Rabu, 06 Juni 2012

(Inspirasi Hidup) Perjalanan Kaul Kemiskinan

PERJALANAN KAUL KEMISKINAN
Sebuah Permenungan

Kaul kemiskinan merupakan satu dari tiga kaul yang diucapkan oleh mereka yang ditahbiskan menjadi imam serta mereka yang mengikatkan dirinya pada suatu Lembaga Hidup Bakti. Istilah kaul lebih sering digunakan untuk biarawan dan biarawati, yang masuk dalam Lembaga Hidup Bakti, sedangkan istilah janji dipakai untuk imam non Lembaga Hidup Bakti atau imam diosesan. Dalam tulisan permenungan ini istilah yang dipakai cuma “kaul” saja. Dengan penyebutan atau penulisan kata “kaul” berarti termaksud juga istilah “janji”.

Di atas sudah dikatakan bahwa kaul kemiskinan ini merupakan salah satu dari tiga kaul. Ketiga kaul itu adalah kemiskinan, kemurnian (selibat) dan ketaatan. Ketiga kaul ini termasuk tiga nasehat Injil, dengan catatan dilakukan demi kerajaan Allah. Tiga nasehat Injil ini didasarkan pada sabda dan teladan Tuhan dan dianjurkan oleh para Rasul, para Bapa-bapa Gereja. Maka nasehat-nasehat itu merupakan kurnia ilahi, yang oleh Gereja diterima dari Tuhan dan selalu dipelihara dengan bantuan rahmat-Nya demi tercapainya cinta kasih sempurna. (Lumen Gentium no 43, Perfectae Caritatis no 1).

Memang dewasa ini tiga nasehat Injil ini identik dengan kaum religius dan para imam (klerikus). Namun bukan berarti bahwa ketiga nasehat Injil ini hanya khusus untuk mereka. Umat beriman kristiani juga wajib menghayatinya (bdk. LG, no 44). Malah bisa dikatakan bahwa penghayatan nasehat-nasehat Injil sebagai wujud mengikuti Kristus muncul pertama kali dalam diri kaum awam (bdk. PC no 1). Namun, baik awam maupun bukan, Lumen Gentium menasehati agar “setiap orang yang dipanggil untuk mengikrarkan nasehat-nasehat Injil sungguh-sungguh berusaha, supaya ia bertahan dan semakin maju dalam panggilan yang diterimanya dari Allah, demi makin suburnya kesudian Gereja, supaya makin dimuliakanlah Tritunggal yang satu tak terbagi, yang dalam Kristus dan dengan perantaraan Kristus menjadi sumber dan asal segala kesucian.” (no. 47).

Dalam permenungan ini kita hanya fokus melihat kaul kemiskinan. Di sini saya ingin membagikan sedikit permenungan tentang “perjalanan” kaul kemiskinan itu. Dikatakan “perjalanan” karena ada perubahan dalam penghayatan kaul tersebut dulu dan kini. Uraian ini murni sebuah permenungan, bukan ulasan sejarah. Bukanlah maksud saya untuk mencela atau menyalahkan penghayatan kaul kemiskinan dewasa ini. Dan bukan juga tujuan saya untuk mencari pembenaran atas penghayatan kaul kemiskinan ini. Benar salahnya penghayatan kaul ini berpulang pada masing-masing individu.

Kaul Kemiskinan: Dulu dan Kini
Dulu, ketika pertama kali diterapkan, orang yang mengucapkan atau menghayati kaul kemiskinan benar-benar miskin. Kita bisa lihat dalam sosok Petrus Valdus, Fransiskus Asisi yang diikuti kelompok Fraticelli, salah satu cabang Ordo Fransiskan (lih. Eddy Kristiyanto, OFM, Selilit Sang Nabi, 2007: 12, 109). Mereka menggantungkan hidupnya pada belas kasih Allah, baik langsung maupun dalam diri sesamanya. Karena itu, mereka yang berkaul kemiskinan umumnya tidak memiliki apa-apa.

Dalam perkembangan berikutnya, kaul kemiskinan ini berubah makna menjadi kaul kesederhanaan. Kaul yang diucapkan atau diikrarkan adalah kemiskinan, namun penghayatannya adalah kesederhanaan. Orang yang mengikrarkan kaul kemiskinan ini masih diperkenankan memiliki barang atau harta kekayaan asal jangan sampai menyamai atau melebihi umat awam yang dilayaninya.  Misalnya, kalau umat di wilayah paroki banyak yang mempunyai mobil, maka imam atau biarawan dan biarawati yang ada di wilayah paroki itu cukuplah dengan memiliki motor dengan nilai yang tidak mengalahkan nilai nominal mobil umat. Kalau umat umumnya punya parabola, maka kaum klerikus dan biarawan/wati cukup dengan antena biasa saja. Di situlah letak penghayatan kaul kemiskinannnya.

Dalam perjalanan sejarah kemudian kaul kemiskinan (kesederhanaan) ini mengalami pergeseran nilai. Orang yang mengucapkan kaul kemiskinan ini tidak lagi menekankan “miskin” atau “sederhana”-nya, melainkan pada “ketidakbergantungan”. Artinya, orang boleh saja punya mobil, HP super canggih dan barang-barang elektronik lainnya yang super canggih dan super mahal, yang penting hatinya tidak bergantung pada benda/materi itu. Tak peduli apakah umat sudah memilikinya atau belum. Jadi, pada titik ini seorang imam, bruder dan suster sah-sah saja memiliki Blackberry canggih dan mahal meski umatnya masih pakai HP biasa; wajar-wajar saja kalau melihat seorang imam memegang sebuah tablet meski umatnya masih memakai komputer PC. Kalau ditanya kenapa punya barang-barang itu padahal mengikrarkan kaul kemiskinan, dengan santai pasti dijawab, “Yang penting tidak bergantung dan tergantung pada barang tersebut.” Dan inilah yang terjadi dewasa kini.

Penutup
Dalam dokumen resmi Gereja dikatakan bahwa sejak awal mula Gereja mengamalkan nasehat-nasehat Injil dengan maksud mengikuti Kristus secara lebih bebas, dan meneladan-Nya dengan lebih setia. Dengan cara mereka masing-masing mereka menghayati hidup yang dibaktikan kepada Allah. Di antara mereka banyaklah yang atas dorongan Roh Kudus hidup menyendiri atau mendirikan biara (bdk PC no 1). Artinya, tiga nasehat Injil itu merupakan bagian dari hidup Yesus yang memesona orang sehingga mereka pun menerapkannya dalam hidupnya.

Dalam perjalanan sejarah manusia muncullah manusia-manusia dengan tingkat peniruan yang nyaris sempurna. Mereka benar-benar menghayati nasehat Injil itu. Dan waktu itu giliran mereka yang menjadi contoh. Pada mereka orang menemukan teladan Kristus. Karena itu banyak orang menjadi tertarik dengan gaya hidup mereka. Kita kenal Santo Norbertus. Hidupnya yang miskin, saleh dan bersemangat rasul itu menarik banyak murid kepadanya (Mgr. Nicolaas M Schneiders, CICM, Orang Kudus Sepanjang Tahun, 2008: 282).

Bagaimana dengan masa kini? Apakah anak-anak muda merasa tertarik menjadi imam, suster dan bruder karena “kemiskinan”-nya atau “gaya” hidup miskinnya?

Tanjung Balai Karimun, Peringatan St Norbertus, 6 Juni 2012
by: adrian
Baca juga refleksi lainnya:

Orang Kudus 6 Juni: St. Norbertus


Santo norbertus, uskup dan pengaku iman
Norbertus adalah putera kedua dari Heribertus, seorang tuan tanah di wilayah Gennep. Perawakannya tinggi kekar, pintar dan ramah tamah. Masa mudanya dijalaninya dengan sungguh menyenangkan. Ia bercita-cita menjadi imam untuk mengabdikan dirinya semata-mata kepada Tuhan.

Karena itu, ia ditahbiskan menjadi diakon. Akan tetapi lambat laun hatinya tertarik kepada kesenangan duniawi; ia mulai meninggalkan hidup bakti kepada Tuhan dan pergi ke istana kaisar Jerman, Hendrik V. Di sana ia hidup sebebas-bebasnya tanpa mengindahkan lagi hukum-hukum Allah. Ia sungguh-sungguh mau menikmati kesenangan-kesenangan duniawi sepuas-puasnya.

Tapi semua yang dialami Norbertus tidak mengaburkan rencana Tuhan atas dirinya. Pada usia 30 tahun, ia mengalami suatu peristiwa ajaib dari Tuhan. Ketika sedang bepergian ke suatu tempat maksiat, ia terlempar ke tanah oleh kilat dari langit yang mengenai wajahnya. Ia terjatuh dari kudanya dan tidak sadarkan diri. Ketika mulai sadar lagi, ia bertobat dan menyesali perbuatannya yang bejat. Allah kembali menunjukkan keagungan-Nya atas diri Norbertus dengan cahaya-Nya yang ilahi.

Semenjak peristiwa itu, Norbertus kembali menjalankan latihan rohani yang keras di bawah pimpinan seorang Abbas Benediktin. Ia pun belajar dengan tekun hingga ditahbiskan menjadi imam. Sebagai seorang imam, ia juga bertugas mewartakan Injil dengan mengajar dan berkotbah. Tetapi karena kebejatan hidup masa lalunya yang tidak patut dicontoh, ia dianggap sebagai seorang munafik.

Atas izin Sri Paus, Norbertus berangkat ke Prancis dan berkarya di sana sebagai seorang imam di tengah-tengah umat sederhana di pedalaman. Harta bendanya dibagi-bagikan kepada kaum miskin dan ia sebaliknya menggantungkan hidupnya pada kebaikan hati para dermawan. Hidupnya yang miskin, saleh dan bersemangat rasul itu menarik banyak murid kepadanya. Atas anjuran Sri Paus, ia menetap di sebuah lembah sunyi di Prancis, yang disebut Premontre. Di lembah ini, ia mendirikan sebuah biara yang bertugas mendidik dan memberi imam-imam yang saleh lagi cakap kepada umat terutama yang ada di pedalaman. Semangat pengabdiannya membawa umat kepada semangat hidup yang sesuai dengan cita-cita Injil dan mempertinggi ketertiban hidup iman di seluruh Eropa.

Pada waktu itu timbullah di Antwerpen sebuah bidaah yang menolak kekudusan Sakramen Mahakudus. Penganut aliran ini pernah menanamkan Hosti Kudus di dalam tanah yang kotor. Norbertus mendengar tentang peristiwa itu, dan meminta agar orang menunjukkan tempat itu kepadanya. Lalu ia segera pergi ke tempat itu untuk mengambil kembali Hosti yang dikuburkan itu. Hosti itu masih dalam keadaan utuh, putih tanpa kerusakan dan cacat sedikitpun. Oleh sebab itulah St Norbertus dilukiskan dengan sebuah Monstran atau Sibori.

Pada tahun 1126, Norbertus ditahbiskan menjadi uskup agung di Maagdenburg, Jerman. Di sana ia melanjutkan pekerjaannya memulihkan ketertiban di dalam Gereja dan memperbaiki taraf hidup rohani para imam. Setelah banyak berjuang demi penyebaran Injil, Norbertus meninggal dunia pada tahun 1134.

Sumber: Orang Kudus Sepanjang Tahun

Bahaya Rokok

Tahukah anda:
Dengan merokok di tempat umum
Anda telah mencelakakan orang lain yang tidak merokok.

Malah, orang yang tidak merokok itu menanggung derita yang lebih parah dari yang merokok.
Karena itu:
Berhentilah merokok
atau
Telanlah asap rokokmu!

by: adrian

Renungan Hari Rabu Biasa IX - Thn II

Renungan Hari Rabu Biasa IX B/II
Bac I       : 2Tim 1: 1 – 3, 6 - 12 ; Injil            : Mrk 12: 18 – 27

Sesat! Dua kali kata itu digunakan Yesus, di awal pernyataan-Nya dan di akhir pernyataan-Nya. Kesesatan itu disebabkan adanya semacam pemaksaan kehendak.
Dalam bacaan Injil kesesatan terjadi pada orang-orang Saduki. Kesesatan itu berkaitan dengan kebangkitan. Orang Saduki tidak percaya adanya kebangkitan. Ini bisa terjadi karena mereka memahami kehidupan yang salah. Artinya, mereka berpikir bahwa kehidupan di dunia ini sama saja dengan kehidupan di surga. Dan mereka memaksakan pemikirannya itu. Mereka tidak paham akan kehidupan lain setelah kematian; bahwa kehidupan lain setelah kematian itu berbeda dengan kehidupan sebelum kematian.
Itulah gambaran yang mau disampaikan Tuhan hari ini. Ketidakmengertian akan sesuatu tapi tidak diakui dan malah dianggap seolah-olah sudah mengerti sehingga menghasilkan pemahaman dan pengajaran yang salah atau sesat. Kata "sesat" dalam Injil bisa juga diartikan dengan kata "bodoh".
Dalam kehidupan kita pun sering kali terjadi kita memaksakan kehendak atau pemikiran kita dengan mengatas-namakan sebuah kebenaran lain. Tak jarang orang berkata bahwa Gereja menghendaki ini dan itu, padahal dirinyalah yang mau. Orang suka memakai agama atau malah Tuhan untuk melegalkan aksinya. Gereja dilarang, seminari dihambat, Ahmadiyah ditekan, dll, semuanya dengan mengatas-namakan agama dan Tuhan. Bahkan orang membunuh pun mendapatkan pembenarannya dalam nama Tuhan.
Terkadang kita menilai orang lain salah dengan mengacu pada kebenaran kita sendiri. Kita tidak atau belum memahami kebenaran orang lain, tapi kita langsung mengukurnya dengan ukuran kita sendiri. Ironisnya, terkadang ukuran itu adalah benar-benar ukuran kita sendiri yang mengatas-namakan ukuran benar.

Di sinilah sabda Tuhan hari ini menjadi relevan bagi kita. Tuhan menghendaki agar kita jangan sampai berpikir sesat. Langkah awal yang bisa kita tempuh adalah dengan tidak memaksakan kehendak atau pikiran. Tetapi dengan rendah hati berusaha menggali dan menemukan kebaikan dalam kebenaran yang ada di luar diri kita.
by: adrian