Ustadz
Abdul Somad sedang menghadapi tuntutan atas penghinaan agama. Hal itu berawal
dari video ceramahnya, yang berisi kajian agama islam di salah satu masjid di
Kota Pekanbaru 3 tahun lalu, muncul di media sosial dan menjadi viral. Dalam ceramah
itu UAS menyinggung soal salib orang katolik, yang dikesankan melecehkan atau
menghina orang kristen.
Ustadz
Abdul Somad sendiri sudah memberi klarifikasi. Ada 3 poin penting dalam
klarifikasi tersebut, yaitu bahwa (1) kajian yang membahas salib orang katolik
itu dalam konteks menjawab pertanyaan seorang peserta ceramah; (2) ceramah itu
diadakan untuk kalangan terbatas dan bersifat tertutup; dan (3) sudah terjadi 3
tahun lalu.
Akan
tetapi, klarifikasi tersebut sama sekali tidak menyentuh inti persoalan, yaitu
apa yang diucapkannya. Orang-orang yang menggugat UAS bukan melihat kepada
siapa ceramah itu disampaikan, atau kapan dan dimana disampaikan tetapi apa
yang disampaikan, yang dinilai telah melecehkan agama kristiani. Soal tempat,
waktu dan audiens memang sama sekali tidak melecehkan agama kristen. Namun anehnya,
masih ada juga yang membelanya dengan berpatokan pada 3 poin klarifikasi
tersebut, tak terkecuali dari Majelis Ulama Indonesia. Misalnya, Wakil Ketua MUI SUMUT, Maratua Simanjuntak, berkata, “Semua
ulama telah sepakat bahwa isi ceramah itu tidak bermasalah.”
Tak
cukup dengan klarifikasi tersebut, UAS kembali memberikan pembelaannya. Usai memenuhi
undangan MUI pusat di Jakarta, 21 Agustus 2019, Sang Ustadz menegaskan bahwa
ceramahnya sudah sesuai dengan aqidah islam. Itu artinya bahwa apa yang
disampaikan UAS terkait salib sudah sesuai dengan ajaran iman islam, yang
fondasinya ada pada Al-Qur’an dan hadis.
Namun
aqidah tersebut ternyata melukai perasaan umat kristiani, karena dirasakan
menghina. Jika memang benar bahwa ceramahnya sesuai dengan aqidah islam, maka
hal ini memberikan bukti 3 hal.
Pertama, tak
mungkin ada dialog antara umat islam dengan umat agama lain. Dialog terjadi
jika ada kesetaraan. Bagaimana mungkin ada dialog jika yang satu dapat menghina
yang lain atas dasar ajaran agama. Karena itulah, dialog yang sedang dibangun
antara islam dan Kristen dirasakan mubajir. Tentu kita ingat akan pertemuan
Imam Besar Al-Azhar, Ahmed el-Tayeb, dan Paus Fransiskus pada 4 Februari 2019
di Abu Dhabi, yang melahirkan Dokumen tentang Persaudaraan Insani demi
Perdamaian Dunia dan Hidup Bersama (baca teks dokumen di sini).
Dalam
dokumen itu, kedua tokoh tersebut menyerukan kepada semua pihak agar bekerja
keras untuk menyebarkan budaya toleransi dan hidup bersama dalam damai. Nah, bagaimana bisa bertoleransi jika
salah satu pihak mengajarkan boleh menghina pihak lain? (apakah islam agama toleran, dapat baca di sini) Selain itu, dikatakan
bahwa agama tidak boleh menghasut orang kepada perang, sikap kebencian,
permusuhan. Nah, bagaimana jika
aqidah mengajarkan hal tersebut?
Bukti
kedua, adalah bahwa agama islam mengajarkan
kebencian. Dalam Dokumen tentang Persaudaraan Insani demi Perdamaian Dunia dan
Hidup Bersama, Paus Fransiskus dan Ahmed el-Tayeb menegaskan bahwa agama tidak
boleh menghasut orang kepada sikap kebencian. Dalam kasus UAS sudah terbukti
bahwa mengajarkan orang kepada sikap kebencian merupakan aqidah islam. Selain soal
salib, UAS juga memberikan contoh lain dengan QS al-Maidah: 73. Dengan dasar surah itu tentulah penceramah islam akan
mengatakan orang Kristen itu kafir. “Apa perlu saya meminta maaf? Kalau saya
minta maaf, berarti ayat itu mesti dibuat ngawur gitu? Nauzubillah,” jelas UAS.
Ketika
membahas soal problema ujaran kebencian dalam ceramah agama, kami sudah
menyinggung beberapa aqidah islam lainnya. Misalnya, QS an-Nisa 157, yang
mengatakan bahwa yang disalib itu bukan Yesus, tetapi orang yang diserupakan. Tentulah,
penceramah akan berkata bahwa orang Kristen telah dibodohi Injil. Hal ini sama
saja dengan menghina kekristenan.
Ketiga, tak
mungkin islam itu rahmatan lil alamin. Orang
islam sering membanggakan jika agama islam adalah agama damai, kasih dan rahmatan lil alamin. Islam itu indah. Menjadi
persoalan, bagaimana indah dan damai jika mengajarkan kebencian? Bagaimana bisa
mendatangkan rahmatan lil alamin apabila
menghina agama lain termasuk aqidah islam?
Memang
sering umat islam mengambil dalil surah al-Kafirun:
6. Akan tetapi, tak jarang dalil itu tinggal dalil (seperti slogan-slogan di
atas) sehingga muncul sarkasme berikut: “Untukmu,
agamamu; Untukku, agamaku. Tapi aku bebas menghina agamamu.”
Demikianlah
3 bukti tentang islam terkait dengan kasus Ustadz Abdul Somad. Dari 3 bukti
tersebut, satu pertanyaan muncul: patutkah islam disebut sebagai agama Allah? Seharusnya
ketiga bukti ini menjadi bahan permenungan dan pertimbangan bagi umat islam. Selamat
merenung !!!
Dabo,
26 Agustus 2019
by:
adrian
Tidak ada komentar:
Posting Komentar