorang perempuan pada masa itu. Husserl menuliskan referensi berikut, “Andai karis akademis terbuka bagi kaum perempuan, maka aku akan merekomendasikannya dengan segenap hatiku dan sebagai pilihan pertamaku untuk gelar tersebut.” Edith akhirnya ditolak terutama karena ia seorang Yahudi.
Sekembalinya ke Breslau, Edith mulai menulis artikel-artikel mengenai dasar filosofis dan psikologi. Tetapi ia juga membaca Perjanjian Baru, Kierkegaard dan Latihan Rohani St. Ignasius Loyola. Ia merasa bahwa orang tak dapat sekedar membaca sebuah buku macam itu, melainan harus mengamalkannya.
“INILAH KEBENARAN!”
Pada musin panas 1921, Edith melewatkan beberapa minggu di Bergzaben (di Palatinate) di tempat Hedwig Conrad-Martius, seorang murid Husserl. Hedwig dan suaminya telah memeluk protestan. Suatu sore, dari perpustakaan Hedwig, Edith mengambil secara acak sebuah buku yang ternyata adalah buku otobiografi Santa Theresia Avila, dan terus ia membaca buku itu sepanjang malam hingga fajar merekah. “Ketika aku selesai membaca, aku berkata kepada diriku sendiri: inilah kebenaran!”
Keesokan harinya, Edith membeli buku misa dan katekismus yang di hari-hari selanjutnya menjadi tumpuan perhatiannya. Ketika dirasa ia sudah cukup paham, Edith untuk pertama kalinya masuk ke sebuah Gereja Katolik, dan dengan mudah mengikuti jalannya misa. Ia ingin dibaptis segera; dan ketika Pastor Breitling mengatakan bahwa agar dapat dibaptis orang perlu persiapan untuk mengenal ajaran dan tradisi-tradisi Gereja, Edith menjawab, “Ujilah saya!” Ini dilakukan pastor dan Edith lulus dengan cemerlang.
“Edith, pernahkah engkau memohon rahmat iman sebelum engkau bertobat?” Jawabannya, “Terus-menerus mencari kebenaran itulah satu-satunya doaku.” Dan kepada seorang biarawati Benediktin sahabatnya, Edith menu;is, “Barangsiapa mencari kebenaran, entah sadar atau tidak, ia mencari Tuhan.”
Pada 1 Januari 1922 Teresa Edith Stein menerima Sakramen Baptis dan Sakramen Komuni Pertama di Gereja Santo Martinus, Bergzabern. Hari itu adalah hari Peringatan Penyunatan Yesus, ketika Yesus masuk ke dalam perjanjian Abraham. Teresa Edith Stein berdiri dekat bejana baptis dengan mengenakan gaun pengantin putih milik Hedwig. Dengan dispensasi khusus Bapa Uskup, Hedwig menjadi wali baptisnya. “Aku meninggalkan agama Yahudiku ketika aku masih seorang gadis berusia 14 tahun, dan tidak lagi merasakan keyahudian hingga akhirnya aku kembali kepada Tuhan.” Sejak saat itu ia terus menerus sadar sepenuhnya bahwa ia adalah milik Kristus, bukan hanya secara rohani, melainkan juga karena hubungan darah. Pada 2 Februari 1922, hari Peringatan Pentahiran Maria – suatu hari yang merujuk pada Perjanjian Lama – Edith menerima Sakramen Krisma oleh Uskup Speyer di kapel pribadi uskup.

Edith langsung menuju Breslau. “Mama,” katanya dengan berlutut sembari menggenggam kedua tangan sang ibu, “Aku seorang katolik.” Ibunya yang seorang Yahudi saleh itu bagai disambar petir. Kemudian perlahan air mata berlinang-linang membasahi wajahnya yang keriput. Edith belum pernah melihat ibunya yang tegar itu menangis. Ini terlalu berat baginya. Dalam keluarganya, katolik dianggap sekte yang hina. Edith siap menerima teguran yang paling tajam sekalipun; ia bahkan khawair akan diusir dari rumah. Tetapi, air mata itu ungkapan kesedihan hati yang terdalam. Kedua perempuan itu pun menangis. Hedwig menulis, “Lihat, inilah dua orang Israel sejati, tidak ada kepalsuan di dalamnya.” (bdk Yoh 1: 47).
FRAULEIN DOCTOR
Segera setelah pertobatannya, kerinduan Edith yang terdalam adalah menggabungkan diri dalam sebuah biara Karmelit. Tetapi, para pembimbing rohaninya, Vikaris Jenderal Schwind dan Pastor Erich Przywara, SJ untuk sementara menghalanginya. Mereka beranggapan bahwa rencana Tuhan adalah bahwa Edith mengabdi Gereja lewat ilmunya. Pastor Schwind mengatur agar Edith menjadi guru bahasa Jerman dan sejarah di sekolah Suster-suster Dominikan, dan juga guru pembimbing mereka yang akan masuk universitas di Biara St. Magdalena di Speyer.
“Segalanya untuk semua orang.” itulah semboyan Edith sejak ia menjadi katolik, dan dalam hal itu ia menjadi teladan bagi semua orang. Satu dari banyak kesaksian yang ditulis oleh para mantan muridnya mengatakan, “Kami baru berumur 17 tahun dan Fraulein (=nona) Doctor mengajar kami bahasa Jerman. Sesungguhnya ia memberi kami segalanya. Kami masih sangat muda, namun daya tarik yang terpancar darinya tak akan pernah kami lupakan. Tiap-tiap hari kami melihat dia berlutut di bangku doanya, di depan koor, selama perayaan ekaristi. Maka, kami mulai sedikit mengerti apa artinya iman dan sikap hidup yang diserasikan. Bagi kami, di usia yang penuh kritik, sikapnya saja sudah menjadi teladan. Kami tak pernah melihat dia lain daripada anggun, tenang dan pendiam. Seperti itu ia selalu masuk ke kelas kami, seperti itu juga ia seminggu sekali menemani kami waktu rekreasi….”
Pada saat yang sama, Abbas Agung Raphael Walzer dari Biara Beuron, mendorongnya untuk menerima tawaran memberikan ceramah-ceramah. Sebanyak mungkin Edith menerima tawaran ini yang merupakan sarana baginya untuk mewartakan iman katolik. Jadi, Edith melewatkan hari-harinya dengan mengajar, memberikan kuliah, menulis dan menerjemahkan, memberikan ceramah-ceramah baik di Jerman maupun di luar negeri, dan segera saja ia terkenal sebagai seorang filsuf dan pengarang yang ternama, meski yang didambakannya adalah keheningan dan kontemplasi di Karmel. Pernah ia dicela karena dianggap terlalu kuat menggarisbawahi segi adikodrati, yang dijawabnya dengan tegas, “Jika aku tidak berbicara tentang hal ini, maka tak ada gunanya aku duduk di atas mimbar.”
Edith belajar bahwa adalah mungkin untuk “mengejar ilmu pengetahuan sebagai suatu pelayanan kepada Tuhan … hingga aku memahami hal ini maka aku mulai secara serius menekuni karya akademis kembali.” Edith bekerja keras luar biasa, menerjemahkan surat-surat dan buku harian Kardinal Newman dari masa sebelum ia menjadi katolik, pula Quaestiones Disputatae de Veritate tulisan St. Thomas Aquino. Karya yang disebut belakangan ini merupakan suatu terjemahan yang sangat bebas, demi kepentingan dialog dengan filsuf modern. Pastor Erich Przywara juga mendorongnya untuk menuliskan karya-karya filosofisnya sendiri. “Pada masa menjelang dan awal pertobatanku, aku pikir bahwa melewatkan suatu kehidupan religius berarti meninggalkan segala hal-hal duniawi dan mengarahkan akal budi pada hal-hal lain juga. Namun demikian, perahan-lahan aku belajar bahwa hal-hal lain juga diharapkan dari kita di dunia ini … Aku bahkan percaya bahwa semakin seorang tenggelam dalam Tuhan, semakin ia harus ‘mengatasi dirinya sendiri’ dalam hal ini, yakni masuk ke dalam dunia dan melaksanakan hidup ilahi di dalamnya.”
Pada tahun 1931 Edith meninggalkan sekolah biara di Speyer dan membaktikan diri untuk meraih gelar professor kembali, kali ini di Breslau dan Freiburg, meski ternyata usahanya sia-sia belaka. Pada waktu itulah ia menulis ‘Potensi dan Tindakan’, suatu studi mengenai konsep-konsep inti yang dikembangkan oleh St. Thimas Aquino. Di kemudian hari, di Biara Karmelit di Cologne, ia menulis ulang studi ini demi menghasilkan karya utamanya dalam filosofis dan teologis, ‘Keterbatasan dan Keabadian’, yang diselesaikannya pada tahun 1936. Tetapi, karena hukum anti Yahudi yang diberlakukan pada masa itu, karyanya tidak dapat dipublikasikan hingga tahun 1950.
Pada tahun 1932 ia menerima jabatan dosen di Institut Jerman untuk Ilmu Pedagogi di Universitas Munster, dimana ia mengembangkan antropologinya. Dengan gemilang Edith memadukan ilmu pengetahuan dan iman dalam karya dan pengajarannya, sebagai usaha menjadi ‘alat Tuhan’ dalam segala yang ia ajarkan. “Jika seorang datang kepadaku, aku ingin menghantarnya kepada Dia.”
Serangan terhadap bangsa Yahudi semakin gencar, dan pada tahun 1933, Adolf Hitler dan Partai NAZI berkuasa di Jerman. “Aku telah mendengar perlakuan buruk terhadap bangsa Yahudi sebelumnya. Tetapi sekarang mulai tampak bagiku bahwa Tuhan telah menekankan tangan-Nya dengan kuat ke atas umat-Nya, dan bahwa nasib bangsa ini juga akan menjadi nasibku.” Hukum Arian NAZI menjadikan mustahil bagi Edith untuk terus mengajar. “Jika aku tak dapat terus di sini, maka tidak akan ada lagi kesempatan bagiku di Jerman,” tulisnya. “Aku telah menjadi seorang asing di dunia.”
Sekarang Pastor Walzer, Abbas Agung Beuron, yang menjadi pembimbing rohaninya, tak lagi menghalanginya untuk masuk biara Karmelit. Sementara di Speyer, Edith telah mengucapkan kaul kemiskinan, kemurnian dan ketaatan. Pada tahun 1933 ia bertemu dengan Priorin Biara Karmelit di Cologne. Ketika diberitahukan kepadanya bahwa ia tidak usah berharap dapat melanjutkan karya ilmiahnya di Karmel, Edith menjawab sepenuh hati, “Karya manusia tak ada gunanya, yang berarti hanyalah sengsara Kristus. Dan adalah kerinduanku untuk ikut ambil bagian di dalamnya.”
TERESA BENEDIKTA DARI SALIB

Edith pergi ke Breslau terakhir kalinya untuk mengucapkan selamat tinggal kepada ibu dan keluarganya. Hari terakhirnya di rumah adalah tepat hari ulang tahunnya. Edith pergi ke sinagoga bersama ibunya. Sungguh hari yang sulit bagi keduanya. "Mengapakah engkau harus mengenalnya [kekristenan]?" tanya sang ibu. "Aku tak hendak berbicara melawan-Nya. Mungkin Ia seorang yang amat baik. Tetapi mengapa Ia menjadikan diri-Nya Tuhan?" Sang ibu meneteskan air mata kepedihan di dada anaknya. Pasti dengan hati Yahudinya yang terluka dan berdarah ia bertanya kepada Allah Israel, mengapa anak ini, yang dicintainya secara istimewa karena dilahirkan pada Hari Raya Pendamaian, harus diutus ke padang gurun yang begitu sepi, begitu jauh dari kaum keluarganya, begitu jauh dari kaum bangsanya...
Keesokan harinya Edith berangkat dengan Kereta Api ke Cologne. "Aku tidak merasakan sukacita yang meluap. Apa yang baru saja aku alami terlalu mengerikan. Tetapi aku merasakan suatu damai yang luar biasa - dalam perlindungan aman kehendak Allah." Sejak itu ia menulis kepada ibunya setiap minggu, meski tidak pernah menerima balasan. Tetapi Rosa, saudarinya, mengirim kabar dari Breslau.
Edith menggabungkan diri dengan Biara Karmelit di Cologne pada 14 Oktober 1933, dan menerima busana Karmel pada 15 April 1934. Misa kudus dipersembahkan oleh Abbas Agung Beuron. Edith sekarang dikenal sebagai Suster Teresa Benedikta a Cruce (Teresa yang terberkati dari salib). Pada tahun 1938 ia menulis "Aku memahami salib sebagai takdir umat Allah, yang mulai tampak pada waktu itu (1933). Aku merasa bahwa mereka yang memahami Salib Kristus, hendaknya membebankannya pada diri mereka sendiri atas nama semua orang. Tentu saja, aku tahu dengan lebih baik sekarang apa artinya dikawinkan dengan Tuhan dalam Tanda Salib. Namun demikian, orang tidak akan pernah dapat memahaminya, sebab itu suatu misteri." Pada 21 April 1935 Sr. Teresa mengucapkan kaul sementara. Ketika itulah ia menulis, "Seorang Karmelit daat membalas kasih Tuhan dengan melaksanakan tugas kewajiban sehari-hari dengan setia dan penuh bakti ... Inilah 'jalan kecil', suatu rangkaan bunga yang disusun dari bunga-bunga kecil tak berharga yang setiap hari ditempatkan di hadapan Allah yang Mahakuasa - mungkin suatu kemartiran dalam dian, sepanjang hidup, yang tak diketahui orang dan yang pada saat bersamaan adalah sumber damai mendalam dan sukacita sejati dan sumber rahmat yang meluapi semuanya - kita tidak tahu kemana ia pergi, dan orang-orang yang menerimanya tidak tahu darimana ia berasal."
Pada 14 September 1936, pembaharuan kaulnya bertepatan dengan wafat ibunya di Reslau. "Ibuku berpegang teguh pada imannya hingga saat terakhir. Sebab iman dan keyakinannya yang teguh kepada Tuhannya ... adalah hal terakhir yang masih hidup di saat sakraltulmaut, aku yakin bahwa ia akan bertemu dengan seorang hakim yang sungguh berbelas kasihan dan bahwa ia sekarang adalah penolongku yang paling setia, sehingga aku dapat mencapai tujuanku pula."
Ketika ia mengucapkan kaul kekal pada 21 April 1938, kata-kata St. Yohanes dari Salib dituliskan pada gambar devosionalnya, "Sejak saat ini, satu-satunya panggilanku adalah mencinta." Karya terakhirnya dipersembahkannya kepada St. Yohanes dari Salib.
"YANG TERBERKATI DARI SALIB"
Masuknya Edith ke Ordo Karmelt bukanlah pelarian. "Mereka yang menggabungkan diri dengan Ordo Karmelit tidak hilang bagi orang-orang terdekat dan terkasih, melainkan dimenangkan bagi mereka, sebab adalah panggilan kami untuk menjadi perantara semua orang kepada Tuhan." Secara istimewa, ia menjadi perantara bangsanya kepada Tuhan. "Aku terus menerus memikirkan Ratu Ester yang direngut dari bangsanya tepat karena Allah menghendakinya untuk memohon kepada raja atas nama bangsanya. Aku seorang Ester yang amat malang dan tanpa daya, tetapi Raja yang telah memilihku tak terhingga dalam kuasa dan belas kasihan-Nya. Ini sungguh merupakan penghiburan besar bagiku." (31 Oktober 1938).
Pada 9 November 1938, gerakan anti Semit oleh NAZI menjadi semakin nyata di hadapan seluruh dunia. Sinagoga-sinagoga dibumihanguskan, harta milik orang-orang Yahudi dijarah dan dirampas; orang Yahudi dicekam ketakutan yang ngeri. Priorin Biara Karmelit di Cologne melakukan yang terbaik demi memindahkan Sr. Teresa ke luar negeri. Pada malam tahun baru 21 Desember 1938, Sr. Teresa diseludupkan melewati perbatasan ke Belanda, ke Biara Karmelit di Echt di Provinsi Limburg. Di sinilah Sr. Teresa menuliskan wasiatnya tertanggal 6 Juni 1939, “Bahkan sekarang aku menerima kematian yang telah Tuhan persiapkan bagiku dalam penyerahan diri sepenuhnya dan dengan sukacita sebagai kehendak-Nya yang terkudus bagiku. Aku memohon kepada Tuhan untuk menerima hidupku dan matiku …. Sehingga Tuhan akan diterima oleh umat-Nya dan bahwa kerajaan-Nya akan datang dalam kemuliaan, demi keselamatan Jerman dan perdamaian dunia.”
Ketika di Biara Cologne, Sr. Teresa diberi izin untuk memulai studi akademisnya kembali. Ia merasa memiliki suatu kesempatan dan tanggung jawab unik, sebagai seorang katolik Yahudi, untuk menjembatani jurang pemisah antara pemahaman kristiani dan Yahudi. Ia menulis buku “Kehidupan sebuah Keluarga Yahudi” (yaitu keluarganya sendiri) berusaha menunjukkan kesamaan pengalaman manusiawi antara orang-orang Yahudi dan orang-orang kristiani dalam kehidupan mereka sehari-hari. “Aku hanya ingin menceritakan apa yang aku alami sebagai bagian dari bangsa Yahudi,” katanya, menunjukkan bahwa “kami yang dibesarkan dalam agama Yahudi mempunyai kewajiban untuk menjadi saksi … kepada generasi muda yang dibearkan dalam kebencian rasial dari sejak awal kanak-kanak.”
Di Echt, Sr. Teresa dengan cepat menyelesaikan studinya “Guru Mistik Gereja dan Bapa Karmelit, Yohanes dari Salib, dalam peringatan 400 tahun kelahirannya, 1542 – 1942” Pada tahun 1941 Sr. Teresa menulis kepada seorang sahabat, yang adalah juga anggota ordonya, “Orang hanya dapat memperoleh scientia crucis (pengetahuan tentang salib) jika orang telah secara mendalam mengalami salib. Aku yakin akan hal ini sejak dari saat pertama dan seterusnya, dan mengatakannya dengan segenap hatiku: Ave, Crux, Spes unica! (Aku menyambut Engkau, wahai Salib, satu-satunya pengharapan kami).” Studinya mengenai St. Yohanes dari Salib diberinya judul “Kreuzeswissenschaft” (Ilmu tentangSalib), karyanya yang tak pernah terselesaikan.
Salibnya sendiri sudah di ambang pintu, sebab NAZI telah menguasai Belanda yang netral. Dan ketika para Uskup Katolik Belanda menentang pembuangan dan pembantaian orang-orang Yahudi, NAZI menangkap semua orang katolik keturunan Yahudi, termasuk para imam dan para religious di Belanda sebagai tindakan balas dendam.
Sr. Teresa ditangkap oleh Gestapo pada 2 Agustus 1942 ketika ia sedang di kapel bersama para biarawati lainnya. Ia diwajibkan melapor dalam waktu lima menit, bersama dengan Rosa – saudaranya yang telah menjadi katolik dan seorang Karmelit Ordo Ketiga – yang melayani di Biara Echt. Dengan menggandeng tangan Rosa, Sr. Teresa mengatakan, “Mari kita pergi untuk bangsa kita.”
“AVE, CRUX, SPES UNICA”

Bersama dengan banyak orang Yahudi  lainnya, kedua perempuan ini dibawa ke suatu kamp perhentian di Amersfoort dan kemudian dari Amersfoort ke Westerbork. Kepada Priorin Karmel di Cologne, diceritakan orang sebagai berikut: "Di antara para tahanan yang datang pada 4 Agustus, Sr. Teresa mencolok karena ketenangannya yang dalam dan kegembiraannya. Penderitaan dan ketegangan dalam kamp itu tak terlukiskan. Sr. Teresa berkeliling di antara ibu-ibu yang nyaris gila, sudah berhari-hari tidak menghiraukan anak-anak mereka. Mereka bingung dan putus asa. Sr. Teresa memperhatikan anak-anak yang malang itu, memandikan dan menyisir rambut mereka ... ia memberi contoh pengabdian yang tak kenal lelah yang begitu baik, yang mengherankan semua orang."
Ny. Bromberg, salah seorang yang ada di kamp konsentrasi bersama Sr. Teresa, dan kemudian dibebaskan, memberikan kesaksian, "Perbedaan besar antara Edith dan suster-suster lainnya adalah karena ia pendiam. Kesan pribadiku ialah bahwa ia sangat sedih, tidak takut, tetapi tak dapat kukatakan yang lain daripada bahwa ia memberi kesan harus memikul beban berat penderitaan, yang bahkan bila ia tersenyum, orang merasa terlebih sedih lagi. Ia hampir tidak berbicara, hanya sering kali ia memandangi kakaknya Rosa, dengan amat sangat sedih. Pada saat aku menuliskan ini, muncul pikiran bahwa ia tahu apa yang akan terjadi atas dirinya dan orang lain ... Sekali lagi, ini adalah kesanku: bahwa ia memikirkan penderitaan yang akan datang, bukan penderitaannya sendiri, karena ia terlalu tenang dan hampir kukatakan terlalu tenteram, melainkan penderitaan yang akan menimpa orang lain. Seluruh penampilannya sampai sekarang memberi aku kesan, bila aku membayangkannya lagi, duduk di muka barak: suatu patung pieta tanpa Kristus.
Prof Jan Nota, yang begitu dekat dengan Sr. Teresa, di kemudian hari menulis, "Ia adalah saksi kehadiran Tuhan dalam suatu dunia dimana Tuhan absen." Sr. Teresa sendiri mengatakan, "Aku tidak pernah tahu bahwa orang dapat seperti ini, pun aku tidak tahu bahwa saudara dan saudariku akan harus menderita seperti ini ... Aku berdoa bagi mereka setiap saat. Adakah Tuhan mendengarkan doa-doaku? Tentu Ia akan mendengarkan mereka dalam sengsara mereka."
Pada 7 Agustus, pagi-pagi benar, 987 orang Yahudi dideportasi ke Auschwitz, Polandia, dengan kereta api. Dalam perjalanan, kira-kira pukul 12 siang, mereka tiba di Schifferstadt. Sr. Teresa meminta petugas kereta api untuk menyampaikan salam kepada keluarga Pastor Schwind - pembimbing rohaninya yang telah wafat - yang tinggal di kota itu. "Saya diperjalanan ke arah Timur. Ke arah Timur! Ad orientem! Mnuju kepada terang." Inilah kata-katanya yang terakhir.
Pada 9 Agustus Sr. Teresa bersama saudaranya dan banyak kaum bangsanya dibantai dengan gas beracun dalam kamar gas NAZI dan kemudian jenazah mereka dibakar secara massal di krematorium di sana.
SANTA PELINDUNG EROPA
Ketika Sr. Teresa dibeatifikasi pada 1 Mei 1987, Gereja menghormati "seorang puteri Israel," seperti dinyatakan Paus Yohanes Paulus II, yang "sebagai seorang katolik pada masa penganiayaan NAZI, tetap setia kepada Tuhan Yesus Kristus yang tersalib, dan sebagai seorang Yahudi, kepada bangsanya dalam kasih setia."

Pada 11 Oktober 1998 Sr. Teresa dimaklumkan sebagai Santa oleh Paus Yohanes Paulus II di Roma. Setahun kemudian, pada 1 Oktober, Paus yang sama memaklumkan Sr. Teresa, bersama dengan St. Katarina Siena dan St. Brigitta sebagai pelindung Eropa. Sebelumnya Eropa hanya memiliki 3 santo pelindung, yaitu St. Benediktus, St. Sirilus dan St. Methodius. Bapa Suci mengatakan bahwa ia memaklumkan ini “guna menekankan peran penting yang telah dimainkan dan yang dimiliki kaum perempuan dalam Gereha dan dalam sejarah sipil Eropa.”

Puasa dan Naiknya Harga Barang

Pada hari Jumat lalu (13 Juli, pukul 16:08), mengikuti gaya penulisan Mang Usil di pojok Kompas, saya menulis di status facebook saya begini:
Beberapa hari terakhir banyak pejabat bilang bahwa persediaan sembako aman selama ramadhan.
Harganya yang gak nyaman, bos!!!

Satu jam kemudian, persisnya pukul 17: 09, seorang teman menanggapi status saya tersebut dengan menulis: “Biasanya harga sembako naik seputar lebaran ..... Why?”

Saya tidak langsung menjawab, karena memang saya tidak membaca tanggapan sahabat facebook itu. Tentu karena disebabkan saya lagi tidak online. Saya baru membuka internet di laptop saya pada pukul 21:45. Ketika saya membuka facebook, saya langsung membaca tanggapan teman saya itu. Lalu saya membalasnya dengan menulis singkat: hukum ekonomi: permintaan banyak, barang sedikit = harga tinggi.  Tercatat dalam facebook, tanggapan saya terkirim pada pukul 21:48.

Meski mendasarkan jawaban pada hukum ekonomi, bukan berarti saya ini ahli dalam ilmu ekonomi. Apa yang saya ungkapkan itu merupakan sisa-sisa pelajaran ekonomi yang pernah saya dapat waktu SMA dulu (tahun 1988).

Lebaran dan Hukum Ekonomi

Ketika menanggapi tulisan saya di status facebook saya, mungkin teman saya itu belum terlalu memahami hukum ekonomi. Atau dia sudah tahu tapi punya maksud lain. Saya tidak tahu. Yang saya tahu adalah bahwa dia bingung menghadapi realitas menjelang dan selama lebaran. Setiap kali menjelang dan sepanjang lebaran, dia selalu melihat, menyaksikan dan mendengar bahwa harga-harga barang, terlebih barang sembako, naik dari biasanya.

Sebenarnya bukan cuma menjelang lebaran. Setiap memasuki imlek atau Natal, harga-harga barang juga naik. Jadi, bukan hanya lebarannya saja.

Akan tetapi kebingungan teman saya terletak pada harga naik. Bukankah lebaran itu selalu dirayakan setiap tahun? Koq masih tetap naik harga barangnya. Kenapa kejadian kenaikan harga barang ini selalu terulang lagi? Apa berarti selama ini tidak ada penanganannya?

Mungkin teman saya ini mengambil pepatah, “Sebodoh-bodohnya keledai, tak jatuh ke dalam lubang yang sama untuk kedua kalinya.” Nah, dengan prinsip ini, sebenarnya masalah kenaikan harga barang tidak perlu terjadi berkali-kali. Cukuplah satu atau dua kali. Ataukah kita bodoh melebihi keledai?

Kepadanya saya hanya memberikan sedikit jawaban. Saya hanya mengatakan bahwa apa yang terjadi sudah sesuai dengan hukum ekonomi. Dalam hukum ekonomi (pasar), di mana persediaan barang sedikit dan permintaan akan barang itu banyak, maka dengan sendirinya harga barang itu akan naik. Naiknya harga ini bisa dipahami agar barang tidak hilang dari pasar.

Karena itu, hukum ekonomi (pasar) ini bisa diterapkan dalam fenomena harga naik pada saat lebaran, baik mennyongsong maupun sepanjang lebaran. Bisa dikatakan bahwa menjelang lebaran persediaan barang yang dibutuhkan sangat sedikit, sementara para pamakainya banyak (atau pemakainya sedikit tapi barang yang akan dipakainya banyak). Hal ini membuat harga-harga barangnya menjadi naik. Sebagai contoh, telur. Pada hari biasa persediaan telur 1.000, sementara yang membutuhkannya hanya 10 orang, di mana tiap orang cuma butuh 1 atau 2 butir telur. Di sini telur akan dijual murah agar cepat habis. Tapi pada saat lebaran, di mana persediaan telur tetap 1.000, sementara yang butuh lebih dari 500, di mana tiap orang butuh 1 atau 2 butir, maka pedagang dengan sendirinya akan menaikkan harga telur itu. Atau juga yang butuh tetap 10 orang, tapi tiap orang membutuhkan 100 butir telur, tentulah pedagang juga akan menaikan harga telur. Inilah hukum ekonomi.

Haruskah Mengalah pada Hukum?

Mungkin inilah yang menjadi pergumulan teman saya itu. Mengapa harus naik setiap lebaran? Memang kenaikan itu merupakan suatu keharusan, sebagaimana yang telah diuraikan dalam hukum ekonomi. Menjadi persoalan adalah apakah keharusan itu sebagai sesuatu yang mutlak-absolut?

Manusia berhadapan dengan berbagai macam hukum. Kita dapat membagi hukum ini dalam dua bagian besar, yaitu hukum natural dan hukum positif. Hukum natural adalah buatan alam, sedangkan hukum positif adalah buatan manusia atau hasil pemikiran manusia.

Ketika manusia berada di atap gedung, dan ketika tidak ada pijakan kakinya, maka ia akan terjatuh ke bawah. Burung bisa terbang, manusia tidak bisa terbang seperti burung. Ini hukum natural. Alam sudah menentukannya demikian. Manusia tidak bisa mengubahnya. Manusia hanya bisa menerimanya.
Berbeda dengan hukum positif. Karena dia merupakan buatan manusia, tentulah rumusan hukumnya bisa diubah demi kepentingan manusia. Yang termasuk hukum positif adalah hukum pidana/perdata, norma-norma dan termasuk juga hukum ekonomi. Jadi, bisa dikatakan bahwa hukum ekonomi itu bisa diubah. Karena itu, setiap menyongsong dan selama lebaran harga barang BISA  DIBUAT  AGAR  TIDAK  NAIK. Dengan kata lain, kita bisa mengubah hukum ekonomi itu sehingga tidak ada kenaikan harga saat lebaran. Mungkinkah?

Tentu saja mungkin. Bukankah hukum ekonomi itu merupakan hukum positif yang dapat diubah demi kepentingan umat manusia? Manusia tidak boleh kalah dengan hukum yang dibuatnya sendiri. Seperti kata Yesus, “Hukum itu untuk manusia, bukan manusia untuk hukum.”

Kita sudah mengetahui bahwa unsur-unsur yang menyebabkan harga naik tadi, yaitu persediaan barang yang terbatas, peminat yang banyak atau kebutuhan akan barang yang banyak. Peminat atau pemakai sebenarnya tidak terlalu banyak. Tentulah orang-orang itu saja yang membutuhkannya. Tak mungkin setiap lebaran jumlah penduduk kita bertambah banyak. Yang meningkat adalah kebutuhan akan barang. Orang membutuhkan barang dalam jumlah yang tidak biasanya. Jadi, bisa dikatakan bahwa penyebab kenaikan harga barang ini ada dua, yaitu persediaan barang dan kebutuhan.

Untuk mengendalikan harga pasar, tentulah dengan cara mengendalikan kedua unsur tadi. Pertama, persediaan barang harus ditingkatkan jumlahnya. Kejadian lebaran ini sebenarnya bukan hanya sekali dua kali saja terjadi, melainkan berkali-kali. Setiap tahun pasti orang mengalami lebaran. Karena itu, seharusnya sudah bisa diprediksikan berapa kebutuhan akan barang tertentu. Misalnya, kalau setiap lebaran kebutuhan akan telur sekitar 3000, maka menjelang lebaran harus sudah disediakan 3000-4000 butir telur.

Kedua, soal kebutuhan akan barang. Karena kebutuhan ini melekat pada manusia, maka yang perlu dikendalikan adalah manusianya. Apa yang harus dikendalikan dari manusianya? NAFSU! Nafsu manusialah yang harus dikendalikan, karena nafsu itulah yang mendorong manusia untuk membeli barang dalam jumlah yang sangat banyak. Jika seandainya nafsu itu dapat dikendalikan atau dimatikan, tentu manusia tidak akan membeli dalam jumlah yang banyak. Konsekuensinya, harga tidak akan naik. Persoalannya, dapatkah manusia mengendalikan nafsunya itu?

Seharusnya dapat. Bukankah masa lebaran adalah masa puasa. Puasa merupakan ibadah. Bulan puasa ini umat manusia diminta untuk mengendalikan hawa nafsunya. Dan salah satu hawa nafsu itu adalah nafsu membeli barang dalam jumlah yang banyak. Konsekuensi logisnya adalah di masa lebaran ini manusia mengendalikan hawa nafsunya, termasuk membeli barang dalam jumlah yang sangat banyak, sehingga dengan demikian harga barang tidak akan naik.

Yang Bertanggung Jawab

Pertanyaan kita sekarang adalah, siapa yang bertanggung jawab akan semuanya ini?

Untuk pengendalian unsur yang pertama, yaitu persediaan barang, tentulah yang bertanggung jawab adalah pemerintah, para produsen dan para pedagang. Pemerintah bertanggung jawab untuk mengatur ketersediaan barang di pasar. Dengan wewenang yang dimilikinya, pemerintah dapat mendesak para produsen untuk memproduksi barang dalam jumlah yang banyak menjelang lebaran. Dan para produsen harus menyediakan hal itu. Jika produsen memproduksi barang dalam jumlah yang banyak di saat mendekati lebaran, tentulah para pedagang tidak ada niat untuk melakukan penimbunan.

Memang pemerintah bertanggung jawab atas pengendalian harga pasar ini. Namun bukan berarti kesalahan atas naiknya harga barang dalam masa puasa ini mutlak pada pemerintah. Tak pantaslah kita menyalahkan pemerintah saja atas kejadian ini. Pihak lain yang harus disalahkan adalah konsumen, yang merupakan unsur kedua.

Konsumen adalah pengguna atau pemakain barang. Ia merupakan unsur kedua yang bertanggung jawab atas kenaikan harga barang. Konsumen juga berperan penting dalam menstabilkan harga barang. Bagaimana caranya?

Masing-masing orang hendaknya mengendalikan hawa nafsunya untuk membeli barang dalam jumlah sangat banyak. Sebenarnya saat puasa (lebaran) adalah momen yang sangat tepat. Inti dari puasa adalah pengendalian hawa nafsu, bukan keserakahan yang terlihat dari naiknya porsi makanan. Orang selalu heran, kenapa di saat lebaran (bulan puasa) orang justru makan lebih banyak daripada biasanya. Bukankah puasa itu mengajak orang untuk menahan diri? Bukankah pada saat puasa (lebaran) orang hanya makan dua kali sehari?

Dengan adanya pengendalian dua unsur ini, tentulah kejadian naiknya harga barang menjelang dan sepanjang lebaran tidak akan terjadi lagi. Lebaran atau bukan kebutuhan orang akan barang tetaplah sama saja. Malah seharusnya di saat lebaran kebutuhan akan barang mesti turun, karena orang makan cuma 2 kali sehari (pagi dan malam). Semua ini bisa terjadi jika ada kemauan politik dari unsur-unsur yang berkaitan dengan kenaikan harga tadi.
Tg Balai Karimun, 19 Juli 2012

Renungan Hari Kamis Biasa XVIII - Thn II

Renungan Hari Kamis Pekan Biasa XVIII B/II
Bac I  Yer 31: 31 – 34; Injil       Mat 16: 13 – 23


Yang menarik untuk direnungkan dari Injil hari ini adalah sikap rasul Petrus. Pada awalnya ia dipuji Yesus. "Berbahagialah engkau Simon bin Yunus.... Kepadamu akan Kuberikan kunci Kerajaan Sorga..." (ay. 17 – 19). Pujian ini berkaitan dengan sikap dan kebijaksanaan yang dimiliki Petrus. Akan tetapi, pada bagian akhir Petrus dicela oleh Yesus. "Enyahlah iblis. Engkau suatu batu sandungan bagi-Ku." (ay. 23).

Dapatlah dikatakan bahwa pujian yang diterima Petrus membuat ia jatuh ke dalam kesombongan. Petrus merasa diri paling hebat, paling penting dan paling bijak. Hal ini membuat ia menjadi takabur. Maka dengan angkuh ia berkata, "Hal itu sekali-kali takkan menimpa Engkau." (ay. 22). Kesombongan Petrus membuat ia tidak mau menerima rencana atau kehendak Allah dalam diri Yesus. Kesombongan membuat Petrus merasa diri mampu menentukan jalan hidup Yesus yang sesuai dengan keinginannya. Bukankah dia yang paling hebat?

Dalam kisah ini Yesus mau mengatakan kepada para rasul-Nya bahwa mereka harus menerima rencana Allah, sekalipun rencana Allah itu tidak sesuai dengan harapan dan keinginan mereka. Menolak rencana Allah dan memaksakan keinginan pribadi tidak sejalan dengan kehendak Allah.

Ada dua hal yang mau disampaikan Tuhan lewat kisah ini. Pertama, soal kesombongan. Kita diminta agar tidak jatuh ke dalam kesombongan bila mendapat pujian atau saat kita berada pada posisi/situasi puncak, baik dalam hal duniawi maupun rohani. Hendaklah kita tetap bersikap rendah hati dan menerima kehendak Allah dalam hidup kita. Hal yang kedua adalah soal rencana Tuhan. Melalui kisah ini Tuhan meminta kita untuk mau dan siap menerima rencana Tuhan sekalipun rencana itu bertentangan dengan harapan dan keinginan kita. Hendaknya kita memiliki sikap iman seperti Bunda Maria, "Terjadilah padaku menurut kehendak-Mu!"

by: adrian