Akhirnya
pertemuan menghasilkan dua keputusan. Pertama,
kemerdekaan Indonesia adalah hak dan soal rakyat Indonesia sendiri, tidak
bergantung pada orang, lembaga dan negara lain. Segala keputusan tentang
proklamasi harus mengikutsertakan golongan muda. Kedua, mengutus Wikana dan Darwis untuk menyampaikan hasil
pertemuan kepada Bung Karno.
Jam
21.50 Wikana dan Darwis meninggalkan ruang pertemuan. Dengan sepeda onthelnya
mereka menuju ke rumah Bung Karno di Jl.
Pegangsaan Timur 56. Para pemuda lainnya masih menunggu di gedung Lembaga
Bakteriologi.
Sekitar
jam 23. 15 Wikana dan Darwis kembali ke ruang pertemuan. Raut wajah mereka
menggambarkan kejengkelan, kekesalan dan kemarahan.
“Tampaknya
misi kita gagal,” bisik Sutomo kepada Parolan.
“Bagaimana
hasilnya?” Tanya Chairul to the point.
Setelah
semua duduk, Wikana mulai menjelaskan bahwa misi telah gagal. Wikana
mengungkapkan bahwa di rumah Bung Karno ada juga Bung Hatta, dr. Buntara, dr.
Samsi, Mr. Ahmad Subardjo dan Iwa Kusumasumantri. Di hadapan orang-orang itu
Bung Karno dan Bung Hatta menolak gagasan kaum muda.
“Sekalipun
saya mengancam akan terjadi pertumpahan darah, Bung Karno malah balik
menantang. Dia bilang ‘Ini leher saya, potonglah sekarang juga! Jangan tunggu
sampai besok!’ Bung Karno, sebagai ketua PPKI, harus mengikuti mekanisme yang
ada. Besok ia akan tanya ke anggota PPKI lainnya.”
“Kenapa
harus tunggu besok? Kan di situ ada wakil ketua dan penasehat PPKI. Anggotanya
juga ada.” Ungkap Parolan.
“Bung
Hatta pun menolak,” jelas Darwis. “Dia bilang agar kita jangan memaksa-maksa
mereka. Malah seperti Bung Karno, Bung Hatta menantang kita untuk
memproklamasikan kemerdekaan jika sanggup.”
Suasana
sidang jadi ramai. Aura kemarahan dan kejengkelan sangat begitu terasa. Karena
misi gagal, Chairul Saleh akhirnya membubarkan pertemuan sambil melihat
perkembangan besok setelah pertemuan PPKI. Para peserta pertemuan terlihat
gusar. Mereka meninggalkan ruang pertemuan sambil mengumpat-umpat.
“Dasar
pengecut!”
“Boneka
Jepang!”
Parolan
melihat Chairul dan beberapa pemuda masih terlihat ngobrol serius di halaman
Lembaga Bakteriologi. Ia menghampiri mereka.
“Kita
bicarakan di asrama.”
Yang
lain mengangguk setuju. Langsung mereka mengayuh sepedanya ke Jalan Cikini 71,
asrama Baperpi.
“Saudara-saudara,
kita tidak bisa tinggal diam dalam amarah,” Chairul angkat bicara setelah tiba
di serambi asrama. “Kita harus melakukan sesuatu!”
Suasana
rapat menjadi tenang. Masing-masing sibuk dengan pikirannya. Ada yang saling
berdiskusi dengan teman di sampingnya.
“Kita
singkirkan saja Bung Karno dan Bung Hatta dari pengaruh Jepang.” Setelah sekian
lama bermenung diri, Parolan memecahkan kesunyian malam.
“Kita
culik mereka.”
“Saya
setuju,” tegas Chairul. “Kita singkirkan mereka ke Rengasdengklok. Di sana kita
paksa mereka untuk memproklamasikan kemerdekaan Indonesia.”
Maka
mulailah para pemuda ini berembug membagi tugas. Ada yang menghubungi Cudanco Subeno, komandan kompi tentara
PETA Rengasdengklok, untuk mengamankan Sukarno dan Moh. Hatta. Ada yang bertugas
menculik Bung karno dan Bung Hatta dari rumah mereka masing-masing. Ada yang
bertanggung jawab soal kendaraan. Shudanco
Singgih dipercayakan untuk melakukan aksi penculikan ini.
Aksi
menculik Bung Karno tidak mendapat banyak kesulitan karena sebelumnya Wikana
sudah menghubungi S. Suhud, komadan dan pengawal rumah Bung Karno. Sedikit
kesulitan muncul ketika istri Bung Karno, Ibu Fatmawati, memaksa diri untuk
ikut bersama bayinya, Guntur, yang waktu itu berumur 9 bulan.
Akhirnya
sekitar jam 04.00, para pemuda membawa Bung Karno sekeluarga dan Bung Hatta ke
tempat yang sudah ditentukan. Di sana mereka langsung diterima dan diamankan Subeno.
Sementara
yang lain ke Rengasdengklok, Wikana, Sudiro dan Jusuf Kunto tetap berada di
Jakarta. Mereka ditugaskan untuk melaporkan hasil pertemuan PPKI hari itu. Akan
tetapi rapatnya batal sebab ketua dan wakilnya tidak ada.
Pada
sore hari, sekitar jam 17.30, rombongan Ahmad Subardjo dengan ditemani Jusuf
Kunto dan Sudiro, tiba di lokasi pengasingan Bung Karno dan Bung Hatta. Ia
terharu dengan aksi heroik para pemuda dan sedih melihat Bung Karno sekeluarga.
Karena itu ia berjanji akan mengumumkan proklamasi kemerdekaan besok tanggal 17
Agustus sebelum jam 12.00.
“Apa
jaminan atas ucapan Bapak?” Tanya Parolan.
“Nyawa
saya!”
“Baiklah,
kami akan melepaskan kalian,” ujar Subeno. “Tapi beberapa anggota kami akan
mengikuti kalian.”
“Silahkan!
Kalianlah yang akan mengawasi dan menjaga kami saat penyusunan proklamasi.”
Subeno
memandang Chairul dan Wikana. Chairul hanya menganggukkan kepalanya. Ketegangan
pun mereda. Maka segera mereka berkemas untuk kembali ke Jakarta. Beberapa
pemuda ikut dalam rombongan.
Sekitar
jam 23.00 mereka tiba di Jakarta. Atas permintaan Bung Karno, rombongan
langsung menemui Mayjend Nishimura untuk menjajagi sikapnya soal proklamasi
kemerdekaan. Sudiro awalnya hendak protes, namun Chairul segera menghalangi
niatnya.
Setiba
di rumah Nishimura, Bung Karno dan Bung Hatta turun dan berjalan menuju ke
dalam rumah. Rombongan lainnya tetap di dalam mobil. Tak lama kemudian kedua
tokoh PPKI keluar dari dalam rumah dengan muka merah. Mereka berjalan menuju
rombongan dengan muka tertunduk.
“Tanda
buruk,” bisik Parolan dalam hati.
“Bagaimana?”
Mereka
menolak. Mereka tidak mau mengubah status
quo sampai nanti sekutu tiba,” jelas Bung Hatta.
“Nah
kan,” celetuk Parolan. “Kami sudah bilang, kemerdekaan itu harus kita rebut.
Kita tidak bisa tunggu diberi Jepang. Malah, kalau tunggu sekutu, itu namanya
peralihan penjajah saja.”
“Maafkan
kami,” suara Bung Karno terdengar berat. “Kalian benar!”
“Sekarang
kita ke mana?” Tanya sopir rombongan.
“Ke
rumah Laksamana Muda Maeda.” Jawab Ahmad Subardjo.
“Bukankah
dia itu orang Jepang?”
“Tidak
semua orang Jepang itu jahat. Saya kerja di kantor dia,” jelas Subardjo. “Dia
akan menjamin keselamatan kita. Dan yang terpenting, dia mendukung kemerdekaan
kita.”
Moro, 9 Februari 2013
by: adrian
Tidak ada komentar:
Posting Komentar