Jumat, 12 Desember 2014

Ingin Mati Seperti Yesus

Seorang pastor tua sedang sekarat. Dia mengirim pesan untuk bankir dan pengacaranya, keduanya anggota gereja, untuk datang ke rumahnya.

Ketika mereka tiba, mereka diantar ke kamar tidurnya. Saat mereka memasuki ruangan, pastor mengulurkan tangannya dan memberi isyarat bagi mereka untuk duduk di masing sisi tempat tidur. Pastor memegang tangan mereka, mendesah puas, tersenyum, dan menatap langit-langit. Untuk sementara waktu, tidak ada yang mengatakan apa-apa.

Bankir dan pengacara itu tersentuh dan tersanjung bahwa pastor akan meminta mereka untuk bisa bersamanya pada saat-saat terakhirnya. Mereka juga bingung; pastor tidak pernah memberi mereka indikasi bahwa ia sangat menyukai salah satu dari mereka. Mereka berdua ingat selama ini, banyak khotbah yang tidak nyaman mengenai keserakahan, ketamakan, dan perilaku kikir yang membuat mereka menggeliat di kursi mereka.

Akhirnya, bankir mengatakan, "Bapa, mengapa Anda meminta kami untuk datang?"

Pastor tua mengerahkan kekuatannya dan kemudian berkata lemah, "Yesus mati di antara dua penjahat, dan seperti itulah cara saya ingin pergi."

Orang Kudus 12 Desember: St. Hoa

SANTO HOA, PENGAKU IMAN
Hoa lahir di negeri Tiongkok pada 31 Desember 1775 dari sebuah keluarga kafir. Nama kecilnya ialah Simon Hoai-Hoa. Hoa sekeluarga kemudian menjadi Kristen. Ia belajar di Kolese Misi di negeri itu.

Ia cerdas sekali dan benar-benar memahami pelajaran agama dan kebajikan-kebajikan kristiani. Seusai menamatkan studinya, ia diangkat menjadi guru agama (katekis) yang pertama di daerah itu. Ternyata ia seorang katekis yang cerdas, bijaksana dan rajin sekali melaksanakan tugasnya. Setelah menikah, ia menjadi seorang suami dan ayah yang bijaksana dan beriman. Semangat pengabdiannya kepada Gereja tidak luntur. Ia rajin beribadat dan mempunyai keprihatinan besar terhadap nasib orang lain. Keluarga Hoa amat dermawan; rumahnya selalu terbuka kepada siapa saja, lebih-lebih bagi para imam yang dikejar oleh penguasa yang lalim. Segala keperluan mereka dicukupi oleh keluarga Hoa.

Hoa kemudian menjadi seorang dokter. Kepandaiannya merawat orang-orang sakit benar-benar dimanfaatkannya untuk menolong sesamanya. Lama kelamaan ia dicurigai oleh penguasa. Pada 15 April 1840, ketika berusia 65 tahun, ia ditangkap, dirantai dan kemudian digantung. Kemudian ia dibawa ke kota Hue untuk menerima hukuman lebih lanjut. Di sana Raja Minh-Meuh telah menyediakan berbagai alat siksaan yang mengerikan. Ia disesah dengan tongkat dan cambuk berduri yang mengerikan, lalu dijepit dengan besi panas. Namun Tuhan tidak membiarkan dia sendiri menanggung penderitaan itu. Berkat pertolongan Tuhan, ia tidak merasakan kesakitan; badannya pun tidak luka sedikit pun. Ia  bahkan sanggup menahan penderitaannya itu dengan sabar dan perasaan gembira.

Pada 12 Desember 1840, hakim dan raja memberinya ancaman terakhir: “Patuh kepada raja dan dibebaskan atau tetap teguh pada iman tapi dibunuh.” Dalam keberanian seorang martir, Hoa dengan tegas memilih tawaran kedua, yakni tetap pada imannya kepada Yesus. Katanya, “Saya tidak akan mengkhianati Yesus Tuhanku; sampai mati pun saya tidak akan pernah memungkiri iman saya kepada-Nya.” Keberaniannya ini menghantar dia kepada hukuman mati yang mengerikan. Di hadapannya diletakkan sebuah salib. Sambil memandang salib itu, ia berdoa, “Ya Allah, ampunilah dosa-dosaku; janganlah menghukum mereka; kehidupan kekal bersama-Mu di surga sudah cukup bagiku daripada memiliki harta duniawi.” Sesudah itu kepalanya dipenggal dengan kapak oleh seorang algojo. Selama 3 hari jenazahnya dipertunjukkan di tempat-tempat umum, lalu dimakamkan oleh umat Kristen yang ada di kota itu.

sumber: Iman Katolik
Baca juga riwayat orang kudus 12 Desember:

Renungan Hari Jumat Adven II - B

Renungan Hari Jumat Adven II, Thn B/I
Bac I    Yes 48: 17 – 19; Injil              Mat 11: 16 – 19;

Bacaan pertama hari ini diambil dari Kitab Nabi Yesaya. Dalam kitabnya, Nabi Yesaya menyampaikan bahwa Allah menjanjikan kebahagiaan, rahmat dan berkat berlimpah kepada umat. Berkat dan kebahagiaan itu diberikan kepada mereka yang dengan setia memberi diri dituntun serta yang memperhatikan perintah-perintah Allah. Dengan kata lain, umat harus hidup sesuai dengan kehendak Allah. Hal inilah yang akan mendatangkan berkat berupa damai sejahtera, kebahagiaan, keturunan yang banyak dan masih banyak lagi.

Apa yang digambarkan Yesaya dalam kitabnya, sepertinya tidak terlihat dalam kehidupan umat jaman Yesus. Dalam Injil hari ini Tuhan Yesus melihat umat saat itu hidup dalam ketidak-pedulian pada kehendak Allah. Mereka diibaratkan dengan anak-anak yang meniupkan seruling, tapi orang tak menari; menyanyikan kidung duka, tapi orang tak menangis. Orang berlaku masa bodoh. Mereka sibuk dengan urusannya sendiri. Apa yang dikehendaki Tuhan tak lagi digubris.

Kehidupan manusia yang digambarkan Tuhan Yesus dalam Injil sepertinya dapat kita temui dalam kehidupan kita dewasa ini. Tak jarang banyak manusia hidup dengan dunianya sendiri dan tak mau peduli dengan apa yang terjadi di sekitarnya. Banyak dari kita hanya memikirkan kepentingan sendiri dan masa bodoh dengan penderitaan orang lain. Salah satu contohnya adalah korupsi. Pelaku korupsi, yang biasa disebut koruptor, adalah orang yang menari-nari di atas penderitaan orang lain. Ia tidak peduli orang lain miskin sengsara, yang penting dirinya kaya bahagia. Koruptor bukan hanya milik kaum awam, melainkan juga imam. Ada banyak imam yang dengan tega mencuri uang Gereja demi kepentingan pribadi dan keluarganya. Sekalipun sudah ada teguran, tetap saja korupsi dijalankan, mengingat tidak ada tindakan tegas dari Gereja. Melalui sabda-Nya ini, Tuhan mengajak kita untuk membangun sikap peduli dengan sesama. Tuhan menghendaki supaya kita mau berbagi rasa dengan sesama kita.

by: adrian