Jumat, 28 Agustus 2020

BENARKAH ISLAM MENGHORMATI PERBEDAAN

Gerakan radikalisme, fanatisme dan/atau bahkan ekstremisme seringkali diidentikkan dengan intoleransi. Tidak ada semangat toleransi dalam setiap gerakan radikalisme (ekstremisme). Gerakan ini selalu melihat kelompoknya yang baik dan benar sedangkan kelompok lain salah dan tidak baik sehingga harus disingkirkan bahkan dimusnahkan. Dengan kata lain, semangat yang diusung oleh gerakan radikal adalah semangat menghapus keragaman sehingga muncul keseragaman.
Hingga saat ini islam selalu dikaitkan dengan kelompok radikal. Ada begitu banyak kelompok islam yang terkenal fanatik, radikal dan ekstrem bahkan cenderung menjadi teroris. Dan semua itu dilandaskan pada ajaran agamanya, yang terdapat dalam Al-Qur’an dan Hadis. Karena dikaitkan dengan kelompok atau gerakan ini maka islam dikatakan juga sebagai agama yang intoleran. Tidak ada semangat toleransi dalam islam.
Tidak sedikit umat islam menolak klaim tersebut. Mereka selalu mengatakan bahwa islam adalah agama toleran, yang menghargai perbedaan. Sering islam moderat menyangkal kalau Allah SWT hanya menghendaki islam saja. Biasanya mereka mendasarkan argumennya pada surah an-Nahl: 93, yang sayangnya hanya dikutip sebagian saja, alias tidak utuh. Mereka mengatakan, “Jika Allah menghendaki niscaya Dia menjadikan kamu satu umat (saja).” Dengan dasar ini umat islam menyatakan bahwa mereka mengakui adanya perbedaan, dan terhadap perbedaan itu islam selalu mengedepankan toleransi.
Argumentasi di atas sangatlah lemah. Setidaknya ada 2 alasan. Pertama, seperti yang telah dikatakan tadi, kalimat di atas tidak utuh dikutip. Kalimat tersebut belum diakhiri dengan titik, tetapi masih koma. Artinya, masih ada kelanjutannya. Kalimat utuhnya, sebagai wahyu Allah SWT, adalah sebagai berikut: “Jika Allah menghendaki niscaya Dia menjadikan kamu satu umat (saja), tetapi Dia menyesatkan siapa yang Dia kehendaki dan memberi petunjuk kepada siapa yang Dia kehendaki.” Dalam kalimat utuh ini terlihat jelas bahwa Allah memang menghendaki perbedaan, akan tetapi Allah juga yang menentukan mana yang disesatkan dan mana yang diselamatkan. Hal ini kemudian ditafsirkan bahwa yang disesatkan adalah golongan kafir, dan yang diberi petunjuk adalah umat islam. Karena itulah, sejalan dengan surah al-Anfal, orang kafir akan dimusnahkan sampai ke akar-akarnya, dan tempat mereka adalah neraka (bdk. QS al-Baqarah: 24 dan QS al-Maidah: 10).

Alasan kedua adalah prinsip pembatalan yang berlaku. Beberapa ahli Al-Qur’an mengatakan bahwa ada prinsip pembatalan wahyu Allah jika terjadi perbedaan atau pertentangan. Ayat yang turun kemudian membatalkan ayat terdahulu. Berdasarkan prinsip ini, kita dapat menilai nasib surah an-Nahl di atas, yang biasa dijadikan dasar argumentasi islam moderat. Sebagaimana diketahui, Al-Qur’an dapat dibagi ke dalam 2 bagian, yaitu surah Makkiyah dan surah Madaniah. Yang pertama adalah wahyu yang turun lebih dahulu. Surah an-Nahl masuk ke dalam kelompok surah Makkiyah.
Tak bisa disangkal lagi kalau umat islam memang selalu memandang hitam – putih kehidupan ini. Mereka putih, sedangkan lainnya adalah hitam. Putih selalu dikonotasikan dengan baik, dan hitam dimaknai dengan buruk. Karena itu, hitam harus disingkirkan, atau bila perlu dimusnahkan. Putih tidak bisa bercampur dengan hitam. Al-Qur’an sudah mengatakan bahwa orang kafir adalah musuh yang nyata bagi umat islam, yang membawa umat islam ke neraka. Dengan kata lain, umat islam sudah diajarkan untuk tidak bisa menerima perbedaan. Karena itu, tidak ada sikap toleransi, sikap saling menghargai dan menghormati perbedaan.
Surah an-Nahl yang biasa dikutip untuk menunjukkan semangat toleransi dalam islam ternyata hanyalah kamuflase belaka. Teks yang dikutip hanya sebagian, sebenarnya berfungsi menutupi bagian lain, yang justru menampilkan identitas islam sebenarnya. Karena itu, gelar-gelar seperti radikalisme, fanatisme, ekstremisme dan intoleran yang disematkan kepada agama islam adalah sebuah kebenaran. Memang islam adalah agama intoleran.
Ada banyak ayat Al-Qur’an yang menampilkan semangat intoleransi. Dan semangat itu juga yang mewarnai kehidupan umat islam. Usaha umat islam dengan menampilkan surah an-Nahl seakan mengajak orang untuk hanya fokus pada satu titik putih di tembok hitam dan memaksakan orang untuk mengatakan bahwa tembok itu putih. Sayangnya, satu titik putih itu sendiri ternyata tidaklah sungguh-sungguh putih, sehingga bagaimana mungkin orang akan mengatakan bahwa tembok itu benar-benar putih.
Dengan perkataan lain, surah an-Nahl ini hendak dipakai untuk menutupi begitu banyak ayat dalam Al-Qur’an yang menampilkan wajah islam yang radikal dan intoleran. Dan sayangnya, surah an-Nahl yang dipakai ini juga ternyata tidak sepenuhnya berwajah kontra radika dan intoleran. Justru ia juga mengandung bibit intoleransi. Sungguh menyedihkan.
Lingga, 05 Agustus 2020
by: adrian  

Tidak ada komentar:

Posting Komentar