Senin, 18 Juni 2018

Perpisahan Menurut Hukum Gereja

Meski harapannya adalah kebahagiaan suami istri, namun ketidak-cocokan hidup bersama merupakan suatu realitas yang tak bisa dipungkiri. Hal ini memungkinkan terjadinya perpisahan tak sempurna, yaitu pisah ranjang, meja dan rumah. Namun kewajiban untuk memelihara hidup bersama tidak hilang karena ia merupakan hakikat pernikahan. Hukum Gereja mengatur soal perpisahan tak sempurna ini dalam kanon 1151 – 1155. Pada prinsipnya ajaran hukum Gereja ini sejalan dengan nasehat Paulus dalam 1Kor 7: 10 – 11.
Hukum Gereja mengutarakan dua sebab yang membuat suami istri berpisah. Kanon 1152 menyebut soal perzinahan. Kanon menandaskan bahwa perzinahan dari salah satu pasangan, memberikan hak kepada pihak lain yang tak bersalah untuk mengadakan perpisahan tak sempurna. Keputusan pisah bisa diambil tanpa meminta pertimbangan dari Ordinaris Wilayah, tapi dianjurkan untuk berkonsultasi dengan pastor paroki atau Bapa Pengakuan.
Kanon 1153 menyebut sebab-sebab lain. Kanon membolehkan orang berpisah jika ada bahaya berat bagi jiwa, badan dan juga iman, baik salah satu pihak maupun anaknya. Keputusan pisah bukan diambil sepihak oleh suami atau istri, tetapi berdasarkan keputusan Ordinaris Wilayah. Jadi, pihak yang terancam bahaya melaporkan keadaan keluarganya dan memohon diizinkan untuk berpisah. Hal ini dimaksudkan supaya setiap orang tidak seenaknya saja menentukan bahwa adanya bahaya berat.
Perpisahan tak sempurna ini tidak memutuskan ikatan pernikahan. Karena itu, suami istri masih terikat dengan hak dan kewajibannya. Kanon 1151 menjelaskan soal kewajiban suami istri setelah berpisah. Mereka tetap menjaga ikatan pernikahan, dan sangat dianjurkan untuk berdamai dengan saling memaafkan. Kanon 1154 juga mewajibkan suami istri untuk tetap memperhatikan kesejahteraan pasangan dan anaknya. Sedangkan kanon 1155 mengajak suami atau istri untuk mengampuni dan menerima kembali pasangannya. 
by: adrian