Jumat, 06 November 2020

MENGKRITISI SURAT PERNYATAAN SIKAP MUI TERHADAP PRESIDEN PERANCIS


Dunia lagi heboh. Titik episentrum kehebohan itu adalah pernyataan Presiden Perancis, Emmanuel Macron yang dinilai telah melecehkan nabi Muhammad SAW. Sebenarnya pernyataan Macron sendiri tidak terkait langsung terhadap penistaan Muhammad. Akar persoalan adalah kartun karikatur nabi Muhammad yang diperkenalkan seorang guru (Samuel Paty) di ruang kelas kebebasan berekspresi. Kartun itulah yang dinilai menghina nabi Muhammad. Samuel Paty yang menampilkan kartun itu akhirnya dibunuh dengan cara dipenggal kepalanya oleh seorang muslim.

Menanggapi tragedi inilah Macron akhirnya membuat pernyataan bahwa Perancis tidak akan menutup atau menghapus karikatur tersebut. Ada kesan bahwa Macron membela dan membiarkan kartun tersebut tetap tampil di depan publik. Jadi, bisa dikatakan bahwa pernyataan Macron itu untuk menanggapi sikap biadab umat islam yang membunuh guru yang menunjukkan karikatur nabi Muhammad, yang diambil dari Majalah Charlie Hebdo terbitan tahun 2015. Karikatur itu bukanlah hasil karya Samuel Paty, tapi karya orang lain yang dimuat di sebuah majalah. Samuel Paty kemudian mengambilnya untuk menjadi bahan pelajaran. Namun kebiadaban seorang muslim telah mengakhiri nyawanya, sementara yang menciptakan karya itu masih tetap hidup.

Menanggapi pernyataan tersebut umat islam dunia bangkit menentang dan mengecam. Hal ini bukan hal baru. Sudah tradisi. Mereka marah karena Macron telah melecehkan Muhammad SAW, atau setidak-tidaknya dia membiarkan pelecehan itu terus terjadi. Demo dan kemarahan umat islam hanya tertuju kepada pernyataan Macron yang dinilai telah menghina islam, sementara guru yang dipenggal kepalanya oleh seorang muslim diabaikan.

Majelis Ulama Indonesia (MUI) juga tak mau ketinggalan. Pada 30 Oktober lalu, MUI mengeluarkan surat pernyataan dengan nomor Kep-1823/DP-MUI/x/2020. Surat ini ditanda-tangani oleh Sekretaris Jenderal Anwar Abbas dan Wakil Ketua Umum Muhyiddin Junaidi. Ada 7 poin pernyataan sikap terkait penghinaan umat islam dan penghinaan nabi Muhammad. Dari 7 poin tersebut, sama sekali tidak disinggung soal pemenggalan kepala Samuel Paty oleh seorang muslim, yang menjadi akar persoalan.

Berikut ini kami sajikan ketujuh poin tersebut, yang sebagian besar kami ambil dari Patroli Post. Kami tidak hanya sekedar menampilkan poin-poin pernyataan tersebut, melainkan juga memberikan catatan kritis atasnya sehingga pembaca dapat lebih cerdas menyikapinya.

Pertama, memboikot semua produk yang berasal dari negara Perancis serta mendesak Pemerintah Indonesia untuk melakukan tekanan dan peringatan keras kepada Pemerintah Perancis serta mengambil kebijakan untuk menarik sementara waktu Duta Besar Republik Indonesia di Paris hingga Presiden Emmanuel Macron mencabut ucapannya dan meminta maaf kepada umat islam se-dunia.

Pada poin pertama ini, terlihat jelas bahwa MUI tidak bisa membedakan persoalan. Perlu disadari bahwa persoalan Macron itu adalah persoalan antara Pemerintah Perancis dengan umat islam se-dunia, termasuk Indonesia, bukan  dengan Pemerintah Indonesia. MUI harus ingat bahwa negara Indonesia bukan negara berdasarkan agama; penduduk Indonesia tidak hanya umat islam saja. Hubungan diplomasi Indonesia – Perancis adalah hubungan untuk kepentingan seluruh warga. Kalau mau boikot, ya silahkan umat islam sendiri melakukannya, jangan mendesak pemerintah ikut-ikutan sibuk dengan urusan ini yang ujung-ujungnya merugikan juga umat lainnya yang sama sekali tidak berkaitan dengan kartun Muhammad.

Kedua, umat islam Indonesia tidak ingin mencari musuh. Umat islam hanya ingin hidup berdampingan secara damai dan harmonis. Namun jikalau yang bersangkutan sebagai kepala negara Perancis tidak menginginkan dan tidak mau mengembangkan sikap bertoleransi saling menghormati, maka umat islam terutama umat islam Indonesia yang juga punya harga diri dan martabat untuk membalas sikap dan tindakan dengan memboikot semua produk yang datang dari Perancis.

Nah, sikap inilah yang masuk akal. Di sini terlihat jelas bahwa umat islam menghadapi sendiri permasalahannya dengan Presiden Macron tanpa membuat umat agama lain dirugikan. Akan tetapi, MUI harus juga berefleksi diri. Jangan hanya menuntut Macron mengembangkan sikap bertoleransi saling menghormati, tapi MUI harus juga menuntut umat islam untuk mengembangkan sikap bertoleransi saling menghormati. Sudahkah islam memiliki sikap toleran dan saling menghormati?

Untuk mengetahui jawaban atas pertanyaan tersebut, silahkan baca: QS 109: 6 dan BulanRamadhan, Wisata Halal, Penghinaan Agama dan Intoleransi, Tak Ada Toleransi dalam Islam, Benarkah Islam Menghormati Perbedaan.

Ketiga, menghentikan segala tindakan penghinaan dan pelecehan terhadap nabi Muhammad, termasuk pembuatan karikatur dan ucapan kebencian dengan alasan apapun juga.

Sebenarnya semua orang sepakat bahwa pelecehan dan penistaan agama dengan alasan apapun harus dihentikan. Hal ini pernah disuarakan oleh Paus Fransiskus dan Ahmed el-Tayeb lewat Dokumen Abu Dhabi. Apa yang terjadi di Perancis adalah contoh penistaan agama atas nama kebebasan berekspresi. Lewat poin tiga ini terlihat MUI tampil bijaksana. Tapi kita bisa menemukan ketidak-konsistenan sikap MUI ini. Terhadap penistaan agama atas nama kebebasan berekspresi yang menyentuh islam MUI bersikap tegas mengecam, namun terhadap penistaan agama atas nama aqidah (ajaran agama) yang menyentuh agama lain, MUI malah mendukung. Tentu kita ingat akan kasus UAS dengan pernyataan “Jin kafir pada salib”, yang dinilai telah menghina umat kristiani. Akan tetapi, kala itu MUI justru berada di belakang UAS dan mendukung serta membelanya. (untuk membaca tulisan-tulisan yang mengulas kasus UAS, silahkan baca di sini)

Karena itulah, di sini terlihat bahwa MUI tidak konsisten dengan prinsipnya sendiri. Ada kesan, hanya penghinaan terhadap islam tidak boleh dilakukan dengan alasan apapun, sementara islam boleh menghina agama lain. Hal ini sejalan dengan azas “Bagimu agamamu, bagiku agamaku. Tapi aku boleh menghina agamamu, dan kamu tidak boleh menghina agamaku.”

Keempat, mendukung sikap Organisasi Konferensi Islam (OKI) yang telah memboikot produk negara Perancis. Ada beberapa negara yang telah melakukan hal tersebut, seperti Turki, Qatar, Kwait, Pakistan dan Bangladesh.

Memperhatikan fenomena negara-negara OKI yang memboikot produk Perancis, kita jadi ingat penyataan Sayyid Mahmoud al-Qimni, “Jika identitas Mesir berdasarkan pada Arabia dan persekutuan islamiah, maka orang muslim Mesir lebih merasa bersaudara dengan muslim Bosnia dibandingkan dengan orang Mesir Kristen Koptik. Dengan begitu, mencurahkan darah orang Mesir Koptik dianggap halal, dan orang Mesir Kristen ini dibunuh karena apa yang terjadi terhadap Muslim di Bosnia dan Hursik.” Dalam pernyataan al-Qimni ini tampak jelas kalau umat islam itu picik. Mereka tidak peduli dengan umat agama lainnya sekalipun mereka satu negara. Umat islam hanya peduli dengan umat islam.

Pernyataan dukungan MUI terhadap sikap OKI ini bisa bermakna ganda. Di satu sisi hendak ditujukan kepada umat islam Indonesia, namun di sisi lain mau ditujukan kepada pemerintah Indonesia. Ada kesan MUI mau mengajak pemerintah Indonesia untuk mengikuti sikap yang dilakukan oleh negara Turki, Qatar, Kwait, Pakistan dan Bangladesh.

Kelima, mendesak kepada Mahkamah Uni Eropa untuk segera mengambil tindakan dan hukuman kepada Perancis atas tindakan dan sikap Presiden Emmanuel Macron yang telah menghina dan melecehkan nabi Muhammad.

Tak puas mendesak pemerintah Indonesia, kini MUI mendesak juga Mahkamah Uni Eropa untuk memberi tekanan kepada Perancis. Tak bisa menghadapi sendiri, MUI mencari dukungan lain. Padahal pihak lain tidak mau mencampuri urusan orang lain. Selain itu, seharusnya MUI sadar diri kalau semangat menghina agama lain itu ada dalam inti agama islam sendiri, yaitu Al-Qur’an. MUI sendiri belum bisa bersikap tegas terhadap penghinaan agama yang dilakukan UAS, koq malah meminta pihak lain bertindak tegas atas penistaan terhadap islam.

Keenam, menghimbau semua khatib, dai, mubaligh agar menyampaikan pesan materi khutbah Jumat untuk mengecam dan menolak terhadap penghinaan atas diri nabi Muhammad.

Bukan tidak mungkin pesan ini akan meluas. Tidak hanya sebatas mengecam dan menolak. Bisa saja masing-masing pihak yang dihimbau MUI itu mengembangkan gagasan ini dengan mencari dasar untuk bersikap terhadap penghinaan terhadap nabi Muhammad. Misalnya, dengan menggunakan QS al-Ahzab: 60 – 61, bisa saja orang menjadikan dasar untuk membunuh orang yang menghina nabi Muhammad. Selain Al-Qur’an, bisa juga pendasarannya ditemukan dalam hadis, misalnya seperti kasus pembunuhan atas 3 penyair yang berani mengkritik Muhammad. Karena tidak bisa pergi ke Perancis, maka bisa saja sasarannya orang Perancis yang ada di Indonesia. Jika hal ini terjadi, siapakah yang bertanggung jawab?

Ketujuh, menghimbau kepada umat islam Indonesia agar kiranya dalam menyampaikan aspirasi hendaknya dilakukan secara damai dan beradab.

Pernyataan terakhir ini sungguh terkesan bijak. Namun bisa saja pernyataan ini untuk mengantisipasi kejadian buruk yang ditimbulkan akibat pengembangan dan perluasan pesan dari pernyataan nomor 6. Karena itu, jika akhirnya nanti umat islam marah dan menemukan dasar tindakannya dalam Al-Qur’an dan hadis sehingga melakukan tindakan nekat, MUI bisa cuci tangan. Kan sudah dihimbau untuk berlaku damai dan beradab.

DEMIKIANLAH 7 poin pernyataan MUI beserta tanggapan kritisnya. Dari semua poin itu, sama sekali tidak menyinggung sedikitpun kasus pembunuhan secara biadab yang dilakukan seorang muslim terhadap Samuel Paty. Kita bisa bertanya, apakah tindakan membunuh itu sudah sesuai dengan ajaran islam sehingga sama sekali tidak dilihat sebagai bentuk penghinaan terhadap islam? Kalau ditelaah dengan nalar sehat, maka dapatlah dikatakan bahwa tindakan pembunuhan itu sejalan dengan ajaran islam, karena jika tidak maka hal tersebut bisa dinilai menodai islam.

Dari semua poin tersebut, satu hal yang menarik adalah sikap MUI yang tidak konsisten berhadapan dengan penistaan agama. Jika penghinaan itu terjadi kepada agama islam, maka MUI bersikap tegas, tapi jika penghinaan itu terjadi kepada agama lain, dan pelakunya umat islam, MUI bungkam dan malah membela. Tentulah kita masih ingat akan kasus UAS. Dalam kasus tersebut UAS malah memberi klarifikasi di kantor MUI dan didampingi pengurus MUI. Malah MUI turut melobi pimpinan gereja-gereja (PGI dan KWI) agar kasus UAS tidak dilanjutkan ke ranah hukum, sekalipun UAS tidak mau minta maaf karena apa yang dilakukannya sudah sesuai dengan aqidah. Terkait dengan masalah UAS, silahkan baca Kasus UAS Buktikan 3 Hal Ini; Kasus UAS dan Cermin Agama Islam; Kasus UAS dan Puncak Gunung Es Penistaan Agama oleh Islam; Ini Yang Perlu Diketahui Umat Islam tentang Kasus UAS.

Sekalipun tulisan ini mengkritisi pernyataan MUI menanggapi Presiden Macron, bukan lantas berarti tulisan ini membela Macron. Kami punya sikap bahwa agama tidak boleh dihina dengan alasan apapun.

Dabo Singkep, 2 Nov 2020

by: adrian

Tidak ada komentar:

Posting Komentar