Selasa, 29 September 2020

“INI KOTA TUHAN”


Pada musim gugur 1925, Carl Gustav Jung mengadakan perjalanan ke Afrika Tropis, tepatnya Uganda. Dalam perjalanan di Afrika dengan kereta api, Jung singgah sebentar di terminal sementara, stasiun Sigistifour. Jung duduk merenung sambil mengisap pipa. Tak lama kemudian seorang Ingris tua menghampirinya dan duduk sambil mengisap pipa.
“Apakah ini pertama kali Anda ke Afrika?” tanya orangtua itu. “Saya sudah 40 tahun di sini.”
Carl Gustav Jung mengiyakan, namun ia juga menegaskan bahwa yang dimaksudnya adalah Afrika bagian ini. Sebelumnya ia pernah ke Afrika Utara.
“Kalau begitu, bolehkah saya sedikit memberi saran?” orangtua itu melanjutkan. “Begini Tuan, kota ini bukanlah kota manusia. Ini kota Tuhan. Jadi, jika ada sesuatu hal yang terjadi, Anda cukup duduk tenang dan tak usah khawatir.”
Setelah mengatakan hal itu, orangtua itu pergi tanpa bila apa-apa lagi. Ia menghilang di tengah kerumunan orang banyak.
DEMIKIANLAH sepenggal catatan pengalaman Carl Gustav Jung. Satu hal yang menarik dari kisah tersebut adalah “pertentangan” antara kota manusia dan kota Tuhan. Dikatakan bahwa kota, dimana Jung tiba saat itu, atau juga kota lainnya yang ada di Afrika, adalah kota Tuhan.
Dari pernyataan orangtua Inggris itu, kita dapat memahami bahwa yang dimaksud dengan “kota Tuhan” adalah kota dimana Tuhan yang memegang kendali. Tuhan-lah yang mengatur segala-galanya. Manusia tinggal menjalani hidupnya, yang memang sudah diatur. Jika ada masalah, manusia tak perlu khawatir. Ada Tuhan yang selalu siap membantu. Di sini mau dikatakan, dibutuhkan sikap berserah diri kepada kehendak Tuhan.
Dapat dibayangkan kehidupan manusia di kota Tuhan pastilah tenang; tidak ada sikap ketergesa-gesaan. Itulah gambaran “kota manusia”. Berbeda dengan kota lainnya, “kota manusia” dapat dipahami sebagai kota yang dikendalikan oleh manusia. Sebanyak manusianya, sebanyak itu juga pengendalinya. Dan setiap manusia juga mempunyai pengendalinya sendiri.
Secara sederhana kita bisa memahami “kota manusia” dengan kota yang dipenuhi kesibukan. Tiap-tiap orang memiliki kesibukannya sendiri sehingga tidak peduli dengan urusan sesamanya. Dalam “kota manusia” setiap orang seakan mengejar dan dikejar waktu. Bukan tidak mungkin, dalam “kota manusia” ini berlaku juga semangat homo homini lupus.
Sepertinya perkataan orangtua Inggris itu bukanlah isapan jempol belaka. Dia sudah 40 tahun hidup di sana, meninggalkan kota kelahirannya yang jauh lebih modern ketimbang Afrika. Namun dia merasakan kedamaian di Afrika, karena di sana benar-benar “kota Tuhan”. Dapat dipastikan bahwa kota tempat asalnya adalah “kota manusia”.
Ujung Beting, 26 Juni 2020
by: adrian